Senin, 26 Desember 2011

MERAWAT CINTA KASIH MENURUT AL QUR'AN & SUNNAH NABI


MERAWAT CINTA KASIH
MENURUT AJARAN AL QUR’AN DAN SUNNAH NABI

MUQODDIMAH
Segala puji bagi Allah SWT , kepadaNya naik  dan disampaikan  perkataan yang baik dan amal shaleh .Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada  penutup para Nabi.,pempimpin para utusan junjungan  kita nabi Muhammad Saw ,penyeru  menuju jalan Allah  dengan idzinNya ,pemberi petunjuk ke jalan lurus. Wa ba’du.

Keluarga adalah batu pertama  dalam konstruksi sebuah bangunan masyarakat dan pilar fondamental pijakan bagi bangunan sosial  yang kokoh . Diatas kuat lemah dan kekokohan keluarga – yang  berpegang pada aqidah yang kuat dan petunjuk ajaran langit yang bijaksana- itulah  konstruksi bangunan  sosial  dan  keselamatanya bergantung  dan demikian kapabilitasnya  untuk  stabil , memberi pelayanan sosial serta kekuatan memukul  terhadap serangan tuduhan para provokatornya dan anak-anak panah yang dilepaskan para agitator (penghasutnya) berpijak.
Keluarga  dengan rasa keteduhan  dan saling kesefamahan yang meliputinya   dan cinta kasih, kasih sayang  dan rasa sepenanggungan yang menguatkan  jalinan hubungan asal keturunan dan anak cucunya serta buah – buah  yang baik lagi pilihan yang dihasilkannya  dengan penuh perawatan dan perhatian  sesuai  prinsip-prinsip dasar  keimanan  dan nilai-nilai  moral - merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab  atas  kebaikan umat dan kemampuan dirinya untuk  membawa misi dan visinya  menuju  kemanusiaan.
Karena pertimbangan-pertimbangan ini, maka Islam  menaruh perhatian besar  pada masalah keluarga (rumah tangga). Hal itu ditunjukkan dengan adanya hukum-hukum keluarga dan pendidikan keluarga memperoleh porsi yang tidak sedikit dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi. Mungkin sudah cukup menjadi  bukti apreatif  mulianya sebuah lembaga rumah tangga ,dua surat dari Kitabullah yang  membawa nama dan term yang mensinyalir bidang – bidang persoalan rumah tangga  dan problematikanya,  yaitu surat Nisa’ dan surat At thalaq.

Di sana ada  berbagai faktor sebab  yang melatar belakangi kami memilih   /tema “Awamilu Istiqrosil Usroti  fil Kitab wa Sunnah” antara lain :
1.    Peran pentingnya lembaga rumah tangga (kelurga)  sebagai wadah /wahana melahirkan generasi yang tetap tekun beribadah dan bertauhid  serta  kuat membawa  amanah melaksanakan dan memenuhi  kebutuhan masyarakat  baik menyiapkan para kader dan para calon pemimpinnya, memelihara survival kehidupannya   dan hak-haknya  dan nilai-nilai  keutamaannya. Jika  keluarga atau rumah tangga baik  dan konstruksi bangunannya  kokoh  dibangun di atas prinsip-prinsip  yang kuat dan  kaidah-kaidah yang  baku dari syareat Allah dan hukum-hukumnya, maka anak-anak  akan yang lahir dalam ruma tangga itu akan menjadi putra-putra yang shaleh. Sebaliknya  jika nilai-nilai keutamaan dan integritasnya dalam diri oknum rumah tangga sangat lemah, hukum-hukum Allah ditinggalkan  dan lembaga rumah tangga tidak berdiri atas dasar prinsip-prinsip dasar yang Allah gariskan, maka akibat negatif akan kembali berbalik  pada prilaku dan perangai putra-putranya dan pada gilirannya  akan berpengaruh banyak pada prilaku masyarakat  secara keseluruhan.
2.    Saya melihat urgenitas penelitian ini  menekankan  pembahasan hak-hak dan kewajiban suami istri (pasutri)   mengingat  karena hal  itu merupakan salah satu sendi – sendi fundamental dalam faktor- faktor  kekekalan dan keharmonisan rumah tangga dan  yang akan  menjamin kestabilan mental para putra-putra  di rumah tangga tersebut sekira  masing-masing suami istri mengetahui  hak dan kewajibannya terhadap lainya. Dan sesungguhnya hal itu akan menyebabkan terjaganya hak-hak pasangan suami istri  sebagaimana Islam perintahkan dan anjurkan.
3.    Sesungguhnya syareat Islam telah meletakkan kaedah-kaedah (norma-norma)  dan prinsip-prinsip dasar yang memelihara hak-hak pasangan suami istri  yang akan menjamin jalinan hubungan dan keutuhan anak-anaknya dengan mengatur  hak-hak dan kewajiban timbal balik antara individu-individunya  sehingga tidak terdapat tindakan kesewenang-wenangan tanpa mengindahkan pertimbangan orang lain dan kedzaliman dalam interaksi antara sesama mereka.
Al Qur’an telah banyak menggambarkan berbagai diskripsi hubungan interaksi  antara suami istri . Allah berfirman :
َومِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْها  َوجعَلَ بَيْنَكُمْ  مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم :21)
  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri -isteri dari jenismu sendiri,supaya kamu cenderung dan merasa tenteram   kepadanya,dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benabenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.)QS : Ar Rum :21)
Dan Allah berfirman :
هــــن لباس لكــــم  وأنتم لباس لهــــنّ  (البقرة : الاية  187)
Artinya :”mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”(Al Baqoroh :187)
Setiap hak dalam rumah tangga senantiasa  ada kompensasi yang seimbang dengan  kewajibannya. Allah SWT berfirman :
ولهــــن مثل الـذى عليهـــن  بالمعروف (البقرة : 228)
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. (QS: Al Baqoroh : 228 )
3.Sesungguhnya memperkokoh  faktor-faktor  kekekalan rumah tangga  dan keharmonisannya  dalam masyarakat Islam  akan banyak memberi konstribusi pada masyarakat  dengan menghadirkan keturunan yang shaleh  yang melaksanakan peran tugasnya dalam arena kehidupan dengan sebaik-baiknya  sebagaimana Allah perintahkan. Bila keluarga telah dapat hidup kekal abadi ,harmonis dan stabil  maka ia akan bisa  membantu masyarakat dengan keturunan yang shaleh.
  Sesungguhnya kerusakan tata sosial dalam masyakarat di sekeliling kita baik masyarakat muslim maupun non muslim  lebih dominan disebakan keceraiberaian  tatanan kehidupan rumah tangga , disia-siakannya hak-hak Allah di dalamnya  dan phobia / rasa keterasingan pasangan suami istri  terhadap hukum Allah SWT sehingga berakibat perceraian, serta saling caci maki  dan berceraiberainya hati mereka karena hilangnya moralitas Islam dan ajaran-ajarannya   yang menganjurkan  pasangan suami untuk saling menghormati dan menjaga hak masing-masing.
  Sesungguhnya anak-anak dan keturunan  yang shaleh  tidak akan  terlahir  kecuali  dari keluarga yang harmonis lagi kuat  yang senantiasa menjaga  ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya.
4.Sesungguhnya penelitian tentang  faktor-faktor  kekekalan dan keharomisan rumah tangga  dalam Islam  akan lebih menegaskan dan menguatkan  hak-hak pasangan suami istri  pada umumnya dan  hak-hak istri  pada khusunya.
w



Pembahasan PERTAMA
DEFINISI USROH (KELUARGA) 
MENURUT  ETIMOLOGI DAN SYARA’

PERTAMA : USROH (KELUARAGA)  menurut tinjauan etimologi
Dalam bahasa arab ada sejumlah lafadz/kata yang  berkisar dan merepresentasikan pada pengertian dan makna yang sama, yakni hubungan kerabat  yang kokoh yang mengikat sejumlah orang yang berasal dari satu keturunan yang sama,saling tolong menolong diantara mereka  dalam mewujudkan tujuan bersama dan menolak berbagai bahaya yang mengancam mereka  atau salah seeorang diantara mereka. meski  masing-masing kata ini  memiliki spisifikasi arti tertentu , .kata –kata itu adalah:



(Usroh, Ahlun, ‘Asyiroh, Raohthun)
Usroh  الاسرة :menurut etimologi  artinya , baju besi pelindung perang. Dan yang dimaksudkan adalah asyiroh (sanak kerabat) dan ahli bait (keluarga).Dan juga berarti rohthun ( kerabat ) terdekat seseorang.
Dalam kamus Mu’jamul Washith ,kata usroh berarti baju besi pelindung perang,ahli bait seseorang dan sanak kerabat.Dan dipakai secara umum untuk arti kelompok  yang diikat oleh  persoalan yang sama.[1]).
Al Ahlu الاهل  menurut  etimologi  artinya  kerabat-kerabat seseorang  yang  tinggal bersamanya  di suatu tempat  tinggal yang sama dan wilayah yang sama. yakni keluarganya yang juga lebih sering  digunakan untuk konotasi  makna istri atau pasangan hidup.
Kata “ahlu “ jika diidhofahkan dan difrasekan dengan kata “dar” rumah, “al balad’  (negara)  maka memberi makna konotasi   orang-orang yang tumbuh dibesarkan  dan bertempat tinggal secara permanen di rumah atau di negara tersebut, maka sering orang menyebut ahlul Daar dan ahlu Makkah  yakni penduduk negeri, atau penduduk kota Makkah. Bahkan kata ini  sering diperluas maknanya  untuk merujuk wilayah yang lebih luas , sering orang mengatakan , Ahlu Mesir, ahlul Madinah yakni penduduk negara Mesir,  atau penduduk Madinah.
Kata ini juga  terkadang  di idhofahkan /difrasekan  dengan kata al kitab ,yakni  wahyu yang diturunkan.  Maka  memberi  pengertian  ahlu syariah assyamawiyah /penganut syariat/agama langit. Allah berfirman :
يا اهل الكتاب  تعالو  ا  إلى  كلمة سواء  ( سورة ال عمــران  : 64)
Artinya : “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu.” (QS: Ali Imron : 64)
Dan juga diidhofahkan (digabungkan dan difrasekan   dengan kata Ad Dikr  yang berarti ilmu . Kita dapati dalam Al Qur’an  Allah berfirman :
فا سالو ا اهل الــذ كر  إن كنتم لا تعلمــون   (سورة الانبياء :  7 )
Artinya :” maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” (QS : Al Anbiya’ : 7).
Al ‘Asyiroh "العشيرة"berarti qabilah (suku) , atau keluarga dengan pengertian lebih luas. Al “asyiroh  banyak dipakai  untuk arti suami seorang wanita.  Dalam sebuah hadist   Rasulullah bersabda,:
 قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِير
Artinya :Beliau bersabda:” Karena kalian banyak  memaki dan tidak berterima kasih   kepada Al “asyir “ yakni suami.[2])

Allah bersabda,
 لَبِئْسَ الْمَوْلَى وَلَبِئْسَ الْعَشِيرُ
Sesungguhnya yang diserunya itu adalah sejahat-jahat penolong dan sejahat-jahat kawan.(QS: Al Hajj : 13)  termasuk Istri

Sedangkan  kata “Ar Rohthu “  "الرهــطberarti  kaumnya seseorang dan kabilah atau suku atau marganya. Dan  kata ini dikonotasikan  untuk sekelompok dan komunitas orang yang jumlahnya kurang sepuluh orang kaum lelaki yang tidak terdapat di dalamnya seorang wanita.Allah berfirman :
وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ (النمل 48)
Dan adalah di kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, (QS: An Naml : 48).[3]

KEDUA : KATA AL USROH DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

Di dalam Al Qur’an tidak terdapat  kata al Usroh ((الاســرة  meskipun kita dapati banyak padan katanya. .
Sedangkan kata Al Ahlu , sebagai sinonimnya,dengan  berbagai idhofah (penggabungannya) dalam sebuah frase dipakai berulang di dalam Al Qur’an ul Karim   sebanyak  seratus dua puluh tujuh kali  dengan beragam konteks dan dilalahnya (penunjukannya)  seperti yang telah kami sinyalir  dalam pengertian menurut Etimologi. Kontek dan dilalahnya itu  antara lain sebagai berikut :
Pertama : menunjukkan pengertian istri . Allah berfirman :
إِذْ قَالَ مُوسَى لِأَهْلِهِ إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا سَآَتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ
(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada istrinya: "Sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya....” (QS: An Naml : 7)


Kedua : merujuk pengertian  kerabat dekat seseorang  yang tinggal bersamanya.  Allah berfirman :
فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
                Artinya :”Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (QS : Al A’rof :83)
Ketiga : merepresentasikan  pengertian yang lebih luas dari kerabat. Allah berfirman
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
                   Artinya :”maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan”  (QS : An Nisa’ : 35).
         Pemakain kata ahlu dengan konotasi makna ini lebih sering  mengalami perluasan makna   mencakup  pengertian  sekelompok orang-orang yang  tinggal bermukim di suatu kota atau beberapa kota . Allah berfirman :
إِنَّ هَذَا لَمَكْرٌ مَكَرْتُمُوهُ فِي الْمَدِينَةِ لِتُخْرِجُوا مِنْهَا أَهْلَهَا
                    Artinya:” sesungguhnya (perbuatan) ini adalah suatu muslihat yang telah     kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari padanya.... (QS: Al A’rof :123)
          Dan firman Allah :
ذَلِكَ أَنْ لَمْ يَكُنْ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا غَافِلُونَ
                   Artinya :” Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah. (QS: Al An’am :131).

        Bahkan mempunyai konotasi yang lebih luas  meliputi komunitas  di seluruh arah daerah,lingkungan   atau suatu wilayah   sepenuhnya. Allah berfirman:

إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا
. Artinya :”Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di    muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka,...(QS: Al Qoshohs : 4)
Dan firmanNya :
حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ اْلأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلاً أَوْ نَهَارًا
Artinya :”Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang,....” (QS : Yunus : 24)
Dan masih banyak lagi pemakain kata “Ahlu” dengan konotasi makna lain, seperti  pengidhofahan (penggabungan)  lafadz “Ahlu” sebagai frase  dengan kata Al Kitab, Ad Dzikir,  atau Al Makr    dan kata-kata lain yang tidak mempunyai konotasi  pengertian keluarga.
Guna memperkaya perbendaharaan pengertian yang ditunjukan  kata Ahlu dan kompleksitas  semua pengertian kata tersebut yang mengacu pada kata Al Usroh, , maka pemakaian kata “Ahlu “ lebih tepat dan utama   dalam kajian ini dibanding dua kata ; Usroh dan “Asyiroh ,sebagaimana  proposisi yang diserukan  sebagian peneliti ,”Bahwa kita dapat menggunakan  term “Ahlun” yang banyak dipakai dalam Al  Qur’an dan As Sunnah dengan merujuk arti “usroh”( keluarga) . Karena  kata “ahlun”  itu sendiri secara harfiyah berarti  para penghuni(orang-orang yang tinggal) di suatu  rumah, suatu tempat , negeri, dan wilayah atau lingkungan tertentu.Sementara kata Usrotul Rojul (  usroh seseorang)  itu sendiri mengindikasikan   orang-orang yang tinggal  bersama seseorang  di suatu tempat tinggal  atau di suatu tempat tertentu yang sama..
Sementara  lafadz “”asyiroh “((العشيرة  hanya disebut berulang dalam Al Qur’an  tiga kali  yang  menunjukkan pengertian sanak -kerabat seseorang,dan sekali  yang mengindikasikan   kerabat dekat . Allah berfirman :
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Artinya : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (QS: AsSyu’ara’ : 214)
Serta   disebutkan dua kali  untuk menunjukkan arti kerabat jauh . Allah berfirman:
 قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ
Artinya :”Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,......” (QS : At Taubah : 24)
Dan firman  Allah :
وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Artinya :”Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..........(QS : Al Mujadalah : 22)
Kontek  dan dilalah  pengertian  tersebut diatas akan menambahkan pengertian-  pengertian konotatif kata “Asyirah” yang telah kami tuturkan sebelumnya .
Adapun kata “Ar Rohthun” ((الرهـط disebutkan berulang dalam Al Qur’an tiga kali juga . Dua tempat  disebutkan pada dua ayat berturut-turut  dari surat Al Hud dan merujuk arti keluarga . Yaitu  Firman Allah :
وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا وَلَوْلاَ رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ
Artinya :” dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu.....(QS: Hud : 91)
Dan Allah berfirman :
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَهْطِي أَعَزُّ عَلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَاتَّخَذْتُمُوهُ وَرَاءَكُمْ ظِهْرِيًّا إِنَّ رَبِّي بِمَا تَعْمَلُونَ مُحِيطٌ (92)
Artinya :”Syu`aib menjawab: "Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah,....”.(QS : Hud :2)."
Disamping pada satu ayat yang telah kami sebutkan  tersebut  dalam bab definisi kata ini secara etimologi yang merujuk pengertian komunitas bilangan orang  kurang dari sepuluh  tanpa ada seorang wanita di dalamnya.

KETIGA: KATA AL USROH DALAM PERSPEKTIF AS SUNNAH
Adapun dalam As Sunnah  atau hadist Nabi , dua kosa kata ;”Ahlu”, dan “Asyiroh” banyak kita temukan disamping  kata “Usroh” yang jarang  serta sedikit adanya.Dalam kitab Sunan Abi Daud, diriwayatkan,bahwa Rosulullah bersabda :
زنـى رجل  فى اسرة  من الناس [4](
 Seorang laki-laki telah berbuat zina dalam sebuah keluarga  dari kalangan manusia.
Imam  Al Khuthoby  menginterpretasi dan menafsiri lafadz Usroh dalam hadist ini ,bahwa yang dimaksudkan adalah ayiroh seseorang  atau ahli baitnya.Ibnul Atsir menuturkan  penafsiran serupa dalam kitab Nihayah.[5])
Kata  “Ahlun” dalam As Sunnah (hadist Nabi)  datang  dalam berbagai pengertian secara etimologi,kami sebutkan  sebagian sampel  di sini untuk menghindari pembicaraan yang berkepanjangan. Ada yang datang dengan konotasi makna Istri.Sabda Rasulullah SAW :
إن  من الغيــرة   غيرة  يبغضها الله  عــزّوجلّ  وهى غيــرة  الرجل  على أهـله  من غير ريبة
Artinya :” Sesungguhnya sebagian kecemburuan, ada kecemburuan yang sangat dibenci Allah SWT, yaitu kecemburuan seseorang pada Istrinya  tanpa sebab yang jelas.[6])
Sebagian lagi datang dengan makna sanak kerabat seseorang yang tinggal hidup bersamanya yang biaya hidupnya berada dalam tanggungannya, seperti istri dan anak-anaknya, Sabda Rasulullah SAW :
من جهـز غازيا  فى سبيل الله  فقــد غــزا ومن خـــلفه  فى أهـله بـخيرفـقد غـزا[7]
Artinya :” Barang siapa yang membantu orang yang berjuang di jalan Allah ,maka baginya pahala seperti orang yang pergi berperang,barang siapa menggantikan posisi penanggungjawab  ahli baitnya(istri & anaknya maka ia mendapat pahala seper i jihad di jalan Allah”
Sementara kata “asiroh  dalam Assunnah , terdapat dalam Hadist yang diriwayatkan
“Aisyah  ra,
ما ورى عن عا ئسة رضى الله عنه  أن رجلا  استأذن على النبى صلى الله عليه وسلم فلما رآه  قال بئس اخو العشيرة  وبئس ابن العشيرة .....الحديث [8]
Artinya : “ Diriwayatkan dari “Aisyah ra ,bahwa seornga laki-laki minta izin kepada Nabi SAW  ,maka talkala beliau melihatnya, beliau berkata,” Ia adalah sejelek-jelek saudara  ‘Asyiroh (dari sebuah keluarga) dan sejelek –jelek  anak dari sebuah keluarga............. Al Hadist
Dari  penjelasan terdahulu , Keluarga( Usroh )  mungkin dapat di definisikan , sebagai unit dan  lembaga terkecil dan pertama dalam masyarakat  yang terjadi  interaksi langsung antara individu-individunya ,setiap orang dapat melakukan pengembangan diri  dan tumbuh  secara  sosiologis, dan memperoleh  pengetahuan (kognitif) ,ketrampilan (motorik), kecenderungan ,bakat dan arah (gaya)  hidup  disamping mendapatkan rasa keamanan ,kenyatamanan dan ketenangan.

KEEMPAT : KELUARGA DALAM  PERSPEKTIF ILMU SOSIOLOGI
Keluarga  menurut perspektif sosiologi, adalah unit   terkecil dan terbawah , dalam  struktur bangunan sosial,  baik dalam  sisi pembentukannya, ruang lingkupnya serta hubungan interaksi antara individu-individunya dan merupakan sumbu  hubungan kekerabatan, suasana  kehidupan pernikaha dan (sumber akibat hukum yang mungkin terjadi baik) perceraian (Talaq), Hadlanah ( pemeliharaan anak) dan berbagai urusan pewarisan. [9])
Manusia adalah makluk sosial (Zon Politikon) yang kehidupannya tidak akan bisa berjalan mulus, kecuali berada  naungan komunitas orang, yang saling kerja sama dan tolong di dalamnya untuk merealisir  tuntutan-tuntutan kebutuhan hidup mereka dan menolak  bahaya yang mengancam mereka.Dan hal itu tidak akan terlaksana  kecuali jika  ada kerja sama dalam bingkai sosial  yang kokoh ,nilai-nilai kehidupan yang dipelihara dan prinsip-prinsip hidup yang dipegangi kuat  serta tujuan – tujuan yang ingin diwujudkan . Dan ini diwujudkan  dengan membentuk   masyarakat-masyarakat kecil (nuclear society) yang saling mengikat dan dari situlah terajut masyarakat yang lebih besar  dengan segala potensi-potensinya untuk mewujudkan kehidupan sosial . Oleh karena itu  keluarga dapat didefinisikan  sebagai komunitas sosial fondamental  lagi kekal  dan sub sistem sosial mendasar ,ia bukan sekedar  dasar terwujudnya masyarakat semata, tetapi juga menjadi sumber moral dan norma serta sendi pertama  penerapan etika dan prilaku dan tempat  dimana manusia pertama kali mengenal dan memperoleh  pelajaran-pelajaran kehidupan sosial.[10])

Keluarga adalah  komunitas yang terdiri  pasangan suami istri  dan anak-anaknya yang belum menikah yang tinggal  bersama di suatu tempat yang sama….Bahkan keluarga dapat diartikan lebih luas dari itu , meliputi  suami - istri serta anak-anaknya  laki-laki dan perempuan  baik yang belum menikah maupun  anaknya-anaknya yang sudah menikah bersama istri-istrinya , anak-anak mereka  dan kerabat-kerabat mereka   seperti  paman ,bibi  , anak perempuan dan para jandanya.
Sedangkan Usroh (Keluarga) yang dimaksud  dalam  pembahasan ini  adalah  pengertian  yang pertama,yakni  komunitas yang meliputi  pasangan suami istri  dan anak-anaknya yang akan kami paparkan dalam  tema faktor-faktor  kekekalan rumah tangga  dan cara pembentukannya  serta segala  aspek-aspek hukum dan perundang-undang Islam  yang berkaitan ,yang menjamin kekekalan  dan kelangsungannya serta, segala segmen-segmen hukum Islam yang meliputinya dengan perhatian  yang penuh bijaksana.

PEMBAHASAN KETIGA
TUJUAN membina RUMAH TANGGA   
MENURUT AL QUR'AN DAN SUNNAH NABI

     Sesungguhnya membina rumah tangga dalam Islam  memiliki berbagai tujuan[11],utamanya sebagai berikut :
PERTAMA : UNTUK MEMPEROLEH ANAK.
Anak adalah anugerah yang Allah karuniakan kepada manusia.Ini yang menjadi tujuan pokok berumah tangga.Dan untuk inilah pernikahan disyariatkan,yakni untuk  melestarikan keturunan...... Sementara nafsu syahwat (birahi)  hanya menjadi stimulus (perangsang)  dan pencapaian hingga menghasilkan anak itu yang mempunyai nilai ibadah kepada Allah SWT.
Membina rumah tangga dan keluarga berarti memenuhi  kebutuhan naluri manusia dan kebutuhan mendasarnya  dan memenuhi tabiat  kodrat kehidupan manusiawinya dan sunnah kehidupan yang Allah ciptakan . Maksud dan pengertian ini nampak jelas  dalam segmen permasalahan berikut  :
A.Memenuhi keinginan naluriyah dan kecendrungan kodrat manusia untuk memiliki anak dan keturunan. Tabiat manusia  menyukai panjang umur, punya jejak langkah dan kenangan yang akan tetap abadi sepeninggalnya, tidak suka menyendiri dan terputus anak dan keturunan.Karena anak adalah belahan hati , kesenangan dan karuania Allah yang sangat berharga serta  kebanggaan dan tabungan yang bisa diandalkan  untuk akherat kelak  bila anak benar-benar sholeh..
Dan rumah tanggalah satu-satunya wadah yang alami dan syah  untuk mengakomudir keinginan ini.Oleh karena itu wajarlah bila Allah SWT mengungkit karunia kenikmatan yang pernah diberikan pada hambanya. Allah berfirman:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (72)
Artinya :” Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni`mat Allah?"(QS : An Nahl :72)
  Allah juga menilai berumah tangga sebagai sunnah /kebiasaan yang telah cukup lama  dalam kehidupan manusia,bahkan hal itu tercermin dalam kehidupan para Rosul pilihanNya .Allah berfirman :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
. Artinya :”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan”.( QS : Ar Ra’du : 38).
Allah juga memberi pembelaan  kepada Rasulullah SAW saat kaumnya memperolok-olok  sebagai orang yang terputus keturunan dan hubungan kekeluargaan saat putra-putra laki-lakinya  dipanggil keharibaanNya.. Allah berfirman :
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Artinya :” Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”
(QS : Al Kaustar : 3)
Dialah Nabi Allah Zakaria AS  ,meski telah berusia senja,ia senantiasa bermunajat kepada Allah SWT  memohon untuk tidak membiarkan sendirian  tanpa punya keturunan  atau ahli waris  yang akan mewarisi  tugasnya.. Allah berfirman :
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6(
Artinya :” Ia berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo`a kepada Engkau, ya Tuhanku.(4) Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai".(QS : Maryam : 4-6)
Dan firmanNya :
رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
Artinya :” Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.” (QS : Al Anbiya’ : 89).
Al Qur’an juga mengisahkan Nabi Allah Ibrahim AS   yang tak henti-hentinya mencurahkan rasa syukur dan pujian  yang tak terhingga kepada Allah atas karunia anak laki-laki  setelah lewat beberapa tahun masa hidupnya:
  الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ (39(
     Artinya :” . Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do`a.(QS : Ibarahim : 39).
    Sepertinya  ada pesan-pesan yang cukup signifikan  dalam segmen ini – yakni dalam memenuhi keinginan dan kecendrungan  naluri manusia untuk mendapat keturunan- dan sangat erat sekali dengan misi penciptaan manusia di muka bumi .yaitu :
1.      Ada korelasi yang cukup relevan antara  cinta Allah dengan upaya mendapatkan anak guna melestarikan bangsa manusia dan survivalnya serta menjaga dari  kelemahan.dan kepunahan.
2.      Memakmurkan semesta dan mengemban tugas kekhilafan (pemakmur bumi), yang Allah karuniakan sebagai penghormatan kepada ras manusia guna dapat memikul beban tanggung jawab tersebut.
3.      Upaya mencintai Rasulullah SAW  dan mendapatkan keridloannya dengan memperbanyak  suatu yang menjadi kebanggaan hatinya.Rasulullah  telah jelaskan dalam sabdanya :
تنـا كحوا  نتـاسـلوا تـَكثـروا  فـإ نى أبـاهى بكم الامم [12]
Artinya :” Nikahlah kamu sekalian ,beranak pinaklah  dan perbanyaklah jumlah kamu, karena sesungguhnya kalian akan kujadikan kebanggaan diantara sekian banyak ummat
4.      Memperoleh keberkahan doa anak yang sholeh sepeninggalnya karena sabda Rasulullah :
إذا مات ابن آدم انقطع عمـله إلا من ثـلاث  ، إلا من صدقة جارية  أو علم ينتفع به  أو ولـد صا لح يـدعو له [13]
Artinya :” Jika anak Adam meninggal dunia  maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu shodaqo jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mau mendoakannya.”
B.  Pernikahan senada  dan seirama dengan hukum alam(sunnah kauniyah)  yaitu  - Sistem Berpasangan”- itulah hukum  /aturan baku yang  Allah letakkan tidak hanya pada makhluk –makluk hidup (biotik)  tetapi hingga benda –benda mati (abiotik) . Berpasangan adalah tatanan fitriyah yang luas ruang lingkupnya  mengatur semua makhluk ciptaan  yang ada di semesta. Allah berfirman :
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (الذاريات :49)
      Artinya :”  Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” ( QS : Ad Dhuriyat : 49).
      Allah juga berfirman :
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ (يس : 36)
     Artinya :” Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.(QS . Yasin : 36).
    Tatanan ini   mengklasifikasi segala jenis makhluk ciptaan di alam semesta ini menjadi dua bagian, dan menciptakan pada setiap bagian  rahasia spsifiks  yang berbeda dengan apa yang terkadung pada pasangannya. Dan tentunya sunnatullah (Hukum Alam) ini akan menjadi  kurang produktif dan pasif kecuali bila dua rahasia  (yang terpendam dalam dua jenis makhluk ciptaan) ditemukan dan dipadukan, jika tidak maka sunnatullah (hukum Alam) itu akan tetap pasif ,tak berfungsi  serta tak  bekerja aktif.[14]
     Bertolak dari hal ini, maka kebutuhan kaum laki-laki terhadap keberadaan  wanita dan demikian sebaliknya merupakan suatu kebutuhan  pschicis yang terpendam pada masing-masing pasangan yang harus  ia temukan pada patner pasangannya,bukan kebutuhan yang terbatas  pada makanan dan minuman dan berbagai kebutuhan biologis (tubuh) lainnya, tetapi ia adalah kebutuhan naluri untuk saling melengkapi  dan kebutuhan yang sangat mendasar. Dan  hal ini tentunya menjadi  pukulan telak  yang membatalkan klaim  orang yang mengatakan  bahwa wanita dengan  kariernya dalam arena bidang usaha  dan gaji perolehan yang dapat memenuhi kebutuhan materiilnya tidak memerlukan pasangan lelakinya sebagai pendamping hidupya dan tidak perlu menikah.[15]


KEDUA; MEMBENTENGI DIRI DARI GODAAN SYAITAN, MENYALURKAN IMPULSE LIBIDO ( (DORONGAN SEKS) SECARA PISITP ATAU MENGHINDARKAN BAHAYANYA SERTA MEMELIHARA PANDANGAN  DAN KEMALUAN.

Diantara karekateristik Islam yang menonjol adalah ia  sangat konsisten memelihara fitrah dan watak kodrat manusia,menerimanya dengan realitas apa adanya , membinanya dan menghargainya tidak mengekang , mengebiri dan membatasi geraknya.
Dalam bingkai  rumah tangga dan interaksi pasangan suami istrii- masing-masing individu-baik laki-laki maupun perempuan- mendapatkan saluran sehat lagi  alami  untuk menyalurkan dan melepaskan kebutuhan biologisnya dengan cara yang tidak merusak jasmaninya dan menyisakan siksa penyesalan yang berkepanjangan dan  yang memberi kewenangan individu untuk mereguk  kenikmatan biologis dalam batas yang rasional ,yang berakhir kesenangan dan kepuasan.[16]
Sesungguhnya nafsu syahwat (birahi seks-impulse libido) suatu yang sulit terhindarkan oleh seseorang saat panggilannya datang memanggil dan tak ada jalan  untuk menutup telinganya baginya saat itu meski ia memiliki berbagai sarana pengekangan dan pengendalian diri yang mampu merubah pola pikirnya dan menghindarkan dirinya dari “padang subur”nya  kecemasan  dan kesesatan.karena tak ada kesempatan yang lewat menghampirinya  melainkan akan menghiasinya  dengan keburukan.dan kejahatan meski orang itu sedang berdiri menghadap tuhannya di saat sholat.Nafsu syahwat   adalah lengan syaitan yang membantu mewujutkan keinginannya.Oleh karena itu wajar sekali bila Rasulullah SAW  kerap kali  memohon kepada Allah  SWT – sebagai pelajaran bagi umatnya- agar terpelihara kemaluannya dan juga memerintahkan orang kedapatan penglihatan terlanjur  melihat seorang wanita yang memikat hatinya agar segera mendatangi  mengumpuli istrinya.
عن جابر رضى الله عنه  قال : قال رسول الله صلى الله عليه سلم :" اذا احدكم أعجبته المرأة فقعت فى قلبـــه  فليعمـد الى امرأته  فليقعـها ، فـإن ذلك يـرد ما فى نفســـه " [17]
   Artinya :” Dari Jabir RA berkata Rasulullah SAW bersabda,” Jika seseorang diantara kamu tertarik pada seorang wanita  yang menawan hatinya maka hendaklah ia segera mendatangi istrinya dan mengumpulinya karena hal itu akan menolak apa yang bergejolak di hatinya.”
Yakni tindakan itu akan menjaga hati dan jiwa dari godaan yang menghantui tersebut.
Tidak ada  satupun agama dan tatanan di dunia yang lebih tegas dan transparan melampaui  Islam dalam memberi pengakuan  legal  terhadap dorongan naluri manusia dan membersihkan ruang geraknya baik dalam pola pikir maupun perasaannya.Allah SWT berfirman :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ
     Artinya :” . Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. “ (QS: Ali Imron:14)
Nafsu syahwat dan keinginan nafsu dalam ayat ini adalah nafsu syahwat dan keinginan libido yang dihalalkan agama dan memberi kabaikan dan kenikmatan bukan nafsu syahwat yang keji dan berkonotasi kotor lagi berakibat kurang baik. Pernyataan dan ungkapan al Qur’an dalam ayat ini  tidak menyerukan untuk  mengapresiasi  “Nafsu syahwat” suatu yang “kotor” dan suatu yang “kurang pantas” sebaliknya semata-mata menyerukan untuk mengenal tabiat nafsu  dan segala motiv pendorongnya  serta meletakkannya pada posisinya tanpa melampaui proporsi yang sebenarnya dan melanggar nilai-nilai keutamaan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan dan juga menyerukan untuk melongok  sisi lain yang terpendam setelah mengambil signifikansi nafsu syahwat dengan tanpa tenggelam dan melampaui batas.
Islam memperkenankan  menikmati segala yang baik ,indah dan lezat.dalam hidup bahkan ia menyerukan terang-terangan. Allah berfirman menukas orang yang mengingkarinya:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ)سورة ا لاعراف : 32)
Artinya:” Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"(QS; Al A’rof : 32)
Sesungguhnya segala bentuk motif yang wajar dan alami dalam kehidupan tidak dipandang kotor dan profan dalam perspektif Islam demikian juga hasrat untuk berumur  panjang bukan pula suatu yang hina yang dapat meruntuhkan martabat kemulian orang –orang menginginkan kesucian diri.Kecendrungan dan keinginan  berumur panjang adalah sangat selaras dengan kehendak Allah SWT  dalam menciptakan kehidupan itu sendiri  dan tujuan yang Allah kehendaki yaitu mewujudkan dinamika kehidupan  bukan semata-mata memperpanjang umur.
Keinginan “berumur panjang”  itu sendiri merupakan media untuk peningkatan nilai-nilai kehidupan dan dinamikanya dan tidak kontradiktif  sama  sekali dengan pemikiran “dinamisasi hidup”.Oleh karena itu Islam merajut dorongan-dorongan  vital” dalam fitrah manusia  dengan kecintaan dan kecendrungan spriritual yang mendasar dalam fitrahnya dan memadukan  keduannya dalam satu unit keterpaduan yang harmoni dan serasi  tanpa melampaui batas dan  tidak ada pertentangan serta benturan di dalamnya.[18]

KETIGA : MERAIH KETENANGAN HATI DAN JIWA
Dalam atmosfir kehidupan rumah tangga masing-masing suami istri akan mendapati  dalam kemurahan hati pasangannya aneka cipta rasa ; rasa persahabatan, kasih sayang  dan rasa cinta .Suatu cipta rasa dan perasaan  yang tidak akan pernah ia dapatkan bersemayam di hati siapapun.Tidak akan pernah didapati oleh kaum lelaki – sepenuhnya- di hati orang lelaki sejenisnya dan juga kaum wanita  di hati wanita sejenisnya kecuali  bila mereka mengidap  kelainan mental.
Ketenangan hati,rasa cinta  dan kasih sayang yang dirasakan manusia terhadap  pasangan pendamping hidupnya suatu kebutuhan psikologis yang tak terelakkan
dan tidak akan bisa ia peroleh di luar bingkai pernikahan dan berumah tangga..Ia adalah rasa ketenangan yang saling melengkapi dan membutuhkan keberadaannya antara satu dengan yang lainnya.. Rasa nyaman dan tenteram  jiwa kepada  jiwa  lain pasangannya dari jenisnya sehingga dua ruh  tersebut  menjadi satu ruh dan dua hati bertaut menjadi satu hati yang utuh.
Tujuan  ini terekspos dan tersinyalir dalam firman Allah SWT :
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة :21)
Artinya :”  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS : Ar Rum : 21)
Imam Qurthubi dalam mengintrepetasikan ayat خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا (Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,) yakni “wanita-wanita atau istri-istri  yang kamu merasa tenang dan tentram kepadanya . Kata . أَنْفُسِكُمْ dari diri kamu sendiri”   yakni dari air sperma kaum lelaki dan dari  jenis makhluk hidup sebangsamu.
. وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةDia jadikan di antaramu rasa kasih dan sayang”  Ibnu Abbas dan Mujahid menafsiri dengan “rasa cinta kasih (cinta birahi), bersetubuh,dan rasa kasih sayang” .Sebagian menafsiri cinta kasih, kasih sayang serta rasa saling belas kasih dan simpati sebagian terhadap sebagian yang lain. Sebagian   memaknai kata,”al Mawaddah  “   dengan rasa cinta  dan kata “Ar Rahmah” dengan belas kasih . Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.,ia berkata,” kata  “Al Mawaddah” berarti kecintaan seorang kepada istrinya dan kata “Ar Rahmah” bermakna rasa belas kasih  seseorang terhadap istrinya dari keburukan yang menimpa dirinya.Konon seorang laki-laki berasal dan tercipta dari tanah, karena itulah dalam dirinya tersimpan kekuaatan dan sifat elemen tanah. Pada dirinya  juga terdapat Faraj (kemaluan)  yang merupakan awal penciptaannya yang senantiasa membutuhkan ketenangan (dari gejolak libidonya) .Sedangkan wanita tercipta mengakomudir ketenangan dan ketentraman gender laki-laki ini..
Subtansi spiritualitas  kemanusiaan manusia termanifestasikan dalam dua gendernya –laki-laki dan perempuan- Ayat mengatakan خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا (Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,) kemudian menjelaskan  hikmah dan rahasianya لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya”
Imam Asy Syahid Sayid Quthub  dalam ulasan ayat ini mengatakan[19],” Sesungguhnya rahasia dan hikmah sang pencipta menciptakaan masing-masing gender dengan suatu yang memilki sisi keserasian dengan lainnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan nalurinya secara psikologis,mental-spirituil dan biologisnya dan mendapatkan di sisinya rasa ketentraman, ketenangan , kesejukan dan kedamaian serta mereka juga  dalam  kesatuan di sebuah  lembaga pernikahan mendapatkan  rasa ketentraman , kepuasan ,cinta kasih  dan kasih sayang. Penyatuan dua gender ini baik  dalam mental-psikologis,kekeluargaan dan keanggotaan serta  organ - fisik mengandung maksud untuk memenuhi  kebutuhan masing-masing  terhadap apa yang ada di dalam pasangannya , kesatuan dan bercampurnya dan pada akhirnya dapat menciptakan  kehidupan baru  yang terefleksikan dengan terlahirnya generasi baru.
       Oleh karena itu signifikansi pernikahan  bukan semata-mata  memenuhi  gejolak Impulse Libido ( (Dorongan Seks) yang biasa dikenal.Dan inilah makna dan maksud yang tepat Allah meniciptakan manusia“berpasang-pasang” sebagai salah satu tanda dari tanda-tanda kebesaranNya. Allah berfirman:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا(الروم :21)
ِ Artinya :”  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,(QS : Ar Rum : 21).
Imam Al Fakhrurrozi [20] berkata,” Bila dikatakan سكن اليه  (sakana ilaihi  berkonotasi untuk ketenangan dan ketentraman hati. Dan kata  سكن عنـده
berkonotasi makna menempati (tinggal ) secara biologis karena kata عنـد berposisi sebagai dhorof makan (((ظرف المكانkata keterangan tempat” dan ini jelasa sekali  merepresentasikan untuk konotasi makna tubuh biologis sementara kata إِلَيْ bermakna hingga   dan itu merujuk ke hati.
Dan mungkin suatu hal bisa merefleksikan  pengertian ini, adalah  bahwa rasa ketentraman dan ketenangan hati  yang dirasakan pasangan pasutri usia lanjut  akan nampak lebih menonjol  dan gampang diraih dibanding pasangan pasutri usia muda meski seiring kondisi fisik mereka yang kurang mendukung serta telah mereda dan memudarnya dorongan-dorongan seks (Impulse Libido.).Karena subtansi sebenarnya pernikahan adalah mengawinkan martabat kemanusiaan (insaniyah) manusia dengan martabat kemanusian manusia.Tidaklah tubuh (biologis) dikawinkan dan dipertemukan dengan tubuh.(biologis) kecuali dalam “pernikahan  orisinil” dan ini terefleksikan dalan dunia endrawi - fisik dan perbuatan nyata.. Dan yang kami maksudkan dengan  “ mengawinkan martabat kemanusiaan (insaniyah) manusia dengan martabat kemanusian manusia”dalam subyek tema  ini adalah mengawinkan cipta karsa cinta kasih dan kasih sayang yang  mengikat keduanya dan mereka mempunyai kesamaan karena berasal dari nafs (jiwa ) yang sama dengan karaktersitik –karaktersitiknya. Itulah rahasia yang dirillis Al Quran  dengan kata “Ar Rahmi” dalam firman Allah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (سورةالنساء:1)
Artinya :” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(QS : An Nisa’ : 1)[21]
Pernikahan “  disyariatkan dan diperintahkan tidak bermotif untuk   mendapatkan anak  atau memenuhi  tuntutan seks dan kebutuhan biologis semata-mata ,tetapi lebih dari itu atau bersama itu pula Allah tujukan untuk menumbuhkan  “persahabatan”  di muka bumi ini dan melahirkan cinta kasih serta menciptakan kebaikan dan kasih sayang.
Imam Fahrur Rozi [22] berpendapat bahwa   tumbuhnya kasih sayang dan cinta kasih dalam suasana  ketentraman lewat pernikahan  pasangan pasutri jauh dari kesan faktor seksual  adalah suatu ketentuan alami. Menurut hemat beliau , bahwa kita  akan mendapat rasa saling kasih sayang  bersemayam di hati pasangan pasutri jauh berbeda dengan rasa yang dirasakan antara kerabat dekat. Dan itu hanya terwujud  lewat pranataan dan aturan  yang diatur oleh sang Pencipta yang Maha bijaksana .(yakni pernikahan).
Dalam menafsiri dan mengomentari ayat ini , ia berkata,”Bahwa manusia  akan mendapatkan  rasa saling kasih sayang  dalam kehidupan  pasangan suami istri  jauh berbeda rasa yang ia dapatkan dalam hubungan antara sesama kerabat dekat.Dan hal itu bukan semata-mata untuk melampiaskan nafsu birahi (libido) nya. Karena nafsu birahi (libido) ini terkadang pudar dan mereda sementara kasih sayang tetap kukuh kekal abadi, lantara bersumber dari Allah SWT. Sekira ikatan mereka berdua hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan syahwat birahi  dan libido seks, padahal rumah tangga - tak lepas dari prahara dan kemelut ,bahkan kerap  terjadi letupan kemarahan yang tak menutup kemungkinan memudarkan nafsu birahinya dan lagi pula syahwat –nafsu libido tidak bersifat permanen dan senantiasa aktif, sebagai konsweksi yang pasti niscaya   pada setiap saat akan terjadi perceraian dan talak. Maka rasa kasih sayang  yang membuat orang menolak dan menghindarkan diri dari segala yang diharamkan adalah  rasa kasih sayang dari Allah SWT.”
Rasa kasih sayang (Ar Rahmah)  adalah perasaan naluriyah yang membuat pemiliknya bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap orang lain , mengapresiasi, menghargai orang lain dan menerima mereka sesuai keadaanya, menjaga perasaan mereka dan menghormati martabat mereka.Jika perasaan cinta (Al mawaddah) merupakan bentuk kecendrungan dan kecondongan terhadap orang lain.secara psichologis, maka sudah tentu kecendrungan dan rasa simpati  ini muncul  sedikit demi sedikit seiring motif yang melatarbelakanginya. Demikian halnya jika masing-masing orang melaksanakan kewajiban terhadap orang lain  dengan penuh rasa kasih sayang kepadanya  bisa dimungkinkan ia akan condong terhadap  kawan pendampingnya  dengan penuh kecintaan, kasih sayang  dan cinta kasih..
“Ar rahmah” atau “kasih sayang “  dengan pengertian ini melahirkan  rasa cinta kasih dan cinta birahi dan menegaskan eksistensinya.Oleh karena itu tidaklah salah bila ada pepatah bilang,” kecendrungan dan rasa simpati adalah  tataran pertama derajat cinta , Kecendrungan dan rasa simpati  adalah salah satu sisi dari  sisi-sisi bagian “kasih sayang” atau  “Ar Rahmah”  yang menggerakkan segala perasaan luhur  dan terpuji serta berbagai faktor –faktor pendorong dan motiv manusiawi, menghubungkan serta menyatukan  yang kuasa dengan yang lemah,yang kuat dengan yang lemah dan yang jauh dengan yang dekat sehingga masing-masing pasangan punya kesabaran dan ketabahan  dalam melindungi patner pasangannya. Seperti senantiasa siap mendampingi pasangannya  untuk mengorbankan jiwa raga  serta hartanya  guna  menebus  segala gangguan, penderitaan, sakit  atau kekurangan harta dan jiwa,  bersikap murah hati dan toleran bila terjadi kekhilafan  yang terkadang  menuntut mencurahkan daya upaya  yang tidak mampu ia pikul sendiri sehingga mendorong  menarik “belas kasih” dari yang lain  untuk berpartisipasi “serasa dan sepenanggungan”  dan turut meringankan segala beban yang memberatkannya.
“Ar Rahmah” atau “kasih sayang” adalah suatu hal yang signifikan dalam kehidupan pasangan  berumahtangga dan menjadi faktor vital dari faktor –faktor kebahagiannya.karena  perasaan ini akan senantiasa meletakkan manusia  untuk mengambil pilihan berkasih sayang,berbuat baik dan berdedikasi  serta  belas kasih   penuh simpati acap kali badai kehidupan  datang mengancam .[23]
Perundang-undangan Islam tidaklah memerintahkan berumah tangga dan menikah  serta tidak menekankan anjuran untuk membina mahligai rumah tangga melainkan karena pernikahan merupakan satu-satunya jalan lempang untuk meraih kehidupan yang nyaman dan bahagia lantaran ikatan ini  mengakomudir   baik bagi laki-laki dan perempuan  kehidupan yang didominasi dan diliputi  nuansa rasa ketentraman jiwa  , suasana ketenangan hati serta kehidupan yang dipenuhi nuansa saling percaya diri . Disamping itu juga karena pernikahan merupakan satu-satu jalan yang akan  menjamin terajutnya  cinta kasih yang tulus dan kecintaan yang benar antara mereka berdua sebagai  dasar –dasar ikatan kuat bagi hubungan mereka.Pernikahan juga  satu-satunya jalan yang akan menjamin terciptanya rasa saling menyayangi antara mereka , tolong menolong dan gotong royong  di waktu suka dan duka. Bila suatu kehidupan  berjalan serta berbasis pada perasaan –perasaan  sedemikian ini semua, maka sudah  tentu  kehidupan manusia menjadi baik dan penuh keberkahan  baik bagi pemiliknya  maupun  bagi kaumnya.[24]










PASAL PERTAMA
PRINSIP-PRINSIP  DASAR MEMBINA RUMAH TANGGA

BAB INI MEMUAT  EMPAT SUB  POKOK BAHASAN

PEMBAHASAN PERTAMA       : MEMILIH  WANITA YANG TAAT          BERAGAMA  DAN BERAKHLAK MULIA.
PEMBAHASAN KEDUA            :  HAK OTORITAS WANITA MEMILIH CALON SUAMINYA.
PEMBAHASAN KETIGA           :  PERMASALAHAN MEMINANG
PEMBAHASAN KEEMPAT       :  PERMASALAHAN KAFA’AH  & KESEPADANAN















KATA PENGANTAR

Pernikahan adalah akad perjanjian  dan ikatan yang sangat tinggi kedudukannya dan agung sekali nilainya bukan suatu akad dan ikatan ‘main-main” dan aksidentiel serta bukan suatu ikatan” persahabatan bebas  terlepas”  tidak berdiri di atas suatu prinsip dasar  serta tidak  terikat  dengan suatu  ikatan.
Pernikahan bukanlah akad perjanjian sambil lalu dan bukan pula suatu ikatan yang bersifat temporer  serta cepat berakhir. Tetapi pernikahan adalah akad yang erat sekali hubungannya dengan kehormatan manusia  dan menjadi basis – sentral terwujudnya  berbagai kemaslahatan dan kemuliaan. Akad ini  ditujukan untuk melestarikan  dan menjaga kelangsungan hubungan antara pasangan   serta    partisipasi mereka bersama dalam urusan kehidupan.
Akad perjanjian dengan karakteristik dan tingginya signifikansinya  seperti ini tentu  mengehendaki masing-masing pihak yang mengikatkan diri dapat menikmati keinginannya , kebebasan  memilih sepenuhnya lebih yang didapat oleh dua pihak  dalam kontrak perjanjian lain. Tak ada seorangpun memiliki otoritas untuk memaksakannya  dalam ikatan perjanjian ini atau mempertautkan hubungan  dengan orang yang tidak diinginkannya  . ……………….. Tidak ada  otoritas   pasti yang mengikat dirinya dalam akad perjanjian  sedemikian kecuali keimanannya, aqidahnya serta situasi  kondisi  yang  hanya dirinya yang lebih tahu  pasti  dengan syarat tidak  melanggar  hak-hak orang lain  dan tidak  beritikad menyalahgunakan hak ini. sebaliknya berniat untuk meraih kebaikan dan berkonsistensi di jalan yang lurus.
Pernikahan menurut  Islam adalah akad perjanjian antara dua calon mempelai laki-laki dan perempuan untuk membina rumah tangga, diawali dengan menjalin hidup bersama sampai  batas waktu lebih  dari kehidupan pasangan tersebut, suatu kehidupan yang melibatkan  pemikiran, akal budi  dan perasaan mereka guna menjamin  kehidupan mereka bersama, cita-cita , harapan dan masa depan mereka  dalam menghadapi kesulitan dan romantika kehidupan dari rantai kehidupan  dan suka dan duka yang mengirinya.
Seberapa kadar kuat-lemahnya ikatan perjanjian itu dibuat, sejauh itu pula berbagai penderitaan dan prahara kehidupan  nyata  yang terjadi dapat terpecahkan  serta gampang terantisipasi dan tersingkirkan.Bila ikatan yang mengikat pasangan hidup  lemah dan rapuh  atau bahkan tidak ada sama sekali bisa dipastikan  kemelut hidup akan tetap senantiasa mengoncang kehidupan mereka  dan bisa jadi akan meretakkan serta meluluhtantakkan  kehidupan rumah tangga.
Oleh karena itu Islam  memagari lembaga rumah tangga ini  dengan berbagai perundang-undangan secara komplek yang akan  menjamin kekekalan , keutuhan serta survivelnya (kelangsungan hidupnya) bila  manhaj Islam mendapat porsi perhatian penuh oleh  pasangan dalam membentuk institusi ini  dan menyiraminya dengan cinta kasih dan kasih sayang.
Islam dengan perundang-undangannya yang tinggi  dan sistemnya yang komprehensip  telah menaruh bagi setiap  pasangan norma-norma dan hukum-hukum  sekira mereka mau mengambil  petunjuknya dan berjalan  di jalannya maka kehidupan pernikahan dipenuhi   kasih sayang , keharmonisan.dan kehidupan  putra dan putrinya dalam keluarga akan memiliki kwalitas keimanan yang kuat, badan sehat ,akhlak mulia,serta memiliki mental  yang matang , jiwa tenang dan stabil.
Islam juga telah menaruh prinsip-prinsip dasar “hak kebebasan memilih pasangan ” bagi dua pihak yang melakukan ikatan “perikatan ini” .yang sekira  prinsip  ini benar-benar diperhatikan  maka mahligai rumah tangga   akan bisa kokoh dan sehat. Dalam pasal ini kami akan memaparkan prinsip-prinsip yang ideal dalam memilih calon istri , tata cara kenal – mengenal antara calon suami dan istri  pada fase proses peminangan , pandangan Islam tentang perlunya pertimbangan wanita  dalam  legalitas  akad pernikahan dan konsistensi  Islam tentang  perlu adanya kafaah ( kesepadanan) antara kedua calon mempelai.





PEMBAHASAN PERTAMA
MEMILIH WANITA YANG PATUH BERAGAMA
DAN BERAKHLAK

Diantara perangkat norma dan aturan hukum  yang diletakkan Islam untuk  melestarikan  kehidupan rumah tangga , menjaga keutuhan serta kekekalannya, menegakkan pilar-pilarnya dan keselamatan konstruksi bangunannya adalah memberi  hak kewenangan  calon suami untuk memilih calon istrinya sesuai manhaj (jalan) atau ajaran Al Qur’an dan As Sunnah .  Tema ini kami uraian dalam dua sesi pembahasan.

PERTAMA : PRINSIP – PRINSIP DASAR MEMILIH CALON ISTRI  MENURUT  AJARAN  AL QUR’AN.
Allah SWT berfirman:
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا(التحريم : 5)
Artinya:” Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya         dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang   ta`at, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.( QS : At Tahrim : 5)
Karena istri merupakan pondasi pokok  bagi kehidupan rumah tangga  yang tenang , aman  kekal serta harmonis , maka ayat al Qur’an ini menjelaskan urgenitas kriteria-kriteria  calon istri  yang harus menjadi pilihan orang laki-laki yang hendak dinikahinya  dan menjadi fokus perhatiannya.
Berawal mensinyalir   kriteria “ Islam”( (مُسْلِمَاتٍ yang berarti kepatuhan dan ketundukan .Sebagaimana halnya loyalitas pada otoritas kepemimpinan yang bijaksana yang berbasis pada hukum-hukum Allah akan bisa merealisir kemaslahatan individu dan masyarakat.Maka demikian halnya calon istri memiliki loyalitas dan ketaatan  kepada Allah dan RasulNya serta menjaga perintah –perintah agamanya maka ia akan mudah  dan terasa ringan untuk mentaati  suaminya  dan senantiasa mematuhinya  dalam segala urusan kecuali bila  ia memerintahkannya berbuat maksiat durhaka kepada Allah dan RasulNya .Tentunya dia tidak akan mentaatinya.
Kemudian kriteria  “beriman kepada Alah” (مُؤْمِنَاتٍ ( yang akan memenuhi hati  dengan cahaya petunjuk dan keyakinan.yang menjadi pangkal akar  ketaatan dan kepatuhan  kepada Allah SWT , sumber penggerak amal perbuatan  yang diringi keikhlasan , kerelaan dan  ketenangan hati pelakunya .tanpa ada unsur riya dan pamer ketaatan.
 Sementara kriteria “ qunut [25]kepatuhan ” ( قَانِتَاتٍ ) hati akan melahirkan  segala perbuatan dan sikap yang baik dan indah [26]dan sifat/ kriteria taubah[27] (تَائِبَاتٍ  (yakni  rasa penyesalan  atas kemaksiatan yang terjadi dan kemauan menuju ketaatan. Calon istri  yang memiliki karakter sediemikian ini memungkinkan ia memiliki kiat untuk meraih kembali sesuatu yang terabaikan dan melakukan perbuatan ,kebiasaan yang baik,  baik secara materil maupun spirituil demi kebaikan suaminya, individu-individu keluarganya maupun masyarakatnya. Adapun wanita yang bersikap masa bodoh dengan kesalahannya, biasanya kurang peka dan buta sama sekali  terhadap prilaku atau kebiasaan yang utama, semena-mena serta suka berdalih dalam setiap kesalahan yang diperbuat. Oleh karena itu wanita seperti ini tak bisa diharapkan segera menyadari atau  berhenti dari kesalahan  dan akibatnya sangat membinasakan bagi dirinya sendiri, suaminya, keluarga dan masyarakatnya. Allah berfirman :
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Artinya :  “Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya (QS : Al Fathir : 8)
Kriteria “ ahli al ibadah [28]dalam firman Allah عَابِدَاتٍ (wanita-wanita ahli ibadah) . Ibadah merupakan ikatan kuat yang mempertautkan hamba dengan Allah SWT , mendekatkan diri  dan berserah diri sepenuhnya kepadaNya.
Kriteria “ As siyahah” dalam firmanNya سَائِحَاتٍ  berarti suka berfikir, memikirkan  ayat-ayat kebesaran Allah  yang bertebaran  di semesta nan luas tak terbatas dan memikirkan dilalahnya,dan berbagai proses yang menyingkapkan rahasia-rahasinya.[29]
Dan firman Allah SWT. ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا}  { yakni diantara  mereka itu ada yang dari kalangan wanita janda dan masih gadis perawan . Penyebutan hiterogenitas demikian dimaksudkan untuk lebih mengakomudir keinginan. Karena kemajemukan adalah tabiat yang disukai jiwa manusia. Oleh karena itu Allah berfirman : ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا“yang janda dan yang perawan” [30]
Sifat dan kriteria-kriteria ini  meski berkaitan masalah aqidah, ibadah kepada Allah dan memikirkan  ayat-ayat kauniyah , namun  pengaruhnya  sangat signifikan kembali kepada kehidupan manusia sendiri.Sesungguhnya  bisa dipastikan semua  perbuatan manusia baik laki-laki maupun perempuan terwarnai dengan sifat dan kriteria tersebut. Semua sikap dan prilaku sehari-hari  akan mencerminkan kuat lemah imannya pelakunya.Hal ini terjadi karena  Allah SWT telah  menggariskan di dalam Al Qur’anul Karim tata cara hidupnya dan macam hubungan mu’amalat antara sesamanya, yang termanifestasikan dalam kehidupan sunnah NabiNya. Oleh harena itu barang siapa patuh dan konsisten dengan tata cara Al Qur’an dalam mua’amalat (bertindak) antara individu sesamanya, berarti ia  telah mentaati Allah dan Rasulnya. Sebaliknya  barang siapa menyalahi tata caranya dalam segala prilakunya  dan menganggap asing, berarti ia telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya dan itu merefleksikan kelemahan imannya.
Al Qur’anul Karim telah menjelaskan ragam hubungan yang harus menjadi prinsip dasar kehidupan pasangan berumah tangga. Laki-laki  adalah “Qowwamun” tulang punggung  bagi kaum wanita.Maka mereka punya hak otoritas ditaati istri kecuali bila memerintah durhaka kepada Allah dan RasulNya, disamping  berkewajiban mempergauli istri dengan baik  atau menceraikan dengan baik-baik.
Seorang istri muslimah,mu’minah dan qonitah (patuh suami) dialah wanita yang akan mampu menjadi pendamping setia suami sepanjang hidupnya  sejalan dengan perintah Allah SWT dan Sunnah RasulNya.Dialah sosok wanita yang memiliki potensi intelektual dan daya nalar yang cukup  matang untuk memahami kedalaman jiwa manusia. Ia punya kemampuan mengaudit dan memahami lawan jenisnya . Ia dapat mengenal berbagai sisi kejiwaan suaminya dan cara pendekatannya sehingga dapat memperlakukan cara yang dapat menciptakan kemaslahan dan kebaikan kehidupan mereka berdua.
Seorang calon suami dalam memilih calon istri hendaknya punya perhatian serius  terhadap berbagai  kriteria-kriteria  dan aspek-aspek  yang biasanya  menarik kaum  laki-laki  merasakan tenang dalam kehidupan berumah tangga.. Karena ini merupakan factor fundamental  dalam kehidupan berumah tangga dan factor utama  terwujudnya kebahagiaan  suami istri. Diantara aspek –aspek  yang menyamin ketenangan dan ketentraman hidup adalah calon istri adalah wanita berakhlak mulia pernah mengenyam dan mempeoleh  pendidikan  yang baik, ia punya kesiapan dan kemampuan mempergauli pasangannya dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga.,ia wanita penyayang dan suka disayangi sehingga muncul dari dirinya cinta timbal balik “Mutualisme love” Dan ini adalah   bukti  adanya rasa saling membutuhkan  satu sama yang lain yang akan menubmbuhkembangkan hubungan naluriyah  dalam kehidupan jiwa  mereka .sehingga bahtera  kehidupan rumah tangga mereka benar-benar berbasis pada (mawaddah)”cinta” dan (Ar Rahmah) “ kasih sayang” yang Allah jadikan sebagai pilar –pilar kehidupan rumah tangga. Allah SWT telah menaruh pada hati masing-masing  pasangan rasa menyayangi dan merindukan terhadap pasangannya ..Suami memberikan cinta dan kasih sayangnya sepenuhnya  demikian juga yang dilakukan  oleh istri . [31]
Allah berfirman :

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة :21)
Artinya :”  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS : Ar Rum : 21)

KEDUA  : PRINSIP – PRINSIP DASAR MEMILIH CALON  ISTRI DALAM PERSPEKTIF AS SUNNAH
Rasulullah  SAW. menjelaskan kriteria-kriteria yang biasa menjadi dasar wanita dinikahi dan menegaskan sifat atau  criteria utama yang harus dipilih  serta  membuat  norma fundamental dalam memilih calon istri.
Dririwayatkan dari  Abu Hurairah ra.  dari Nabi SAW bersabda :
تنــكح  المرأة   لا ربـــع  :  لمـالها ، ولحسـبها [32] ولجمـالها  ولد ينها فا طفــر [33] بـذات الدين  تربت يداك [34]
Artinya :” Wanita dinikahi karena empat perkata ;  karena hartanya , karena kedudukannya, karena kecantikannya  dan karena agamanya; hendaklah engkau memilih yang  beragama , niscaya engkau  berbahagia”
Hadist Rasulullah SAW ini memuat aspek-aspek  dan kriteria wanita yang patut dinikahi bagi yang berminat menikah . Beliau membatasi dan mengidentifikasi  pada empat aspek pilihan.
Kriteria   opsi Pertama : keberadaan wanita calon istri  seorang yang memiliki kekayaan,. Ia adalah wanita kaya  atau seorang hartawan. Hal ini  akan membantu kelangsungan  hidup rumah tangga dan memungkin dapat menghindarkan keretakan rumah tangga  yang terjadi akibat himpitan ekonomi. Ini bukan merupakan sifat dan criteria  prasyarat  mutlak pilihan yang diperhitungkan dalam hal memolih  wanita  meski keberadaannya lebih utama dari pada tidak . Namun pernikahan itu sendiri ,sebagaimana Allah eskpos dalam FirmanNya   merupakan jalan dan proses untuk memperoleh kekayaan . Allah berfirman:
فانكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ )النـور : 32)
Artinya : . Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. (QS : An Nur : 32).
Konon tatkala ayat ini terdengar oleh  Abu Bakar Siddiq RA., ia berkaata,” Patuh kalian semua kepada Allah dalam perihal perintah Nikah, niscaya Ia akan memenuhi janjinya memberi kekayaan kepada kalian semua [35]
Kriteria opsi  kedua : Hasab ( keturunan,kedudukan atau/status sosial ) wanita calon istri.. Hasab berarti kehormatan keluarga baik dari  status sosial  warisan nama baik  orang tuanya  maupun yang mereka peroleh sendiri. Anggaplah bila wanita  tersebut berasal dari nasab keturunan yang baik-baik  dan keluarga bangsawan terpandang, tentu akan menjadi daya pikat laki-laki untuk menikahinya. Jika kebangsawanan dan status sosial ini tidak punya akar sama sekali dalam keluarganya, tetapi mereka telah berjasa melakukan amal kebajikan,  berperangai mulia ,berprilaku baik  maka itu merupakan kehormatan yang batangkali melampaui statuts kebangsawanan  atau keningratan dan kebanggaan keturunan dan akan menjadi faktor pilihan kreteria  terpenting yang menjadi motiv  menikahinya.
Kriteria  opsi ketiga : Kecantian calon Istri :  yaitu bentuk penampilan / performance luar seorang wanita baik  berupa kecantikan  paras wajah dan kesempurnaannya atau kemontokan  tubuh  serta pesona perawakannya.
Rasulullah SAW. telah menyuruh berhati-hati  agar kita  jangan menikah karena  salah satu dari tujuan-tujuan   lahiriyah tersebut  dengan menjelaskan alasannya  sekaligus.
Wanita  cantik  bisa jadi kecantikannya akan menyeretnya dalam jurang fitnah kecuali memang Allah memapagarinya dengan karakter iffah  (menjaga kesucian diri ), kemulian hati dan keutamaan.jiwa. Kekayaan bagi wanita  jika tidak dihiasi  akhlak yang mulia  salah-salah akan  mendorong  dirinya berbuat  semena-mena terhadap suaminya, merubahnya berwatak liar  berbuat semaunya dan sewenang-wenang yang akibatnya akan mengeruhkan kejernihan hidup pasangan dan mengamcam eksistensi keluarga. Demikian halnya wanita bangasawan bisa jadi status social keluarganya  akan menjadi pemicu bersikap congkak dan berbuat sewenang-wenang  terhadap suaminya.
Karena itulah Nabi SAW. – dalam hal berkaitan dengan membentuk keluarga  dan membina rumah tangga- menganjurkan memilih bibit wanita yang baik , yaitu menjatuhkan pilihan  wanita-wanita yang berakhlak dan yang patuh beragama. Beliau bersabda :
فا طفــر بـذات الدين    “maka pilihlah wanita  yang patuh  beragama 
       Kriteria opsi  keempat “kepatuhan agama calon istri Rasulullah SAW telah menilai opsi ini  sebagai pilihan utama dalam prinsip-prinsip  memilih calon istri. Karena wanita patuh beragama  meski tidak memiliki kecantikan yang memadai - dan ini adalah masalah subyektif dan relative dimana masing-masing orang punya penilaian yang berbeda  - namun ia mempunyai sisi kelebihan  baik berupa  kebaikan kepribadian,  hatinya serta prilakunya. Oleh karena itu  Rasulullah bersabda

فا طفــر بـذات الدين  تربت يداك
Artinya :”  hendaklah engkau memilih yang  beragama , niscaya engkau  berbahagia”
Di sini Rasulullah SAW. menganjurkan untuk mengutamakan wanita yang patuh beragama, meski tidak memiliki criteria –kriteria yang menjadi daya tarik menikahinya pada umumnya.
Tiga criteria   pertama yang menjadi daya tarik wanita meski mendominasi pada dirinya-.betapapun cantiknya, bagaimanapun hasab (status sosial nasabnya), indahnya postur dan penampilan tubuhnya-  namun semua itu semua hanya sebagian perhiasan (asesoris) kehidupan dunia.Dan sudah dimaklumi  dalam realitas kehidupan sehari-hari kita, bahwa itu semua tidak akan bersifat permanen . Harta kekayaan betapapun banyaknya , niscaya juga akan habis dan binasa.. Hasab (kebangsawanan) semata terkadang mendorong wanita berbuat sewenang-wenang  pada suaminya. Sementara kecantikan lahiriyah tidak akan bisa berlangsung lama sebaliknya akan mudah layu bahkan cepat redup . Adapun kepatuhan beragama akan  kekal abadi, mempunyai kesan dan pengaruh yang baik,  bau yang harum  hingga setelah meninggal dunia akan tetap menjadi memory dan kenangan sepanjang masa.
Oleh karena itu, Rasulullah memperingatkan agar tidak  menikahi wanita yang  kurang berpegang teguh pada  nilai- nilai agama, meski  memiliki tiga kriteria  pertama dan lebih menekankan memilih wanita yang patuh beragama meski kurang dalam tiga criteria tersebut.
Adapun sekira criteria “ketaatan beragama”  dalam diri seorang wanita menyatu dengan  tiga criteria tersebut  atau bersama  dengan salah satunya, maka tidak terlarang menikahinya. Sebaliknya itu adalah suatu nilai lebih  bila  seorang wanita disamping taat beragama, ternyata juga berharta, cantik  atau dari keluarga bangsawan. Adapun yang dilarang bila pilihan hanya wanita berkriteria tiga aspek tersebut  tanpa mengindahkan aspek keagamaanya.
Dialah Ummul Mukminin Sayyidah Khodijah RA  telah menjadi  pelindung Rasulullah SAW, tambatan hati ,persinggahan dan tempat yang memberi keteduhan bagi beliau. Keakrabannya dengan Ralullah SAW  semasa hidupnya telah meninggalkan kesan yang mendalam di hati beliau membuat beliau senantiasa mengenang segala kebaikannya. Sehingga hal itu mengundang perhatian istri-istri beliau dan memicu   kecemburuan padahal ia sudah berada di hariban ilahi  memperoleh keridlaanNya. Namun keharuman tingkah laku  dan prilakunya yang mulia  masih terasa dan terhirup oleh suaminya , baginda Nabi   hingga  akhir hayat beliau.
Imam Bukhori   meriwayatkan dari Ummil Mukminin “Aisyah RA, sesungguhnya ia berkata:
ما غر ت  على إمرأة  للنبـى ما غرت على خـديجة  هلكت  قبل  أن  يتزوجنى بثلا ث  سنين ، لمـا كنت اسمعـه  يذكرها ولقد امـر ربـه عـز وجل أن يبشرها  ببـيت من قصب  فى الجنـة ، وأن كان ليـذبح الشاة  ثم يهـديها  الى خلا ئلها [36]
Artinya :”Tidaklah aku cemburu  terhadap istri Nabi lebih dari yang aku rasakan  terhadap Khodijah  padahal ia sudah meninggal dunia selang tiga tahun sebelum beliau menikahiku tatkala aku mendengarnya menyebut-nyebutnya dan mengenangnya , bahwa Allah telah memerintah beliau menggembirakannya dengan  istana dari emas   di surga  dan menyembelih  kambing  kemudian menghadiahkan kepada kerabat-kerabat dekatnya. (dikeluarkan oleh Imam Bukhori).
Rasulullah SAW. telah menekankan untuk memilih wanita yang taat beragama dan melarang memilih calon istri  dari wanita hanya karena sisi kecantikannya semata, tanpa memperhatikan  sisi agamanya. Padahal sisi agama inilah yang akan  banyak berperan menghindarkannya  dari berbagai tindakan yang salah  dan membentengi dari prilaku-prilaku   syaitan. Wanita patuh beragama akan menjadikan  kecantikannya  dan keindahan tubuhnya sebagai kenikmatan spesial untuk suaminya bukan laki-laki lain.Tak sanksikan hal ini akan  menciptakan ketenangan jiwa suaminya, kenyamanan dan ketentraman.. Wanita taat beragama akan bersikap dan berprilaku  dalam berhias atau berpakaian dalam batasan-batasan hukum syariat. Bila istri  kurang taat beragama dan sangat lemah sekali pengaruhnya dalam dirinya, maka ia akan sembrono  dan kurang peduli  bagaimanaia cara berhias dan berpakaian  ketika bersama kerabat muhrimnya dan bukan muhrimnya.  Bahkan boleh jadi ia tidak peduli  kejiwaan suaminya dan kecemburuannya yang menyebabkan  keadaan rumah tangga mereka menjadi goncang , serta hubungan interaksi suami istri tersebut menjadi pudar serta melemah.. Kehidupan mahligai rumah tangga mereka melewati hari-harinya  penuh dengan kemalangan dan kesengsaraan akibat istri terus menerus dalam kesesatannya.
Dalam pranataan sedemikian ini ada upaya  pemeliharan agar   kebahagian  kehidupan rumah tangga suami istri   diliputi  dengan saling percaya dan kerelaan.
Itulah Islam  dengan petunjuk-petunjuknya  yang memperkokoh tali ikatan pasangan  berumah tangga  dari sekian banyak kaum wanita  yang jauh dari  manhaj Islam saat mereka keluar rumah menuju tempat kerja atau saat memenuhi kebutuhannya.Begitu mereka pulang ke rumah mereka menanggalkan semua perhiasan mereka. Profil istri seperti ini akan menjadi cambuk yang menyiksa jiwa suaminya. Ia tidak pernah merasakan kenyamanan hidup, meski beragam fasilitas hidup  bisa diraih dan ia nikmati. Tidak diragukan lagi dalam hal ini bahwa  berumah tangga  adalah hak  independen  setiap individu. orang.-  baik laki-laki maupun perempuan- Seorang muslim tidak  boleh  turut bersama dalam  hak ini dengan bentuk , cara dan alasan apapun.serta tidak boleh masuk dalam wilayah personal ini. Seorang  lelaki  muslim tidak akan rela melihat istrinya serong  dengan lelaki lain atau mendengar  bercengkrama  bercanda ria dengan seseorang  atau ngobrol, ia merasa sedih dan sengsara bila hal sedemikian  terbayang di dalam benak pikirannya  meski tidak mendengar dan melihat sendiri..
Oleh karena itu Rasulullah SAW memberi anjuran  agar seseorang memilih  wanita yang teguh beragama karena ia akan lebih memelihara diri  dan jiwanya lebih terasa anggun cantik mempesona  serta lebih menjaga kebutuhan-kebutuhan psikologis suaminya.
عن  عبد الله  بن عمـرو ابن العاص  رضى الله عنه أن رسو ل الله  قال  : الدنيا متـاع  وخير متاعها  المر أة الصا لحة[37] 
Artinya :” Dari Abdullah bin Amru bin Ash RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “ Dunia adalah perhiasan dan sebaik –baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah.”
Makna yang dimaksud penghulu para utusan SAW ini  bertendensikan bahwa kaum muslimin dalam membina rumah tangga  hendak menekankan untuk memilih  istri yang sholehah  lantaran ia akan membantu suami dan banyak memberi konstribusi besar dalam  urusan –urusan terberat mereka.dan  pilihan itu adalah wanita yang berpegang teguh pada agama.. Ia juga akan mampu mentransformasikan kepada putra putrinya  kepribadian yang  santun lagi luhur  dan nilai-nilai keutamaan.Oleh karena itu  Rasulullah SAW sangat  menganjurkan  untuk memilih wanita yang patuh beragama.
Beliau SAW juga  bersabda :
لا تـزوجوا   النساء  لحسنهن  فعسى حسنهن  أن  يرديهن  و لا تزوجوهن لاموالهم قعسى أموالهم   أن تطغيهن ولكن تزوجوهن على الدين  ولامة  خرماء [38]  سوداء  ذات دين أفضل[39]
Artinya :”Janganlah kamu sekalian menikahi wanita karena kecantikannya, karena barang kali kecantikannya akan menjeremuskan diri mereka dalam kebinasaan dan jangan mengawini mereka karena harta kekayaannya , karena bisa jadi hartanya akan membuat diri mereka durhaka dan berbuat sewenang-wenang, tetapi kawinilah mereka karena agamanya dan niscaya wanita sumbing  berkulit hitam legam  tetapi patuh bergama akan lebih utama bagi kalian.”
Mengingat kriteria-kriteria wanita yang pantas dinikahi sebagaimana yang dijelaskan dalam surat At Tahrim dan kriteria- kriteria yang ditunjukkan hadist  Rasulullah SAW tidak mengakumulasi  sisi kecantikan, harta kekayaan  dan kebangsawanan keluarga wanita secara terpisah (terlepas dari memandang sisi agamanya) , yang amat rentan menjadi biang petaka , memperburuk iklim kehidupan berumah tangga.,maka yang menjadi fokus perhatian dalam memilih calon istri harus wanita yang beragama.Oleh kaena ketika seorang laki-laki  menginginkan  wanita yang beragama, lantaran  agama dan akhlaknya maka ia terpacu konsisten dengan agamanya  dan berhias diri  dengan akhlak .
Dus jelaslah sudah sisi agamalah yang akan mengakumulasi  segala kebaikan dan menjadi parameter yang paling utama untuk menilai kebaikan suami terhadap istrinya. Maka apatah kemudian peran  fungsi harta kekayaan , kecantikan dan kebangsawanan ?
Tiga aspek tersebut secara alami merupakan permasalahan yang sering menarik hati manusia , memberi kepuasan naluri kebinatangan dan  menyeret tabiat manusia hanyut dalam kecintaanya hingga melanggar batas-batas keutamaan dan menyingkirkan standar nilai-nilai kebaikan yang biasa terjadi pada suatu masa dan negeri yang terlepas dari faktor-faktor kemaslahatan umum dan kebaikan bersama tetapi lebih lekat pada kepentingan  individual , egoisme personal, melampiaskan keinginan naluri hewani(super ego ) yang  lambat laun menjadi menjadi standar nilai moral dan keutamaan bagi semua orang dan amal perbuatannya  dalam segala lini urusan kehidupan termasuk urusan perjodohan dan pembentukan rumah tangga. Meski kriteria –kriteria ini umumnya  tidak  permanen – sering melepaskan pilar-pilar nilai kemanusian,  mengonyang  hak manusia dalam egaliteranisme ( persamaan derajat) dan dalam  mendapatkan penghargaan serta  tidak jarang menciptakan  beragam kedzaliman ,kesewenang-wenangan, dan sifat egoitas diri  pada diri sekelompok orang .- mereka umumnya yang memiliki harta kekayaan, kecantikan  dan ketampanan sering terjangkiti beragam penyakit ; dengki , hasat, suka menjilat, penuh kepura-puraan atau congkak dan berbuat sewenang-wenang terhadap pihak kelompok lain .- mereka biasanya  tidak memiliki salah satu dari  aspek –aspek tersebut di atas . Suatu hal  yang  acap kali  mengancam  norma-norma  kehidupan sosial  dan menjadi biang dekadensi tatanan sosial dan keruntuhannya . Karena pengakuan standar-standar moral sedemikian  berimplikasi  fatal munculnya dilema psikologis dan ketidakpercayaan. Padahal secara rasional- realistik tidaklah setiap orang mampu menjadi orang cantik- tampan, kaya raya, memiliki  hasab /kedudukan dan kekuasaan.[40]
Sesungguhnya  setiap  orang punya kesanggupan untuk menjadi orang berakal budi dan patuh beragama.Bila semua orang nyaris punya kesanggupan   dan nilai-nilai keutamaan  dengan berstandarkan pada parameter sedemikian itu, maka sudah dipastikan segala dilematika psikologis  dan factor-faktor penyebab kerisaunnya akan hilang dengan sendirinya . Atmosfir lingkungan hidup  mereka akan tumbuh  berkembang  dan terintregrasi utuh  secara manusiawi dalam  berbagai bidang kehidupan, terhindar jauh dari  keburukan sifat egoisme, suka menjilat  dan kedengkian.
Inilah tendensi Islam dalam menetapkan prinsip dasar memilih calon pasangan hidup dan pada gilirannya akan menjadi prinsip umum pula di segala aspek kehidupan yang Allah ciptakan sebagai ukuran tertinggi  untuk mengukur perbuatan manusia,  dasar penilaian  serta kemulian mereka di sisiNya. Allah berfirman :
إ نّ اكرمكم  عند الله اتقا كم  ( الحجرات  : 13 )
Artinya :” Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS : Al Hujurat : 13).
Adapun keterikatan pada aspek-aspek lahiriyah baik pada kekayaan, kecantikan dan kebangsawanan  menurut kaca mata Islam cenderung akan menjauhkan  manusia dari  sosok personal empunyanya sendiri, karena hanya aspek-aspek itu saja yang secara otoritas   menjadi ukuran harga diri dan kemulian menurut orang yang mencarinya.
Begitu  aspek-aspek lahiriyah sedemikian ini pudar dan berakhir, atau unsur ketergantungannya diri lenyap ( seiring meredupnya aspek-aspek tersebut), maka orang tersebut tidak memiliki kemuliaan  dan tidak punya harga diri sama sekali. Adapun agama dan akhlak akan koheren dan lekat dengan empunyanya dan menjaganya dari segala bentuk perubahan  kecuali menuju ke arah yang lebih baik sejalan dengan perjalanan waktu , merubah kesenangan dan  kecendrungan instincknya  ke arah  suatu yang bermutu serta  mengandung kemaslahatan  bagi individu, keluarga dan masyarakatnya. Sang empunyanya  sebagai sosok yang utuh berintegritas tinggi dan mempunyai potensi-potensi yang saling mendukung itu berkiblat pada titik sama yaitu mewujudkan kebaikan bersama.Maka tak mengherankan sama sekali,bila kita dapati  Islam melarang  terhadap ketergantungan tersebut, terlepas dari keterikatan unsur  agama , moral, nilai – nilai dan prinsip-prinsip hidup yang ada di dalamnya tetapi sebaliknya menyerukan agar integritas personal pada agama ini dijadikan tolok ukur  umum  menilai kebaikan ,   berkwalitasnya kehidupan pasangan berumah tangga  serta kemuliannya. Itulah apa yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabat beliau  – secara praktis -  saat suatu kali seorang sosok laki-laki  lewat di depan beliau  sebagaimana hadist berikut :
مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ[41] إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ يُسْتَمَعَ  ثُمَّ سَكَتَ فَمَرَّ رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لَا يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لَا يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ لَا يُسْتَمَعَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
Artinya :Konon seorang laki-laki melintas di depan Rasulullah SAW, seraya beliau bersabda,” Apa pendapat kalian tentang laki-laki seperti ini ? Mereka berkata,” layaknya orangk ini  sekira ia melamar niscaya akan diterima, bila mencari jodoh  niscaya akan mudah mendapatkannya , bila berkata pasti didengar orang.Lalu beliau diam sejenak. Kemudian lewatlah seorang laki-laki dari golongan miskin  kaum muslimin , seraya beliau berkata,” Apa pendapat kalian perihal laki-laki ini ? “ Mereka berkata,” Pantasnya orang ini sekira ia melamar tak mungkin diterima, bila menginginkan jodoh pasti sulit dan bila berkata tak akan didengar orang. Lalu Rasulullah SAW berkata,” Ketahuilah laki-laki ini nilainya lebih baik dari segala yang ada di permukaan bumi.” [42]
Dari sini jelaslah  bahwa Islam membatalkan tolok ukur  jahiliyah  dan pertimbangan-pertimbangann orang-orang bodoh  yang mengukur  kemulian orang, keagungan martabatnya serta kepantasan orang  untuk dijadikan pasangan hidup berumah tangga dengan ukuran harta atau kedudukan /pangkat jabatan, atau kecantikan dan kebangsawanan, disaat yang sama  mereka menolak kompleksitas subtansi  keagungan, kemuliaan,  ukuran kepantasan yang sebenarnya dalam mencari pasangan  dan tolok ukur keutamaan , kemulian  dan memilih pasangan.
Dengan ini pula Islam menegakkan barometer yang benar untuk menciptakan kebahagian hidup serta menyelamatkan manusia dari kejahatan jiwa ,arogansi kebanggaan kekayaan, kedudukan, egoisme  kecantikan dan ketampanan. Ini juga tolok ukur yang adil tanpa diperdebatkan, Suatu keadilan yang  penentunya memutuskan manusia secara obyektif , menurut kadar kemampuan mereka  dan apa yang mereka lakukan.bukan menurut beban yang ia wajibkan  serta apa yang takdirkan atas diri mereka  atau situasi yang memaksa mereka. Keadilan ini menuntut untuk tidak mengukur seseorang dengan ukuran  kekayaan, kedudukan ataupun kecantikan dan ketampanan, tetapi dengan kadar kemampuan kebaikan  akal budinya , berinteraksi hubungan dengan sesamnya dan mempergauli mereka, dengan kadar potensi mewujudkan kebaikan dan kebahagiaan untuk dirinya dan orang –orang  yang bersamanya dan menghindarkan mereka dari gangguan dan keburukan.
Adakah suatu tolok ukur yang sangat  akumudir sedemikian selain tolok ukur agama ini . Agama yang menilai  masing-masing orang  menurut kadar kemampuannya dan nilai-nilai keutamaan-yang dapat ia  wujudkan  ini membuka kesempatan peluang yang sama  di depan semua manusia. Allah berfirman :
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى (سورة البقرة : 197)
Artinya :” Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan  bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. ( QS : Al Baqoroh : 197)
وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْر(سورة الاعراف : 26)
Artinya : “ Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS : Al A’rof : 26)
Agama menumbuhkembangkan  setiap gender dari pasangan  menurut perhitungan individu dan kelompoknya dan menyatukan antara akal pikiran  dan  gagasan,  antara arah dan tujuan atau sasaran, menyingkirkan segala bentuk konfik yang muncul karrena perbedaan  latar belakang pendidikan masing-masing  baik dalam  berfikir dan berprilaku, menghidupkan berbagai faktor yang menciptakan  kerja sama , cinta dan kasih sayang serta  membangkitkan  daya kemampuan untuk mengarungi berbagai kesulitan.hidup dan problematikanya dan mengatasil kesalahan-kesalahan kecil sehingga dapat manghimpun  dan memadukan berbagai potensi kedamaian serta kesejahteraan untuk mendukung  hubungan kehidupan pasangan berumah tangga dan interaksi sosial antara mereka.
Bila semua itu menjadi pertimbangan dan tolok ukur penilaiannya – dan harusnya memang demikian adanya -  maka sudah tentu pandangan orang   tidak hanya sekedar  hasrat melampiaskan  penyaluran Impulse Libido ( (Dorongan Seks) hewaniyah” tetapi lebih dari itu  yaitu memenuhi tugas  kewajiban menegaskan pengertian nilai-nilai kemanusiaan  dan karakteristiknya  dalam hubungan  laki-laki dan perempuan  dengan bertolak dari berfikir tentang “berumah tangga”, maka pola pandangnya tidak hanya terbatas pertimbangan  segi-segi materiil lahiriyah semata, tetapi pertimbangan  jaminan-jaminan keserasian, keharmonisan hidup pasangan berumah tangga  dan kestabilan mental . Standar jaminan sedemikian ini  tidak ada perbedaan  di kalangan orang- orang  yang taat beragama. Penilaian ini menjadikan masing-masing pasangan suami istri punya kiat untuk menyenangkan dan membahagiakan pasangannya,  menolak gangguan dan bahaya  yang membahayakannya sebagai manifestai penghambaan diri  kepada Allah  dan ketulusan dalam kepatuhan terhadap  aturan syariatNya bukan bersikap lunak terhadap instick nalurinya atau  mengikti kehendak nafsu keinginannya.[43])
Untuk itulah maka Rasulullah  menegaskan ajakan untuk memilih  wanita yang taat beragama dan melarang mengabaikan standar ukur  sedemikian. Rasulullah SAW bersabda :
من تـزوج  امرأة   لعـزها  لم يـزد ه الله  إلا ذلا ًّ ومن تـزوجـها  لمـا لهالم يـزد ه الله  إلا  فقـرا  ومن تـزوجها  لحسبها لم يـزده الله  إلا دنـاءة ، ومن تـزوج امـرأة  لم يـرد بها إلا  أن يـغض  بصـره  ويحصـن فرجــه او يصل رحمــه  بارك الله  له  فيها  وبارك  لها فيه . [44] 
Artinya :” Barang siapa  menikahi wanita karena  kemuliaannya, maka Allah hanya akan menambahkannya kehinanaan,barangsiapa menikahinya lantaran hartanya maka  Allah akan menambahkan kefaqirannya, barang siapa menikahinya  karena hasab (kebangsawannanya)  maka akan Allah tambahkan  kehinaan dan barang siapa menikahi wanita tidak menginginkannya melainkan agar bisa  menjaga pandangannya dan  memelihara kemaluannya atau  menyambung persaudaraan (silaturrahmi) , maka semoga Allah memberkahi hidup mereka berdua  karena  satu dengan lainnya.” (Hadist  dikeluarkan oleh Imam Thabrani).
Dari hadist tersebut di atas jelaslah Islam tidak menegakkan tolok ukur  aspek lahiriyah  tetapi selalu mengedepankan perhatian  pada subtansi aslinya, karena Allah tidak melihat bentuk lahiriyah orang dan harta kekayaannya, tetapi hanya memperhatikan  hati dan amal perbuatannya.
Tidak diragukan lagi bahwa membangun rumah tangga  adalah  usaha  yang sangat signikan dalam  eksistensi masyarakat sosial  bahkan dalam eksistensi umat secara keseluruhan. Ia adalah konstruksi sebuah bangunan ,keselamatannya dan keutuhannya  menjadi acuan keselamatan masyarakat sosial dan kemulian umat.
Bila  dalam perencanaan membangun gedung-gedung, orang-orang sangat punya perhatian serius kualitas batu-batu  yang digunakan, memilih letak dan posisi yang tepat  disamping memilih bahan-bahan  baku  yang bermutu yang menjamin keselamatan, keutuhannya serta  daya kekuatannya  hingga batas waktu tertentu .
Bila membangun bangunan gedung  yang terkomposisi dari  batuan dan tanah liat, orang – orang sangat konsern sedemikian itu, maka  perencanaan membangun bangunan lembaga rumah tangga  dan keluarga yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan  dengan anak-anak mereka sudah tentu harus lebih membutuhkan kejelian dan seletifitas tinggi dan lebih layak memerlukan perbincangan dan pertimbangan . Alasan rasionalnya, karena bangunan batuan  itu hanya berhubungan  urusan duniawi yang bersiat fana’, sementara bangunan keluarga sangat erat hubungannya dengan kebahagian dunia yang rentang konswensinya  hingga   di akherat yaitu negeri keabadian.









PEMBAHASAN PERTAMA
HAK PEROGRATIF  WANITA
 DALAM MEMILIH CALON SUAMINYA

Dari  keseriusan Islam  menfasilitasi segala jaminan wajar  untuk kebahagiaan wanita,  keutuhan serta kekekalan rumah tangga,   sampai kepada pemahaman kita dengan jelas  bahwa Islam  memberi kepada wanita  keputusan akhir menerima atau menolak . Tidak ada seorangpun punya hak otoritas memaksakannya menikah dengan laki-laki yang tidak ia sukai  karena kehidupan mahligai rumah tangga  tidak mungkin tegak  atas dasar pemaksaan dan paksaan, padahal Allah berfirman :
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
Artinya:” dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS: Ar Rum : 21).

Mustahil dan jauh panggang dari apinya   cinta dan kasih sayang  akan bisa terwujud  dengan rasa kebencian  dan keterpaksaan.
Kaum hawa telah memperoleh kebebasan dan kemuliaan  dalam Islam  dengan porsi yang cukup besar.Diantara hak-hak yang mereka peroleh ,paling menonjol  adalah hak perogratif memilih calon suaminya. Islam memberi mereka hak  menerima atau menolak  siapapun pelamar datang mengajukan diri melamarnya  dizaman saat mereka dipandang tak ubahnya barang dagangan dijual belikan  dan tidak memiliki harga diri sama sekali. Dimasa sekarang ,meski  Islam sangat konsern memelihara hak mereka ini, namun kita masih melihat bahwa ternyata sebagian orang tua  yang bertindak semena-mena menikahkan putrinya tanpa memberikan kewenangan memilih atau dimintai  persetujuan. Bahkan kita lihat pula tidak sedikit  keluarga  dengan cara paksa menikahkan  putri-putri mereka  dengan lelaki yang tidak mencintainya atau sebaliknya  dengan apapun alasan dan keadaan apapun.
Begitu anak putri itu menentang,  maka mereka menganggapnya  keras kepala , tak tahu malu serta melanggar batas-batas kesusilaan dan tradisi turun maturun yang berlaku. Mereka dengan sengaja membuat dinding penghalang  terhadap  ajaran-ajaran Islam dan petunjuk  Rasulullah  yang  menegaskan secara transparan  bahwa  pernikahan tidak akan syah tanpa  persetujuan dan kerelaan  wanita yang hendak  dipinang.
Imam Bukhori  meriwayatkan  dari Ummu Salamah RA;
عن أم سلمة  رضى الله عنها  أن أبا هريرة  حـدثها أن النبـى صلى الله عليه وسلم  قال :" لا تنـكح  الايم  حتى تستأمر  ولا تنـكح  البـكر  حتى  تسـتأذن " قالو ا  يارسول االله   وكيف اذنها  ؟ قال  " ان تسكـــت "
Artinya :”Diriwayatkan dari Ummi Salamah RA bahwa Abu Hurairah menghabarkan kepadanya  bahwa Nabi SAW  bersabda ,” Janda tidak akan dikawinkan kecuali sesudah ditanya dan perawan tidak boleh  dikawinkan  kecuai sesudah diminta izinnya  para sahabat bertanya,” Wahai Rasulullah bagaimana  izinnya itu “. Beliau bersabda ,” Diamnya “ . [45]
عن عائشة رضى الله عنها  قا لت :" سألت رسول الله  صلى الله عليه وسلم عن الجارية ُينْكِحُهَا أَهْلُها أتُسْتـَـأْمَرُ امْ لاَ ؟ فقال الرسول صلى الله عليه وسلم : نَعَمْ تُسْـتَـأْمَرُ  فقا لتْ عائشة : فقُلْتُ له  فـَإنـَها تَسْتـَحْىِ  فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  فـذلك إذنـها ِإذَا هِـىَ سَكَتـَتْ
Artinya :” Diriwayatkan dari “Aisyah RA berkata,” Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang gadis perempuan yang  dinikahkan keluarganya ,” adakah ia diminta persetujuannya atau tidak? Maka Rasulullah bersabda,”  Rasulullah bersabda,” Ya ,dimintai persetujuannya  maka “Aisyah berkata, aku katakan pada beliau, sesungguhnya dia pemalu, lalu Rasulullah SAW bersabda,” persetujuannya itu adalah bila ia diam.[46]
Al Ayyim, atau Atsayyib (janda) ialah wanita  yang telah hilang keperawanannya  sebab persetubuhan lewat perikatan akad yang syah  atau rusak atau karena persetubahan yang  dihukumi syubhat.[47]
Al Istikmar ( permintaan rekomendasi) yakni  hendaknya wali wanita tidak mengakadkannya  sebelum meminta perintah langsung darinya untuk menikahkannya.[48]
Al Bikr ( gadis perawan ) ialah wanita yang masih utuh selaput dara/hymen keprawanannya, atau mungkin telah robek dan hilang karena  gerakan melompat yang fatal atau datang bulan (haidl) dalam hal sedemikian ini  menikahkannya juga tidak syah sebelum diminta persetujuannya dan kerelaannya.Jika  ia malu mengucapkannya  maka untuk mengetahui persetujuannya cukup  dengan diamnya  karena diamnya itu merupakan bukti persetujuannya.
Dalam kitab Shohih  Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi SAW,  bersabda:
الاَيـِّـمُ  اَحَـقُّ  ِمنْ وَلِيـِّهَا  وَالْبـِكْرُ  تُسْـتَأْذَنُ فِى نَفْسِـهَا وَإذْنـُهَا  صَمـَاتـُهَا
Artinya :” Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan perawan dimintai persetujuan tentang dirinya dan persetujuannya adalah diamnya.”
Dalam suatu riwayat beliau bersabda  وَصَمَا تُهَا اِقْراَ رُهَا     “diamnya adalah persetujuannya”  dalam riwayat lain : إذنـها سـكوتها  izin atau persetujuannya adalah diamnya.”[49]
Imam Nawawi  RA [50] dalam menjelaskan hadist ini berkata,” Ketahuilah  bahwa lafadz  اَحَـقُّ di sini mempunyai konotasi makna “musyarakat”  atau “kebersamaan” , yakni dirinya punya hak otoritas atas diri sendiri dalam pernikahannya  demikian pula walinya.Tetapi haknya lebih kuat dan dominan dari hak walinya . Oleh karena itu bila walinya berkeinginan mengawinkannya dengan laki-laki yang sekufu’ (sepadan) lalu ia  membangkang maka tidak boleh dipaksakan. Sebaliknya  bila ia sendiri berkemauan menikah dengan  laki--laki sekufu’ (sepadan), sementara wali enggan menikahkan maka  wali tersebut boleh dipaksakan. Jika ia tetap bersikeras  maka hakimlah yang punya hak menikahkannya. Maka jelaslah hadist tersebut menegaskan keunggulan hak wanita atas walinya dalam pernikahan.”
            Adapun sabda Nabi SAW, perihal gadis perawan ;
" لآ تـنكح  البـكر حتى تسـتأن Tidaklah perawan dinikahi sebelum dimintai persetujannya.”    Para Ulama berselisih pendapat dalam memahami maknanya. Imam Syafi”i , Ibnu Abi Laily , Imam Ahmad, dan Ishaq, dan lainnya berpendapat senada , bahwa permintaan izin dan persetujuan  dari  gadis perawan dalam pernikahan suatu yang diperintahkan. Bila walinya adalah ayah, atau  kakeknya maka permintaan izin dan persetujuannya  bersifat  anjuran (lebih baik) . Sekira ia menikahkannya  tanpa persetujuannya  maka nikahnya syah  karena kesempurnaan kasih dan sayang mereka.Imam Al “Auza’I , Abu Hanifah, demikian yang lain dari ulama Kufah   berpendapat ,” Wajib hukumnya meminta persetujuan  bagi semua   gadis perawan  yang sudah baligh lagi dewasa.”  Adapun sabda beliau perihal gadis perawan :’ persetujuannya adalah diamnya.” mempunyai pengertian umum pada setiap gadis perawan dan setiap Wali serta diamnya sebagai jawaban persetujuaannya  cukup difahami secara mutlak, dan ini adalah pendapat yang benar.Adapun gadis janda  maka jawaban persetujuannya  harus dengan lafadz yang diucapkan, tidak ada bedanya apakah walinya ayahnya sendiri secara langsung atau bukan.
Dan diantara penjelasan Imam Nawawi tentang Hadist ini, setelah mengamati berbagai referensi kita-kitab Fiqh petingan,” Jelaslah  bahwa para ulama penganut madzhab mereka berselisih pendapat  perihal “ urgensinya  permintaan persetujuan gadis perawan yang sudah baligh’’ ke dalam dua varian .
Sebagian mereka berpendapat permintaan ayah  atas persetujuan gadis perawan yang sudah baligh atau dewasa  hanya bersifat “ Mustahab” atau anjuran oleh karena itu ayah dapat menikahkannya tanpa persetujuannya.[51]) Sesungguhnya permintaan persetujuan  gadis perawan  yang sudah baligh  saat tidak adanya ayah ( selaku wali)  adalah bersifat wajib hukumnya.
Pendapat kedua; mereka berpandangan  bahwa permintaan persetujuan untuk setiap gadis perawan yang sudah baligh dihukumi wajib, berlaku bagi semua , baik ayah atau wali lainnya.[52])
Menurut hemat kami pendapat kedua yang lebih kuat, karena alasan-alasan yang kami kemukakan sebagai berikut :
Para pendukung pendapat pertama percaya sepenuhnya “ adanya keutuhan kasih sayang ayah dan kakeknya oleh karena itu tidak perlu adanya permintaan persetujuan gadis perwaliannya, padahal  hal itu suatu yang belum dapat  dipastikan  dalam kenyataan factual. Meskipun secara rasional kita bisa membayangkan adanya kelekatan kasih sayang ayah dan kakeknya kepada putrinya. Tetapi azas semacam tidak bersifat permanen, sebaliknya  dalam realitas kehidupan nyata sering kita jumpai sebagian orang tua yang bersikap keras dan otoriter . Mereka tidak punya  rasa takut dan takwa kepada Allah di hati mereka, lebih cenderung dikuasai  keinginan hawa nafsunya, kebiasaan-kebiasaan dan  tradisi-tradisi  masyarakat mereka  serta hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, hemat kami, permintaan persetujuan  gadis perawan  lebih memberikan jaminan dan meyakinkan Oleh karena “ Guru Pengajar kebaikan  bagi manusia” SAW  menjadikan persoalan sedemikian  sebagai hak privat wanita, sehingga ayah atau walinya tidak bisa  bertindak sewenang-wenang  menentukan masa depan yang menyengsarakan hidupnya atau menikahkannya hanya untuk  kepentingan pribadinya  bukan untuk kepentingan dirinya.
Sesungguhnya  bila kita mau membuka mata lebar-lebar  mengamati fonomena kebanyakan factor utama terjadinya  perceraian (talak) niscaya kita akan mendapatkan lebih sering dinominasi factor melanggar intruksi Rasulullah  dalam memberi  wanita hak untuk memilih calon suaminya.
Demikian jelaslah bagi  kita bahwa wanita-  janda ataukah  gadis perawan- mempunyai  kebebasan penuh menolak  siapa laki-laki yang tidak ia sukai dan ayahnya serta walinya tidak punya hak sama sekali  memaksakannya dengan pria yang tidak disukainya.
Oleh karena itu bila  terjadi wali mengakad-nikahkan janda tanpa dimintai rekomendasi dan perintahnya atau perawan  tanpa dimintai izin dan persetujuannya terlebih dahulu ,maka akad pernikahannya dibekukan menunggu  pengesahan dari masing-masing secara langsung.
Demikian yang ditunjukkan oleh teks hadist Nabi shorih .
فقـد روى  البـخارى  عن خنساء بنت  خـدام  الانصاريـة أن اباها زوجها وهى ثيب  فكرهت  ذلك فـأ تت رسو ل الله صلى الله عليه وسلم :" فـرد نكا حها "
Artinya : Imam Bukhori meriwayatkan dari Khonsa’ binti Khuddam al Ansyoriyah, Bahwa ayahnya menikahkannya sedangkan ia seorang janda lantas ia kurang menyukai hal itu .kemudian ia mendatangi Rasullah SAW mengadukannya, maka Rasulullah SAW pun menolak dan membatalkan pernikahannya.[53]
Juga dalam suatu hadist Nabi lain, disebutkan;
أن فـتاة أتت  النبى صلى الله عليه وسلم  تشـكو  إليه  أن ابـاها زوجـها وهى كارهـة فخـيرها
Artinya :” Bahwa seorang gadis remaja datang kepada Nabi SAW  mengadukan kepada beliau perihal ayahnya menikahkan dirinya  padahal  ia kurang menyukai , maka nabi memerintahkan untuk menentukan pilihannya.
Dan ini juga ditegaskan hadist Abdullah bin Buraidah RA :
عن عبد الله بن بريدة  عن عائشة قالت : جاءت فتاة إلى النبى صلى الله عليه وسلم فقالت: إن أبى  زوجـنى ابن أخيـه ليرفع  بى خسيسته ، قال  فجعل الامـر اليها  فقالت : قد أجـزت  ما صنـع أبى، ولـكن أردت  أن تعـلم النساء  أن ليس الى الا بـاء  من الامـر  شيئ
Artinya :”Diriwiyatkan dari Abdullah bin Buraidah dari Aisyah berkata : “Telah datang seorang gadis kepada SAW  seraya berkata,”sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan saudara laki-laki sepupuku untuk menghilangkan kehinaannya”  Abdullah berkata,”Maka Rasulullah pun memerintahkan gadis  itu untuk mengambil sikap sendiri.” Lalu ia berkata,” Aku rela dengan apayang dilakukan ayahku, tetapi aku berkeinginan  agar semua wanita tahu, bahwa  orang tua/ayah   tidak punya hak sedikitpun atas mereka”[54]
Ternyata gadis itu lebih memilih tetap melanjutkan pernikahan yang dilakukan ayahnya setelah Rasulullah  SAW memerintahkan untuk  memilih keputusannya sendiri. Jelaslah di sini  ketinggian  perundang-undangan Islam dan keagungannya.
Adapun permasalahan seorang ayah menikahkan” putrinya yang masih kecil “ sebelum  menginjak  dewasa tanpa persetujuannya maka di sini ada pembicaraan panjang lebar.
Mayoritas para ahli fiqih  memberi fatwa kebolehan seorang ayah menikahkan anak putrinya  yang masih kecil yang belum beranjak dewasa  tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu  dengan menyandarkan pada hadist pernikahan Nabi dengan sayidah Aisyah RA . Hadist ini  telah dikeluarkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim , Ibnu Majah dan para ahli hadist lainnya.
وروى البخارى  فى صحيحه : عن عائشة رضى الله عنها أن النبى صلى الله عليه وسلم  تـزوجها وهى بنت ست سنين  وأدخلت  عليه وهى بنت  تسع  وكثت  عنـده نسعا
Imam Bukhori  meriwayatkan  dalam kitab Shohihnya dari Aisyah RA  bahwa Nabi SAW menikahinya saat ia masih berumur enam tahun,dan ia masuk dalam rumah tangga beliau  saat berumur  sembilan tahun dan tinggal bersama beliau berumur sembilan tahun. [55])
Hadist kedua  diriwayatkan Imam Muslim dalam Shohihnya, dari ‘Aisyah RA
عن عائشة  قا لت تـزوجنى رسو ل الله  صلى الله عليه وسلم  لٍسِتِّ سنين وبنى بي وأنا بنت تسع سنين قالت : فقدمنا المدينة  فوكعت[56] شهرا فوفى  شعرى  جميمـه[57]  فأتـتنى  أم رومان  وأنا  على ارجوحـة  ومعى صواحبى فصرخت بى فأتيتها  وما أدرى  ما تريد بى فـأخـذت  بيدى فأوقفتنى على الباب  فقلت  : هـه هـه [58] حتى  ذهب نفسى فأدخلتنى  بيـتا فإذا نسوة من الانصار فقلن على الخيـر والبركـة  وعلى  خيـرطائر فاسلمتنى  إليهن فغسلن رأسى وأصلحننى فلم يرعنى[59] إلا  ورسو ل الله ضحى  فـأ سلمننى إليه  [60]
Dari Aisyah RA berkata,”Rasulullah SAW telah menikahiku  saat aku  berusia enam tahun, dan Rasulullah menjalin  hubungan rumah tangga denganku ketika  aku berumur sembilan tahun. Kata Aisyah : Kami datang di Madinah  lalu   aku menderita sakit demam  selama sebulan hingga rambutku rontok semua setelah rambutku tumbuh , aku didatangi oleh  Ummu Ruman ketika aku sedang bermain jungkit-jungkitan  bersama kawan- kawanku , ia memanggilku  kemudian aku mendekat kepadanya tanpa aku  mengerti apa yang dia inginkan denganku. Dia lalu memegang tanganku kemudian  dia menghentikanku di pintu sampai nafsku  bersuara : Hah, hah, Setelah nafasku reda, tiba-tiba di situ banyak  perempuan dari  kaum Anshar. Mereka mengatakan,” Sungguh untung  dia mendapat  berkah, sungguh baik nasibnya,” Ummu Ruman  kemudian menyerahkanku  kepada mereka, lalu mereka membasuh kepalaku  dan mendandaniku . Maka aku tidaklah dikejutkan  kecuali  oleh munculnya Rasulullah  SAW pada waktu dhuha , lalu mereka menyerahkanku kepada Rasulullah.  
Imam Nawawi rahimahulllah [61] dalam Syarah Shohih Muslimnya , mengomentari  hadist – hadist tersebut ,” Bahwa hadist  Aisyah  RA 
تـزوجنى رسو ل الله  صلى الله عليه وسلم  لٍسِتِّ سنين وبنى بي وأنا بنت تسع سنين
Artinya :” ,”Rasulullah SAW telah menikahiku  saat aku  berusia enam tahun, dan Rasulullah menjalin  hubungan rumah tangga denganku ketika  aku berumur sembilan tahun”  dan dalam riwayat yang lain تزوجها وهى بنت  سبع سنين   (beliau menikahinya ketika berumur tujuh tahun.)  sebagai dasar yang jelas dalam kebolehan menikahkan gadis di  bawah umur  tanpa  persetujuannya karena memang tidak perlu diminta  persetujuannya.
Jumhur mayoritas  kaum Muslimin, memperbolehkan menikahkan gadis perawan  di bawah umur  dengan alasan hadist ini . Mereka menjelaskan bahwa para ahli fiqih  terbagi ke  dalam dua  kelompok.[62]
Kelompok pertama; berpendapat kebolehan semua wali menikahkannya, seperti Al Auza”i dan Abu Hanifah.[63]
Kelompok kedua berpendapat, ia hanya boleh dinikahkan  oleh ayah dan kakeknya. Kata mereka,” Jika dinikahkan selain kedua wali tersebut tidak syah.” Pendapat sedemikian itu didukung para ulama  antara lain  Imam Syafi’i[64] ,Imam Malik[65], Ahmad[66] dan Jumhur Ulama.
Menurut  dua kelompok  sebagaimana kita dapati  mereka memperbolehkan ayah menikahkan putri gadisnya dibawah umur tanpa persetujuannya. Kemudian Imam Syafi’i dan para ulama penganut mandzhabnya berkata,” Ayah dan kakek dianjurkan  tidak menikahkan gadis perawannya  hingga dewasa dan cukup umur  serta meminta persetujuannya agar tidak menjerumuskannya dalam kehidupan pernikahan padahal ia kurang menyukai.”
Imam Nawawi [67] mengomentari  pendapat Imam Syafi’i  dan berkata,(” Pendapat ini tidaklah bertolak belakang dengan Hadist Aisyah  karena maksud mereka adalah  agar wali tidak menikahkannya  sebelum dewasa atau baligh. Jika tidak ada  maslahat yang jelas,  yang dikhawatirkan terlewat sekira ditangguhkannya sebagaimana  Hadist Aisyah RA,  maka dianjurkan   untuk segera menikahkannya  karena ayah diperintahkan untuk  mewujudkan kemaslahatan putrinya agar tidak terlewat.)
            Pendapat Imam Syafi’i ini sangat menakjubkan kami, meski kami berandai-andai kalau sekiranya ia berkata,” Ayah dan kakek tidak seharusnya mengawinkan gadis perawannya  sebelum cukup dewasa atau baligh”, sebagai pengganti kata,”yustahabbu atau dianjurkan” dengan alasan serupa yang dia sebutkan, yakni “ sehingga tidak  masuk berada dalam keluarga suami  padahal ia kurang menyukai.” Karena   menikahkan  anak yang belum cukup umur  tanpa persetujuannya beresiko  cukup besar sekali.”
            Sesungguhnya pernikahan dalam Islam  mempunyai tujuan-tujuan yang agung yang tercermin  dalam pembentukan ikatan terpadu antara laki-laki dan perempuan atas dasar  kerelaan penuh dan kemauan yang benar untuk merealisir rasa cinta, kasih sayang, serta saling menyayangi sebagaimana  yang ditunjukkan Firman Allah:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
Artinya:” Artinya :”  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS : Ar Rum : 21)
Sesungguhnya menikahkan anak belum cukup umur tanpa sepengetahuannya dan persetujuannya  bertolak belakang dengan tujuan yang paling sederhana dari tujuan-tujuan pernikahan dalam Islam, yaitu “ meraih  rasa tenteram  dan cinta kasih” Bagaimana ia bisa memperoleh rasa cinta, kasih dan sayang, di saat menginjak dewasa  membuka matanya ,melihat  di depannya  seorang laki-laki yang tidak ia sukai, yang terkadang seumur ayahnya  atau kakeknya- ternyata adalah suaminya- pilihan ayahnya untuknya di saat ia belum mengerti urusannya sama sekali sehingga harus menghadapi  reallitas kenyataan di luar pilihannya’
            Bila kita persepsikan  bahwa Islam memberi kuasa penuh kepada ayah menikahkan  putrinya yang belum cukup umur tanpa  persetujuannya , maka hal itu hanya kewenangan yang dipercayakan kepada  orang-orang tua (ayah)  yang mempunyai nilai ketakwaan tinggi lagi mengetahui  batasan-batasan hukum Allah  menjaga hak-hak anak-anak perempuan mereka serta mengukur  kemaslahatan atau kepentingan dengan visi pandang Islam yang benar bukan kepentingan pribadi  dan visi pandang sosialnya serta bukan karena mengikuti  kemauan hawa nafsu dan kepentingan duniawi  semata. Sesungguhnya ternikahinya Aisyah oleh Rasulullah  SAW  meski  dianut oleh tokoh-tokoh sahabat, seperti Abu Bakar, Umar , Ali serta sahabat-sahabat lain  yang membuat gadis perempuan  terasa menjadi terhormat di sisi mereka, tetapi adakah  di kalangan muslimin yang selevel dengan mereka sekarang. ?  Dimana ada  kaum muslimin sekarang yang menilai , mengenal  serta mengukur kepentingan  dengan tolok ukur yang benar jauh dari  memuaskan hawa nafsu , adat kebiasaan, tradisi serta kepentingan –kepentingan personal pribadi ?!
            Mengingat pertimbangan maslahat  telah menjadi  obor  penerang bagi ahli fiqih kaum muslimin  hingga mereka mampu  berijtihat  di bawah cahaya terangnya. Dan karena  prinsip  dasar syar’i dalam hokum-hukum syariat yang bersifat ijtihadi  adalah  menegaskan hak (kebenaran) , menarik berbagai kemaslahatan dan menolak mafsadah, sementara kemaslahatan  tidak senantiasa sama  tetapi berbeda-beda dari waktu ke waktu serta berubah dan berganti  seiring kondisi yang melingkupi manusia baik atau buruknya.
            Tatkala kondisi kaum muslimin rusak  dan moral akhlak  mereka menjadi memburuk lagi terpuruk  mereka mulai meninggalkan pertimbangan “ kemaslahatan” ini. Maka  undang-undang  “Ahwalus Syahsiyyah “ (Hukum Keluarga),  di Negara-negara Arab, seperti Suria, Libanon, Irak, Yordania, Tunisia , Maroko  dan lainnya  sepakat   untuk tidak memperkenankan menikahkan remaja putra dan putri  sebelum mencapai umur  dewasa, meski  mereka berselisih pendapat  dalam memberi batasan umur dewasa [68]). Diantara negara –negara ini , ada yang menetapkan  batasan minimal  18 tahun  bagi anak laki-laki  dan 17 tahun untuk anak perempuan dengan mengacu pendapat madzhab  Imam Abu Hanifah dalam batasan umur baligh  atau dewasa.Diantara mereka  ada yang menjadikan batasan umur baligh dengan  15 tahun. Dan kalau seandainya mereka melihat hal itu terdapat nilai kemaslahatan  niscaya mereka tidak akan menjustifikasi  undang-undang  (aturan yang memperbolehkan pernikahan dini ) .
            Sesungguhnya berpedoman kasus  pernikahan sayidah Aisyah  dengan Rasulullah  SAW sebagai dasar memberi hak kuasa ayah (orang tua)   menikahkan anak-anak perempuannya yang belum cukup umur  tanpa sepengetahuannya  tidaklah cukup . Karena hal itu bertentangan dengan Hadist Rasulullah SAW, ,” Janda tidak akan dikawinkan kecuali sesudah ditanya dan perawan tidak boleh  dikawinkan  kecuai sesudah diminta izinnya  para sahabat bertanya,”[69]   dan hadist-hadist lain dalam bab serupa  yang memberi kaum wanita hak secara transparan dalam  memilih calon suaminya.
            Hal ini secara lahiriyah  akan menjadi hadist-hadist Qauliyah  bersebarangan dengan sunnah fi’liyah. Pertentangan ini akan tetap ada  tidak hilang  kecuali bila  kita menjadikan  pernikahan nabi dengan Sayidah Aisyah sebagai kekhususan Rasulullah ansich.
           





















PEMBAHASAN KETIGA
MEMINANG

Definisi Khitbah ( Meminang) menurut  bahasa  dan syariat.
Adapun menurut etimologi, Khitbah- dengan dikasrah kho’  adalah masdar (kata benda abstrak) dari kata kerja khotoba. Dikatakan خطب فلا ن  فلا نة  خطبـا وخطبة  Si Fulan benar- benar meminang Fulanah  dengan suatu pinangan   yakni memintanya untuk menikahinya . Dikatakan ;” Ia meminang pada keluarganya : yakni meminta mereka untuk dapat menikahinya.”[70]
Adapun menurut istilah syariat adalah permintaan seorang laki-laki  dan pernyataan keinginannya untuk menikahi wanita tertentu  yang tidak  ada halangan-halangan  secara syara’.
Pengertian ini mencakup  permintaan baik langsung kepada wanita itu sendiri maupun kepada  salah satu walinya , baik  pemintaan itu diterima atau ditolak, baik yang  mengajukan permintaan itu  langsung orang yang berkompeten yang ingin menikahinya maupun lewat orang lain dari kerabat dekatnya , kawan dekatnya atau wakilnya.[71]
Pensyariatan khitbah (meminang):
Khitbah  suatu yang ditetapkan validitasnya oleh syariat atas dasar Al Qur’an, Sunnah , Ijma’ serta Urf ( adat ).
Adapun dasar dari Al Qur’anul Karim, Firman Allah SWT :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ
Artinya:” Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan     sindiran (QS.: 235).
            Adapun dari As Sunnah  sabda Rasulullah SAW.
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
     Artinya :’ Jika salah seorang diantara kamu sekalian meminang wanita , kalau bisa melihat lebih dahulu  apa yang menjadi daya-tarik untuk menikahinya , maka hendaknya dilakukannya.”[72]
            Demikian pula konsensus (ijma’)  ulama menjustifikasi  kebolehan meminang disamping  telah menjadi suatu hal yang familier  dalam adat kebiasan kalangan umat manusia .[73]
            Khitbah (meminang)  dalam pemahaman Islam bukan merupakan perjanjian syar’i yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan mempunyai konsekwensi  dan segala akibat hukumnya .tetapi  masih berupa prolog (usaha pendahuluan) menuju proses pernikahan  dan ikatan janji yang berorientasi kearah pernikahan.Segala bentuk  yang berlaku dalam adat kebiasaan orang baik berupa pembacaan surat Al Fatehah, pemakaian jala rambut  atau tukar cincin atau membayar mahar dll tidaklah  merubah hakekat dari arti khitbah tersebut. [74]


FAEDAH MEMINANG DAN HIKMAH DISYARIATKANNYA

Faedah meminang dan hikmahnya  tampak jelas  dalam hal-hal  sebagai berikut;
1)      Memudahkan  peran pentingnya saling mengenal antara laki-laki calon suami dan wanita calon istri yang akan mengokohkan  prinsip-prinsip dasar  saling tolong menolong dan kerja sama antara mereka  terutama setelah masuk dalam jenjang pernikahan.
2)      Menebarkan jiwa kasih sayang antara calon mempelai ( pelamar dan yang dilamar)  di mana masing-masing mereka  berupaya keras untuk dapat menyenangkan rekannya , dan memperlakukannya dengan penuh penghargaan  dan berbagai upaya menyiapkan mental  dan situasi  untuk melestarikan jiwa dan semangat  sedemikian itu setelah masuk dalam jenjang pernikahan.
3)      Mewujudkan  ketentraman dan ketenangan , sekira  masing-masing  calon mempelai  merasa  percaya penuh untuk menuju  jenjang pernikahan pada proses selanjutnya.[75])

            Diantara hal yang sangat  tercela baik menurut pandangan agama dan nilai moral ada sebagian orang yang menyimpang dari tujuan-tujuan yang benar dari disyariatkannya pernikahan dan mereka enggan mengambil petunjuk agama mereka  dalam menangani permasalahan khithbah (meminang). Mereka lebih sering dikuasai prilaku  berlebih-lebihan dan terkonsentrasikan masalah tukar-menukar  kado pemberian, peningset dan pemikat yang kesemuanya semata-mata bertendensi  memperoleh  mas kawin , biaya-biaya pernikahan dan pesta pernikahan, serta perlengkapan penganten yang keadaannya nyaris mirip tawar menawar dalam  kegiatan komersial , jauh dari usaha melakukan ikatan suci yang bertujuan agar jauh menjadi kerabat dekat dan penolong dan orang asing menjadi kerabat (lewat jalur pernikahan) dan sanak kerabat.
Kebanyakan peminangan gagal  terjadi   tak lain disebabkan  terlalu berlebih-lebihan ,melampaui batas dan terlalu ketat dalam urusan financial. Padahal Allah SWT  mewajibkan mahar atau mas kawin  dalam pernikahan untuk memperlihatkan mulianya lembaga  pernikahan dan tingginya kedudukannya ansich,  Ia tidak menyukai berlebih-lebihan dalam hal tersebut.
Demikian juga  Sunnah Nabi  menganjurkan  untuk tidak berlebih-lebihan  dalam perihal mahar.
عن عائشة رضى الله عنها أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم قال : أعظم النساء بركة أيسـرهن مـؤ نـة
Artinya:”Wanita yang paling besar berkahnya adalah yang paling gampang dan sederhana  maharnya.” [76])
Pertunangan atau pinangan  yang diterima belum merupakan bentuk pernikahan atau semi pernikahan, sebaliknya  semata-mata sebagai suatu perjanjian untuk menuju proses jenjang pernikahan dan tak menimbulkan akibat hukum; menetapkan hak  atau menghalalkan hal yang semula haram dan mengharamkan yang halal. Wanita yang dipinang serta merta dengan pinangan tersebut tidak berhak  mendapatkan sedikitpun dari mahar dan nafkah.Mereka berdua  adalah orang lain satu sama lain seperti halnya sebelum peminangan atau pertunangan.

ETIKA MELIHAT SEBELUM MEMINANG.

Meminang adalah  rukhsah  (dispensasi) atau kemurahan  yang dianjurkan  Islam. Islam telah membuat  aturan adab sopan santun yang harus  dijaga dan batasan-batasan yang harus dipelihara sehingga tidak berubah menjadi liar  tak beraturan, akibat  para orang tua (ayah) dan walinya  terlalu meremehkan dan kurang peduli terhadap etika dan batasan-batasan ini.dan kurangnya memahami kebanyakan orang  terhadap urusan agama mereka. Suatu masalah yang sering membuka peluang kesempatan bagi orang-orang fasik  dan  orang-orang iseng yang senang mempermainkannya. Mereka menggunakan rukhsah  atau kemurahan ini  sebagai peluang melihat wanita berpindah-pindah dari rumah ke rumah dan mendatangi perbuatan –perbuatan haram.Sehingga wanita-wanita remaja itu tak ubahnya seperti komoditas murahan di pasar yang silih berganti ditawar atau dilamar dan jadi bahan permainan orang-orang yang berminat membeli, padahal Islam menganggapnya seperti mutiara yang terpelihara dan tidak rela ia dipandang dengan sebelah mata seperti itu yang jika diulang-ulang akan menghancurkan harga dirinya dan hilang rasa malunya bahkan kehilangan kemuliaan  dan jiwanya  didera beragam problematika dan penyakit psikologis.
Diantara etika dan adab sopan santun meminang yang harus dipelihara bagi orang –orang yang memiliki ketakwaan dan muruah( tata susila)  serta  para orang tua dan wali terutama permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1)   Hendaknya pemikiran untuk melihat pinangan  itu setelah mengenal betul sisi agama, akhlak, hasab (status social), nasab (keturunannya) , pangkat derajat atau kekayaannya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wanita tersebut.Sehingga tekadnya untuk melihat dan mendapatkan gambaran profil dirinya secara jelas harus didasarkan atas keinginan yang kuat dan niat yang benar.
Rasulullah SAW. bersabda:
إذا ألقى الله فى قلب امـرئ  خطبـة  إمرأة  فلا بأس  أن ينظر إليها
 Artinya :” Jika Allah menaruh di hati seseorang  minat  untuk meminang seorang   wanita , maka tidak apa-apa  bila ia  melihatnya”[77]
Yakni sebelum meminangnya, bukan setelahnya karena bisa jadi ia berpaling darinya  setelah melihatnya  dan tentu hal itu sangat menyakitkan hatinya.
2)   Saat melihat wanita pinangannya jangan sampai sepengetahuannya- sebisa mungkin- sehingga bila berpaling dan kurang menyenanginya tidak merisaukan hatinya.
Rasulullah SAW bersabda:
إذا حطب أحـدكم  امـرأة  فلا جناح عليه  ان ينظر إليها  إذا كان  إنما ينظر إليها  للخطبة  وإن كانت لا تعـلم
     Artinya :” Jika salah seorang diantara kamu sekalian meminang seorang wanita maka tidak apa-apa  baginya melihat pinangannya  bila mau dan jika melihatnya untuk meminang maka hendaknya hanya ia lakukan tanpa sepengetahuannya.”[78]
3)   Untuk tidak bersikeras dan berupaya ingin melihatnya langsung, kecuali  jika dirasa kemungkinan besar permintaannya diterima lantaran ada unsur kekufuan (kesepadanan) dirinya dengannya. Adapun kemungkinan besar ditolak karena adanya kesenjangan yang cukup besar antara dirinya dengannya  dalam hal kemulian (status social) atau pangkat dan kedudukan  misalnya – maka lebih baik hendak ia mengurungkan niatnya.
Bila sekiranya kemungkinan diterima dan ditolaknya itu sama maka sebaiknya ia mengkonfirmasikannya lewat orang yang dipercaya yang sisi agama dan yang keikhlasannya tidak diragukan lagi.
4)   Hendaknya peminang  mengutus wanita  terpandang dari keluarga  yang dipercaya sisi amanahnya dan agamanya  untuk melihatnya  agar turut memikirkan wanita yang hendak dinikahinya serta memberi gambaran utuh tentang sosok dirinya dan kepribadiannya, jika sekiranya ia cukup sulit melihatnya secara langsung atau bila ia ingin mengetahui  lebih jauh  tentang keadaan kepribadiannya dan sifat-sifatnya . Rasulullah SAW pernah mengutus Ummu Sulaim  untuk mendatangi seorang wanita, lalu sabdanya :
اُنْظُرِىْ إِلىَ  عُرْقبُـَيْهَا وَشمَىِّ مَعَـا ِطِفهَا
Artinya :” Lihatlah kedua urat ketingnya  dan ciumlah kuduknya "[79])
Dan dalam riwayat Imam Ahmad dan imam ahli hadist lain dengan redaksi
وَشَمِّى عَوَارِضِها
Artinya:  “dan ciumlah bau mulutnya ”
Perintah melihat kedua urat ketingnya di sini  ditujukan  untuk  mengenal kesuburan tubuhnya  dan baik tidaknya posturnya.
Sementara perintah mencium bau “awaridlnya” – yaitu gigi-gigi selebar mulut, antara gigi seri dan gerahamnya [80]- dimaksudkan  untuk meyakini penuh  dengan keharuman bau mulutnya.
5)   Hendaknya ayah  atau wali jangan mengizinkan peminang melihat  langsung putrinya kecuali setelah meyakini kesalehannya, kebaikan akhlaknya, keteguhan agamanya dan setelah meminta pertimbangan putrinya  dan memperolah kesepakatan dan kerelaannya.
6)   Orang tua(ayah) dan walinya jangan sampai menyembunyikan cacat atau kekurangan putrinya yang dia ketahui dari pihak peminang, sebaliknya harus menjelaskan  terus terang kepadanya  sebagai bentuk tanggung jawab mewujudkan hak ukhuwwah (persaudaraan) Islam dan harapan agar  terwujud  hubungan persaudaraan antara mereka dengan pihak peminang  atas kejujuran dan transparansi, disamping  harapan agar rumah tangga baru yang dibina benar-benar berbasis  rasa ketakwaan yang lebih mendukung  keberhasilan dan kesetabilan hubungan interaksi pasangan suami istri dalam mahligai rumah tangga.
Karena pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan lainya, Islam sebagai agama hanif (lurus) menganjurkan  untuk merahasiakan peminangan, yakni dilaksanakan hanya diketahui sebatas lingkungan  keluarga, tanpa memasang umbul-umbul dan baliho atau memukul rebana  dan sarana-sarana lain untuk mengumandangkannya.
Nabi SAW bersabda :
أظـهروا  النكاح ................. واخـفوا  الخـطبة "
Artinya :” Kumandangkan pernikahan................. dan rahasiakanlah peminangan (lamaran).”  [81]
Karena dalam merahasiakan lamaran /peminangan tersebut terdapat banyak nilai positipnya  antara lain sebagai cara terbaik menjaga keshalehan dan kesucian  wanita pinangan agar martabat kehormatannya  tidak  dilecehkan, reputasi atau nama baiknya tidak dicemarkan atau jiwanya tidak goncang akibat fasakh (pembatalan) peminangan setelah diumumkannya – apapun faktor penyebabnya- lazimnya hal itu  akan sangat melukai  perasaan gadis tersebut, menyakitkan hatinya serta mencemarkan reputasi dan nama baiknya dan berbagai dampak lain yang terkadang membuat orang –orang yang berhasrat pun menjadi bimbang untuk meminangnya, karena was-was  barang kali  pembatalan peminangan yang lalu disebabkan adanya aib pada  dirinya atau perbuatan dosa  yang pernah ia lakukan.
Adapun jika peminangan tersebut tidak dikumandangkan- sebagaimana yang diperintah Rasulullah  manusia termulia-  maka sesungguhnya jika  peminangan tersebut terus berlanjut, pengumumannya sebagai yang dikehendaki dapat dilakukan saat akad pernikahan, dan  jika dibatalkan maka gadis perempuan tersebut tidak  merasa dilecehkan kehormatannya atau dicemarkan  reputasinya.  

BATASAN YANG BOLEH DILIHAT PEMINANG
    
            Islam mensyariatkan kebolehan peminang melihat wanita calon pinangan demikian sebaliknya karena melihat  dengan tujuan untuk menikahi adalah hak laki-laki dan perempuan, yang akan  membuat kenyamanan hati kedua calon pasangan . Kuncinya adalah karena apa yang terlihat indah  dan baik oleh mata lazimnya akan menjadi daya tarik hati setelahnya dan apa yang kurang memberi kesan indah dan baik pada mata  tidak akan pernah memikat hati selamanya serta tidak akan mendapat tempat di hatinya. Lantaran Islam telah mensyariatkan berumah tangga sebagai dasar kehidupan bersama pasangan suami- istri, pergaulan dan ikatan naluriah yang kuat antara mereka yang tentunya  ikatan batin sedemikan  tidak akan kuat sebelum masing-masing punya asumsi  baik  terhadap pasangannya  sehingga  hati mereka bertaut , jiwa mereka terpadu serta mereka dapat saling gotong royong  memelihara anak-anak   dan generasi mereka mendatang. Maka rumah tangga yang di dalamnya ada keinginan yang seiring sejalan antara suami istri  dan dipenuhi rasa kasih sayang antara mereka maka individ-invidu oknum  keluarga tersebut akan tumbuh berkembang  secara alami dan terarah. Sebaliknya rumah tangga  yang diliputi rasa kebencian baik dari keduanya atau salah satunya tentu sangat berpengaruh terhadap jiwa  anak mereka dan memperburuk perkembangannya  akibatnya anak akan menjadi petaka bagi masyarakat. Untuk itulah  Islam sangat konsern  menjustifikasi dan mensyariatkan  masing-masing calon suami istri untuk melihat calon pasangannya.
عن ابى هريرة رضى الله عنه  قال : كنت  عند رسو ل الله صلى الله عليه وسلم  فاته رجل  فـأخبره  أنه تـزوج  امرأة  من ألانصار  فقال  رسو ل الله  صلى الله عليه وسلم :" انـظرت اليها قال :"لا" قال :" فـاذهب  إليها  فـإن  فى أعين الانصار شيئا"
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA , berkata,” Pernah seorang sahabat meminang seorang Anshar,lalu kata Rasulullah kepadanya :” Sudahkah engkau melihat ?”     Jawabnya,” Belum .” Sabdanya; “ Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata orang anshar ada cacatnya.”[82]
Imam Nawawi[83] berpendapat adalah dianjurkan hukumnya  melihat wanita yang  hendak dinikahi, dan itu adalah madzhab kami, madzhab Imam Malik, Imam Abu Hanifah  dan seluruh ulama Kufah, Imam Ahmad serta Jumhur Ulama. Sementara Imam Al Qodli mengisahkan  dari sebagian kaum (ulama) yang memakruhkannya  dan tentu saja ini pendapat yang salah besar bertentangan dengan hadist yang shoreh tersebut dan Ijama’ (konsensus)  umat  dalam hal  kebolehan  melihat wanita  karena ada hajat  saat jual beli , memberi kesaksian dan lain sebagainya. Lalu batasan tempat yang boleh dilihat  hanya wajah dan kedua telapak tangannya saja karena  keduanya bukan kategori aurat dan.karena  dengan wajah dapat menilai cantik tidaknya calon  dan dengan kedua telapak tangannya  dapat mengukur subur tidaknya tubuhnya dan  inilah madzhab kami. Menurut  Iman Al ‘Auza’i,bahwa boleh melihat semua organ yang  ditumbuhi daging . Sementara Daud  berpendapat, boleh melihat seluruh tubuhnya. Dan ini jelas pendapat yang salah sangat merendahkan prinsip-prinsip dasar As Sunnah dan Ijama’ Ulama.
            Islam dalam menjustifikasi dan mensyariatkan melihat wanita calon pinangan mengambil jalan tengah (moderat)  tidak bersikap ekstrim ketat dan juga tidak terlalu toleran. Islam tidak membolehkan melihatnya  bebas terlepas  tanpa batasan juga  melarang  melihatnya sama sekali. Islam  mempersyaratkan  melihat wanita pinangan  di dampingi  saudara-saudara muhrimnya  atau salah seorang mereka dan membatasi  dengan batasan yang ditolerir dalam agama. Yakni bagian tubuh yang disepakati dikalangan para ahli fiqih, ahli Tafsir serta Jumhur Ulama. Yaitu bagian wajah dan kedua telapak tangan
Betapapun transparansi manhaj Islam dalam urusan pernikahan ,tetapi tetap membatasi  kewenangan melihat  antara calon mempelai, tidak memperkenankannya bagi pengganti dan wakilnya. Sesungguhnya Rasulullah  SAW pernah  menyuruh  seorang laki-laki ketika ia berhasrat menikahi wanita  tanpa melihatnya terlebih dahulu untuk pergi masih ada yang melalaikan pranataan yang bijaksana  tersebut  .Sehingga nampaklah di kalangan mereka terkadang dua sikap yang sangat menyimpang dari manhaj Islam dalam persoalan pernikahan[84])
1.    Pandangan ekstra keras.
Yaitu suatu pandangan yang  tidak mentolerir suami melihat calon istrinya  kecuali  di malam  pesta perkawinan.Mereka kelompok para wali dari orang tua  baik para bapak  maupun ibu  ini menaruh  tabir penghalang dan penghambat    terhadap calon mempelai berdua  tanpa melihat  dengan pandangan bijaksana atau mengikuti petunjuk agama,  sebaliknya  hanya mengikuti tradisi  yang dianggap menyimpang oleh Al Qur’an  dan Allah larang pada para hambanya.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
Artinya :” . Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".(QS : Al Baqoroh : 170 ).
Sebernarnya jalan  pemikiran mereka itu dipenuhi beragam hal  yang membahayakan baik dalam kehidupan beragama maupun kehidupan social. Karena bisa jadi kebanyakan orang akan mempersepsikan prilaku dan sikap tersebut adalah bagian ajaran agama dan syiar  orang-orang Muttaqin. Padahal hal tersebut  pertanda kebodohan mereka  terhadap syariat Allah dan Sunnah Rasulullah yang terkadang menjauhkan sebagian generasi Islam  memahami Islam  serta enggan mengetahui bahwa Islam sebenarnya sangat memperhatikan  kepentingan social  di dalam hukum-hukumnya yang bijaksana. Dan biasanya larangan dan batasan sedemikian  punyai akibat yang kurang baik pada masing-masing pasangan . Apa yang terjadi  sekira suami  setelah mengumpuli istri malam pertama menilainya  kurang baik tidak seperti yang diinginkan , demikian sebaliknya  bisakah terbayang  kehidupan rumah tangga mereka berjalan mulus . Adakah tercipta keteraturan kehidupan pasangan sehingga mampu melahirkan rasa cinta dan kasih sayang  antara mereka . Dan sekira tidak ada rasa kasih sayang dan cinta kasih  adakah jiwa keibuan akan bisa  tumbuh dihati istri  dan berjalan lempang melaksanakan tugas fungsinya  sebagaimana yang diharapkan.Sungguh hal itu semua  adalah mustahil dan  tidak mungkin diwujudkan . Sebaliknya hanya akan melahirkan anak-anak yang menderita  penuh beban pskichis yang menyengsarakan. Pandangan hidup mereka kacau, goncang  tak terkontrol. Hal itu semua bermula  pada  kondisi pschicologis   dan kegoncangan mental yang dirasakan ibunya yang karena  tidak rela dan tidak siap masuk dalam bahtera kehidupan rumah tangga beralih dari ibu ke anak. Dampaknya negative  umumnya tidak terlalu tampak   di masa kanak-kanak, tetapi akan nampak jelas dalam berbagai pola prilaku  pada fase  remaja  dan masa dewasa mereka. Pola-pola prilaku ini  tak lain merupakan formulasi asupan  kepribadian  yang diperoleh anak di  jenjang fase kanak-kanaknya  dan ia serap  dari ibunya  di masa kehamilannya  dan menyusuinya. Karena ketidak-siapan dan kesanggupan menerima pernikahan tersebut pada umumnya akan berpotensi menimbulkan  kemurungan dan depresi mental dan pada gilirannya anak pun terpengaruh ibunya, kemudian meniru jejaknya  di fase-fase  kehidupannya dan dalam  interaksi hubungannya dengan  individu-individu sosialnya. Dari sinilah kita dapati peran pentingnya kenapa Islam menjustifikasi dan mensyariatkan  saling melihat dan mengenal  antara pasangan  sebelum melangsungkan pernikahan yaitu  dimasa persiapan menuju proses jenjang pernikahan.  Masing-masing bila terasa kurang pantas  dalam pandangan calonnya maka ia dapat pergi  tanpa beban, demikian calon istri  dapat menolak keinginan menjalin hubungan pernikahan lelaki-pelamarnya tanpa beban mental pula. Karena bisa jadi ada seorang wanita tidak terpikat pada sesorang  tetapi ada laki-laki lain mungkin akan memikat hatinya dan bisa jadi ada wanita yang tidak menarik menurut seseorang tetapi sangat  menawan dalam pandangan yang lain.[85])

2.    Pandangan  dan sikap permisif.
Yaitu suatu pandangan dari sebuah keluarga yang tidak taat  atau tidak  konsisten dengan manhaj Islam dalam melihat wanita pinangan yang hendak dinikahi. Suatu keluarga yang memberi toleransi  seluas-luasnya kepada laki-laki peminang  untuk duduk semaunya dengan gadis putrinya tanpa  muhrim yang mendampinginya.Sikap  seperti ini sangat bertolak belakang dengan ajaran agama yang terdapat dalam Hadist Shohih. Biasanya keluarga akan mengizinkan  putrinya  keluar bersama  pemuda yang hendak meminangnya kemana mereka mau pergi. Kebanyakan keluarga terasa tidak ada beban dan merasa tabu bila ia pergi bersama putrinya  ke berbagai gedung bioskup atau tempat pertunjukan atau ke tempat- tempat rekreasi dan lain-lainnya. Mereka punya persepsi  bahwa sikap sedemikian  termasuk  aspek kemajuan dan budaya.Bahkan lebih ironis lagi menurut sebagian orang  hal itu merupakan kunci  bagi kedua aspek tersebut.Tidak diragukan lagi  hal itu akan berimplikasi buruk dan kurang baik  dalam kehidupan social. Dan sesungguhnya  menikmati wanita tidak terbatas pada  penikmatan biologis semata, tetapi di sana banyak hal yang bisa diraih..
                   Adapun dalil  atas keharaman berkhulfah ( berduaan di tempat sepi) dengan wanita lain (bukan muhrim)  bermaksud melihatnya  baik untuk meminangnya atau tidak adalah hadist yang diriwayatkan oleh  Ibnu Abbas  RA dari Nabi , beliau bersabda :
لا يخلون احـدكم  بامـرأة  إلا مع ذى محرم  فقام رجل ، فقال أن امرأتى  خرجت حـاجّـة وإنـى اكـتـتبت فى غـزوة كذا  وكذا . قال :" ارجـع  فحـج مع امرأتـك
      Artinya:”Janganlah salah seorang diantara kamu berkhulwah (berduaan ) dengan seorang wanita kecuali dengan muhrimnya. Lalu berdirilah seorang laki-laki seraya berkata,” Sesungguhnya istriku  pergi keluar hendak  berhaji, padahal aku telah mendaftarkan diri turut pergi berperang dalam perang demikian dan demikian. “ Beliau  bersabda ;” Pulanglah dan berhajilah bersama istrimu.”
Tidak jarang toleransi yang berlebihan  dengan memberi keleluasan peminang laki-laki berulang-ulang keluar bersama wanita pinangannya selang beberapa waktu  dalam waktu lama atau dekat berdampak keduanya berpisah  atau salah satu mereka berdua meninggalkan rekannya  tanpa mempedulikan situasi  apapun yang dialami. Bahkan terkadang hal sedemikian dianggap suatu hal yang lumrah.Si gadis  ditinggalkan dan dibiarkan dengan  tetap  terus diliputi berbagai tanda tanya.[86])
            Islam bersikap pertengahan dan moderat tidak bersikap berlebih-lebihan  atau terlalu toleran  dan tidak bersikap terlalu ekstrim ketat .Islam tidak mengizinkan  melihat calon pasangan mutlak tanpa  batas, yakni  sikap terlalu toleran dan tidak pula melarang melihatnya sama sekali atau bersikap ekstrim ketat. Islam mesyariatkan  melihat  calon wanita pinangannya  sebelum melangkah ke jenjang perkawinan.  Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hal itu akan lebih menjamin kestabilan  dan kelestarian hubungan pasangan dan akan menambah rasa cinta dan kasih  sayang  dalam berumah tangga .
            Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah bahwa ia meminang seorang wanita seraya Rasulullah bersabda,
انظـر اليـها  فـإنـه  أحرى  أن يـؤدم  بينـــكما
Artinya:” Pergi dan lihatlah ia kaena hal itu lebih  menjamin kelestarian  pernikahan kalian berdua.”[87]
            Islam menetapkan persyaratan dan etika umum   dalam hal duduk bersama wanita lain hendaknya didampingi salah seorang muhrimnya semisal  ayah, saudara laki-laki, paman  atau mamaknya . Islam tidak melarang calon suami berbicara, bertukar pikiran dengan wanita pinangannya sepanjang  didampingi  muhrim  tentang hal-hal yang berhubungan agama, akhlak, dan berbagai pengetahuan umum serta methode –methode pendidikan yang ideal mengingat ia akan jadi calon ibu  yang punya tanggungjawab mengatur urusan rumah tangga mereka dan yang akan berurusan langsung  dengan misi dan tanggungjawab keibuan dalam rumah tangga yang dibinanya.Pentingnya ngobrol  dengann wanita pinangan, barang kali  si lelaki jika mendengar dan mengorek langsung tentang kepribadiannya akan merubah pandangan tentang dirinya selama ini, demikian halnya bagi wanita tersebut, karena hakekat kepribadian seseorang  tersembunyi di balik lidahnya. Untuk  itulah seorang  peminang hendaknya menguasai dan mengatur strategi pembicaraan dan mencari kesempatan yang tepat untuk meraih  harapannya mengenal  akhlak kepribadiannya, karakternya, serta sejauh mana  kesanggupannya menjaga anak-anak tanpa merasa ia di depan penguji  yang menyampaikan  berbagai pertanyaan yang harus ia jawab. Terkadang sedemikian itu membuat ia sangat ekstra hati-hati  untuk kebaikan dirinya dan bisa jadi ia mengecoh dan  memperlihatkan suatu hal dan keadaan  di luar kebiasaan dirinya dan karakternya yang sebenarnya.
            Peran penting adanya muhrim adalalh agar tidak menyimpang aturan syariat  Islam dalam keharaman  berkhulwah dengan wanita lain ,  menjauhkan dari  bisikan syaitan yang akan menggerakkan diri mereka dalam perbuatan –perbuatan yang dilarang. Disamping itu, keberadaan saudara muhrim mendampinginya  karena  memiliki banyak pengalaman  dan mengenal karakter kaum lelaki, biasanya ia akan dapat memberi penilaian  dan keputusan yang tepat calon suaminya atas dasar watak dan kecendrungannya secara obyektif  tidak ada tendensi apapun selain semata-mata memberi penilaian  kepribadian  peminang..Suatu permasalahan yang terkadang terjadi seorang gadis tidak mampu memahaminya karena rasionya dalam suasana sedemikian lebih didominasi  emosi perasaannya.Tidak disanksikan lagi bahwa  pengaruh perasaaan emosional dalam suasana sedemian  akan amat kuat dan sangat menonjol  dalam banyak keputusan dan penilaian yang lebih  membutuhkan pemakaian rasio.[88])
Islam  dalam memberi  ruhsyoh (dispensasi ) ini – kebolehan peminang melihat wanita pinangan yang ingin dinikahinya  - punya banyak tujuan yang sangat signifikan dalam urusan membina rumah tangga  dan kelestarian kehidupan pasangan, yang antara lain sebagai berikut :
v . Menciptakan rasa nyaman dan kepercayaan diri bahwa wanita pinangan tersebut tidak memiliki cacat atau aib  yang menjauhkan laki-laki pinanganny atau membuatnya kurang menyukainya.. Oleh karena itulah kita lihat  Rasulullah menasehati  orang laki-laki yang memberitahu beliau bahwa dia telah meminang seorang wanita kaum Anshar. Kata beliau :
 انـظر  اليها lihatlah ia
    Rasulullah telah melaksanakan kewajiban memberi nasehat dan mengajak untuk meyakinkan sendiri agar tekadnya melangkah ke proses peminangan  beserta tujuannya atas dasar realitas kenyataan dan sebelum masuk dalam peliknya urusan meminang .
v Menegaskan  keinginannya meminang dan melenyapkan apapun keraguan yang berkecamuk di dalam dirinya. Pengertian ini tersimpul dari  Hadist Jabir bin Abdillah RA  :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم  قال : " إذا خطب  احـدكم  المـرأة – اى عـزم على خطـبتها – فا ن استطاع  أن ينـظر  إلى  ما يـدعو ه إلى نكاحها  فليفعل: فخطبت  امـرأة  فـكنت  أتخـبأء لها حـتى  رأيت  منها  ما دعنـى  إلى نكاحـها  فتـزوجتها "
Artinya :’ Jika salah seorang diantara kamu sekalian meminang wanita- berniat  meminangnya , kalau bisa melihat lebih dahulu  apa yang menjadi daya-tarik untuk menikahinya , maka hendaknya dilakukannya. Lantas aku melamar seorang wanita dan aku secara sembunyi-sembunyi menguntitnya hingga aku menemukan apa yang menjadi daya tarik  menikahinya  lalu akupun menikahinya.[89]
            Islam mengambil sikap dalam permasalahan  melihat  dan berkomunikasi dengan wanita pinangan  dengan sikap terhormat dan berkeseimbangan dengan tidak menetapkan  dan berpihak orang-orang yang ekstrim ketat  dan juga berpihak  penganut faham permisif yang menetapkan  hubungan dan komunikasi  peminang dan wanita pinangannya dengan melanggar dan melampaui batas- batas yang ditetapkan pembuat syariat yang maha bijaksana. [90])
Adapun memperpanjang  atau memperlama masa pinangan dianggap  kurang baik  dalam syariat Islam. Islam menyerukan kedua calon mempelai yang sedang pinangan untuk melangkah secepatnya dari proses hubungan pinangan yang status mereka masih orang lain  ke proses jenjang pernikahan yang  menjadikan mereka pasangan suami istri yang syah.Karena lamanya masa peminangan tidak akan menyajikan hal baru. Dan kesegeraan beralih ke proses akad pernikahan yang syah  akan melenyapkan faktor keberatan dan beban berat yang dirasakan gadis dan keluarganya  karena mondar mandir datangnya laki-laki asing di rumah mereka dan juga isu-isu yang kurang baik yang menyertainya.
            Disamping itu , proses peminangan yang berkelamaan sangat banyak beresiko .Karena tiap kali kedua pihak melihat  bahwa pertemuan mereka yang legal  jauh dari harapan dan keinginan mereka.Padahal  jiwa manusia dengan watak tabiatnya  cenderung menyukai hal yang dilarang.Tentu  proses peminangan yang berkelamaan  yang terkadang  berseiringan dengan  perubahan sosial dan budaya, kematangan berfikir dan mental  membuat hati yang berwatak suka berubah akan cepat berubah , sehingga  peminang tak mau menerima kembali hari ini.apa yang  ia terima hari kemarin.
            Oleh karena itu, kewajiban keluarga calon mempelai hendaknya membantu dan turut memberi dukungan dalam proses mempercepat pernikahan dengan jalan mengatasi  hambatan-hambatannya baik berupa pembebanan maskawin yang memberatkan ataupun banyaknya biaya-biaya yang dibutuhkan. [91]







[1] ) Lisanul Arab,oleh Ibnul Mandhur,Bab ro’ fashal hamzah,Misbahul Munir oleh Fayumy, Bab hamzah was sin wam yutsallitsuha ,Mukhtaru shihhah ;madah (أ س ر) ,Al Mu’jamul Washith  dipublikasikan  oleh Lembaga  Bahasa ( Majma’ul Lughowi)  Kairo   (1/17)
[2] )Hadist diriwayatkan  Bukhori dalam kitab al Haidh  : bab  tarkil haidh as Shauma ( perempuan haidz tidak boleh  berpuasa.
[3] ) lihat Muhtarus Shohih  pasal : (     (ر.هـ . طLisanul Arab  ,bab tho (  ( ط fasal ra”  ( رdan al Mu’jamul Washith  : Juz  1 hal 377)
[4] ) Dikeluarkan Abu Daud dalam Sunannya   ,Kitabul Hudud, bab merajam dua orang Yahudi (4; 598-599) nomer hadist  4450.
[5] )An Nihayah  oleh Ibnul Atsir  (Vol: I /48, lihat pula  ma’alimus sunan   ,syarah Sunan Abu Daud,(Vol III/328) Cetakan kedua  tahun 1401 H/1981 M terbitan Al Maktabah Ilmiyah  -Beirut
[6] ) Hadist dikeluarkan  Ahmad  dalam Kitab Al Musnad,(Vol 5/445-446, dan Kitab Abu Daud  hadist nomer 2659, Kitab An Nasai  Vol I/hal 356, demikian Ad Daramy, Vol II/149, Kitab Ibnu Hibban  nomer  1313, Al Baihaqi  Vol VII/308, sementara Albany  dalam kitab Al Irwa’ Vol : VII/hal 58, nomer hadist 1999 , ia berkata,” ini adalah Hadist Hasan.
[7] ( Hadist diriwayatkan Imam Bukhori dalam Kitabul Jihad,  Bab man jahaza Ghoziyan (Bab orang membersiapkan perlengkapan perang  , Vol. VI / hal 37, Kitan Shohih Muslim  dalam Kiitabul Imarah , bab Fadli i’anatil Ghozi fi Sabilillah  ,( bab membantu pejuang perang di jalan Allah. Vol III/1506 nomer hadist ke 1895.
[8] ) Hadist Riwayat Imam Bukhori dalam kitab Adab –bab lam yakun Nabi SAW Fahisyan wala mutafakhisan Vol.7,hal 70 dan Shohih  Muslim dalam Kitabul Birri wa Sillah  wal Adab ,  bab Madaratun man Yuttaqa fahsyuhu. Vol.4, hal.2002 ,nomer hadist ke 2591.
[9] ) Al Maratul baina Addin wal Mujtama”  oleh Zidan Abdul  Baqi  Hal  114.
[10] ) Az Zawaj  wal Alaqotul Usrotiyah   oleh Dasna’ Al Khouly  Hal 32.
[11] ) Imam Ghozali telah menyebutkannya dalam karya tulisnya yang monumental Ihya' Ulumiddin,(  Vol 2/ hal .24,  dalam teksnya, "dan di dalamnya (pernikahan) ada lima tujuan ; memperoleh anak, memenuhi kebutuhan biiologis,mengatur rumah tangga, memperbanyak keturunan.keluarga, bermujahadah nafs (meper nafsu) dengan melaksanakan kewajiban terhadap istri.
[12] ) Dikeluarkan oleh penyusun kitab Musnadul Firdaus, dari jalan Muhammad  bin Harist  dari Muhammad bin Abdi Rohman al Yamani, dari ayahnya dari ibnu Umar, ia berkata :” Rasulullah bersabda : ) حجوا تستعينوا  وسافروا  تصحوا  وتنا كحوا تكثـروافانى اباهى بكم الامم berhajilah maka kalian akan kaya ,bepergianlah niscaya kalian akan sehat dan menikahlah maka akan banyak jumlahmu, karena sesungguhnya aku akan menjadikan kamu kebanggaan diantara sekian banyak umat.Dan dikeluarkan  oleh Ibnu Adi dalam kitab al Kamil dari ibnu Said  bin Hilal  secara mursal, sementara Imam Al Bani  mendhoifkannya dalan kitab Dhoifil Jami’. Imam Iraqi berkata,” Hadits ini dikeluarkan  Abu Bakar  bin Mardawih dalam Tafsirnya, dan sanadnya dhoif  dan dikeluarkan oleh Abdul Rozzaq  dalam kitab Mushannaf  dari jalur  Hisyam bin Hisan dari Muhammad bin Sirrin secara mursal , ia berkata , Rasulullah bersabda
:” دعوا الحسناء العاقر وتـزوجوا  السوداء الولود  فانى اباهى بكم الامـم "
     Artinya : “Tinggalkan wanita cantik yang mandul dan nikahlah wanita berkulit hitam peranak ,sesungguhnya aku akan membagakan jumlah kalian di antara sekian banyak umat.
-lihat pula kitab susunan  Abdul Rozzaq  (vol. VI/hal .160),tahrij hadist-hadist dalan Ihya’ Ulumuddin (Vol  II/ hal. 22) dan kitab talhisyul Khobir (Vol. III/ hal . 116) Jami’ Shoghir  oleh Imam Suyuthi  (Vol .II / 269) , dan Nailul Author oleh Imam Syaukani( vol. VI/ 107) serta kitab Kasyful Khofa’  (Vol .I/ hal 380).
[13] ) Dikeluarkan oleh Imam Muslim  dalam kitabul Wasyiyat  bab pahala apa yang diperoleh manusia  setelah kematiannya (Vol .III/hal 1255)  hadist nomer 1631  dan Abu Daud  dalam kibab Al Wasyoya, bab ma ja’a fi shodaqoh  anil Mayit ( manfaat shodaoh bagi mayit), Tirmidzi  dalam kitabul Ahkam, bab waqaf, ia berkata,” Hadist ini adalah hadist Hasan Shohih,  (vol. III/hal 651  , hadist ke 1376.
[14] )Minhajul Islam fi Zawaj wa Talaq , oleh Al  Bahy Khaouly  : hal 10
[15] )Al Hayatu Ijtimaiyah fil Islam  oleh Dr. Ahmad Salaby, hal 27.
[16] )Nidhomul Usroh fil Islam (Sistem lembaga rumah tangga dalam Islam) oleh Muhammad Aqlah, Maktabatu Risalatul Haditsah, Omman, cetakan pertama, 1983 (Vol .1/ hal 20)
[17] ) Hadist  dikeluarkan Imam Muslim dalam kitabun Nikah  bab nadaba man raa imraatan fawaq’at fi nafsihi ........” (vol II /hal 1021 ) nomer hadist 1403 dan Abu Daud nomer 2151 dalam kitabun Nikah bab ma yu’maru min ghodzil Basari  Imam Tirmidzi  nomer 1158 dalam kitabun Nikah  bab  ma jaa fi Rajuli yara al Marata tu’jibuhu.
[18][18] ) Lihat Kitab, Madz ‘anil Mar’ati  oleh DR. Nuruddin Attar ,Darul Fikr, Damaskus tahun 1402 H/1981 M  hal. 78.
[19] ) Dzilalil Qur’an  oleh Asy Syahid  Sayid Quthub  ; Vol. V, halaman 2763
[20] ) Tafsir Al Fakhrurrozi  (vol. XIII/111)
[21] Surat An Nisa’ : 1 lihat Al Usratul Muslimah wal Usratul Mu’ashirah  oleh Dr. Abdul Ghoni Abud, Darul Fikr Al Araby : Hal . 116.
[22] ) Tafsir Fahrur Rozi  Vol. XIII/ hal .112
[23] ) Lihat Al Usrotul Mistaliyah fi Dha’uil Qur’an  wa Sunnah edisi  revisi oleh DR. Amarah Najib  Hal. 15 dan 16  .
[24] ) Al Usroh  fi Tasyriil Islami oleh Muhammad Faraj  Al Sanhury  tahun 1981 M , hal .9.
[25] ) Al qunut  berarti taat kepada Allah, patuh kepadaNya serta mengakui kehambaan dirinya  , Mu’jamul wasyith  vol. II/ 761.
[26]( lihat tafsir Dhilalil Qur’an  , syahid Sayid Quthub,  Vol VI  / hal 3616 
[27] ) Taubah ialah berhenti dari berbuat dosa  lihat Mukhtarus Shihah  pasal (( ت  - ب dan Mu’jamul Wasyith.  Juz  I hal 90..
[28])  Ibadah ialah  tunduk dan patuh  kepada Tuhan dengan  disertai rasa  pengagungan kemuliannya. Lihat  Mu’jamul Wasyith  vol II  / hal. 579.
[29] ) Lihat Fi Dzilalil Qur’an  oleh Syahid Sayid Quthub Vol . VI / Hal. 3616.
[30] ( Tafsir Al Qur’anul Adhim   oleh Ibnu Katsir  Vol . IV / Hal . 390.
[31] ) Lihat Ruhul Ma’ani  oleh Al Alusy   hal . 21/30  jilid ketujuh.
[32] ) Al Hasab adalah segala kejayaan, kebesaran dan kebanggan orang tua yang sanjung-sanjung orang.. dinyatakan pula ia adalah kehormatan seseorang dan  kelebihannya , lihat  Lisanul Arab bab Ba” pasal  Hak. dan misbahul munir  entri   ha’ dan ba’ dan Mu’jamul Wasyith  (Vol. I/ hal. 576)
[33] ) Fadhfarld  yakni beruntunglah kamu dengan yang taat agama, dan pilihlah ia dari sekian wanita  agar dengan menikahinya engkau memperolelh  kebaikan dunia akherat.
[34] ) Taribat Yadaka yakni kedua tanganmu berdebu karena berdoa,sebagai bentuk kinayah (kata kiasan)  akan kefaqiran  (kesungguhan atas suatu kebutuhan) , doa (pengharapan) semaknanya  sering berlaku dalam pembicaan kalam orang Arab  dan tidak mereka maksudkan untuk keburukan seseorang , tetapi mereka katakan  sebagai penyangatan anjuran atas sesuatu atau menunjukkan ketakjuban  atas suatu. Dst.
Makna ungkapan itu ialah  engkau  akan miskin dan merugi  jika engkau tidak memilih wanita yang taat agama karena orang yang tidak memilih wanita karena agamanya akan tercabut  dan hilang keberkahan hidupnya  dan menjadi miskin lihat  Mukhtarus Shihah  entri huruf  ((ت – ب lisanul Arab  ; Bab  BA’  pasal TA’  dan Mu’jamul Washith  (Vol . I / hal. 83).
5) Dikeluarkan oleh Imam Bukhori, kitabun Nikah babul  Akfa’ Fiddin  ( Vol. I/ 123)  dan Imam Muslim . dalam Kitabul Rodlo’ ; bab istihbabi nikahi Dhati ddin ( Vol. II/ 1087) nomer  hadist  1466 , Abu Daud dalam kitabun Nikah,  bab ma yu’maru  bihi  min tazwij dzatil Addin  nomer 2048 , Imam Nasyai : dalam kitabun Nikah  , bab karahiyati Tazwiz Zunat  ( makruhnya menikahi ahli zina  ( Vol. VI / 68).
[35] ) Tafsir Al Qur’anul Adzim oleh Ibnu Katsir  Vol. III/ halaman. 286.
[36] ) Dikeluarkan oleh Imam Bukhori fi Fadloil Asyhabi Nabi Sallahu alai wasalam,, bab tazwijin Nabi SAW Khodijah wa Fadliha . ( Vol. VII/ hal. 102 ) dan kitabun Nikah  bab ghiratin Nisa’ wawajdihinna  dan oleh Imam Muslim dalam fadloilil Shahabah  ; bab fadloili Khodijah ummil Mukminin  RA  ( Vol. IV / hal. 188  . nomer hadist ke 2434 – 2435 , Tirmidzi  fil Manaqib ;  Bab manaqib Khodijah  RA, nomer  hadist. Ke 3885-3886 dan Imam Ahmad dalam Musnad ( Vol. VI/ hal. 58, 202,279 .
[37] ) Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitabur Radlo’ : bab khoiru mataid dunya  al mar’atus sholehah. (vol. II/ hal. 1090) nomer hadist ke 1467, Imam Nasai  ( Vol. VI / 69) dalam kitabun Nikah . bab al mar’atus Sholehah, dikeluarkan oleh Ibnu Majah  dalam kitab Nikah  ; bab fadlu Nikah  : ( Vol. I / hal. 596) dan Musnad Imam Ahmad   dari Fathu Robbani  ( Vol . XVI/ hal. 143)
[38] ) Khorma’  artinya  wanita yang  terputus sebagian hidungnya   yang membuat  wanita kelihatan buruk  .lihat  Mukhtarus Sihah  entri huruf ( م – خ  ) lisanul Arab  bab االميم  pasal الخاء
[39] ) Hadist ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah  dalam kitab Sunannya ( Vol. I/ hal .597) dari jalur  Abdur Rahman bin An’am, dikenal dari bangsa Afrika. Pensyarah kitab tini dari sisi sanadnya  dalam kitab Zawaid berkata,” Sesungguhnya di dalam sanad hadist tersebut ada perawi dari bangsa Afrika . Ia perowi yang lemah . Hadist ini diriwayatkan Ibnu Hibban dari jalur lain, Ibnu Katsir juga meriwayatkan dan menganggap lemah karena  ada perawi orang Afrika tersebut.Tetapi  al muhaqqiq Asy Syeh Syakir menyebutkan bahwa perawi Afrika ini tsiqoh (kuat) dan kesalahannya dari sisi kelemahannya , ia memaparkan hal itu dalam berbagai komentarnya hadist-hadist kitabnya Imam Thobari.  ( Vol. III/ hal. 152,153)
[40] )Lhat kitab Al usrotul Mistaliya fi Dhaou’il Qur’an  wa Sunnah ( Keluarga ideal dalam sorotan Al Qur’an dan Sunnah oleh Dr. Imarah Najib  hal. 30-31 edisi revisi
[41] )  Hariyun  artinya yang patut dan pantas, , Mu’jamul Washith  ( Vol. I / hal 169).
[42]) Dikeluarkan oleh Imam Bukhori ; Babul Akfa’  fid din, (Vol . VI/hal. 122) , dalam kitab Rifaq , bab Fadlul Faqri, Ibu Hajar menyebutkan pada bagiaan tema  pertama, laki-laki kedua yang lewat itu mungkin yang dimaksud adalah  Jamil bin saraqh sementara  pada bagian tema kedua, wahya laki-laki pertama melintas barangkali  Uyainah bin Husyain  atau Al Aqro’ bin Habis.
[43] ) Lihat  Al Usrotul Mitsaliya  fi Dhau’il Qur’an Wa Sunnah , oleh Dr. Imarah Najib,  ; Hal . 32, Ikhtiyatuz Zaujaini  fil Islam,  oleh Husain  Muhammad Yusuf , hal. 15, dan lihat pula  Manhaj Sunah  fiz Zawaj : 5   oleh  Al Ahmadi Abu Nur , hal . 360.
[44]) Hadist dikeluarkan oleh Imam Thabrani  dalam kitab Al Mu’jamul Ausath , Imam Mundzir  menuturkannya dalam kitab Targhib wa Tarhib ( Vol. III/ hal. 327), Imam Hastami dalam majm’az Zawaid  (vol IV/ 254) menyebutkan  bahwa hadist ini dhoif  dari jalur sanad ini  karena terdapat perawi bernama Abdus Salam bin Abdil Quddus  bin Habib ,  seorang perawi lemah.Tetapi Imam Al Ajlani menuturkan dalam  kitab Kasyful Khofa’  bahwa hadist ini diriwiyatkan oleh Abu Naim  dalam kitab Huliyah tanpa  melemahkan sisi Sanadnya.  ( Vol . II/ hal. 239)  , Imam As Sakhowi juga berpandanagan serupa dalam kitab Al Maqosidul Hasanah,. Ia menuturkan  bahwa hadist ini  memilih syahid hadist yang shohih.  Yaitu hadist  تنكح المرأة لاربع ...... (hal. 406- 407)
[45] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori  dalam kitabun Nikah,; bab la yunkihul Abu waghoiruhu  al bikro wa tsayyiba illa birridoha ( tidak boleh seorang ayah dan waii lainnya menikahkan perawan dan janda kecuai dengan persetujuannya,( Vol : VI/ 135) dan Imam Muslim  dalam an Nikah bab permintaan persetujuan janda untuk dinikahkan dengan ucapan dan perawan dengan diam (Vol. II/ Hal . 1046)  nomer hadist 14 19, Tirmidzi  dalam kitab Nikah bab fistimarati Bikri, wa tsayyibi, dan bab ma ja’a fi ikrohil Yatimi ‘ala tazwiji  ( 1107,1109), Abu Daud dalam Kitab Nikah , babul  Istimarah, nomer hadist  2092- 2093), Nasai ( Vol. II/ 78) .
[46] (  hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori, dalam kitab Nikah, bab la yunkihu abu ghoiruhu  atsayyiba illa biridlohu ( tidak  seorang ayah menikahkan janda kecuali dengan kerelaanya. (Vol. VI/ hal. 135) Imam Muslim  dalam kitab Nikah, bab isti’dzan  Atsayyib fin Nikah bin Nuthqi, wal bikri bis sukuti, ( Vol. II/ hal.1037) noner hadits ke . 1420), dan Nasai  (vol. VI/ hal. 85,86)
[47] ) Lihat Fathul Malikil ma’bud   kitab pelengkap al Manhalul “Adzbul Maurid , Syarah  Sunan Abi Daud, (vol.III/ hal. 259)
[48] ) Ibid . (Vol. III/ hal. 259).
[49] ) Hadist dikelarkan oleh Imam Muslim dalam kitabun Nikah;  isti’dzanitsayyibi fi Nikah bin nuthqi  wal bikri bissukuti (Vol. II/hal.1037)  nomer hadist 1421 dan Al Muwatho’  dalam kitab Nikah,  bab isti’dzanil Bikri wal Ayyim  fi anfsihima ;(Vol. II/ 524) Tirmidzi fi Nikah, bab ma ja’a  fi istitsmaril Bikri  Watsayyibi (III/ 416) nomer hadist  1108) Abu Daud dalam Nikah  bab fitsayyibi (Vol. II/ hal. 588)  nomer hadist 2098) Nasai  dalam kitab Nikah , bab isti’dzanil bikri  (Vol. II/ hal 77)
[50] ) Shohih Muslim, dengan syarah Imam Nawawi ( vol III/ hal. 505,576).
[51] ) Tetapi hal itu diikat dengan persyarat ketat sebagai berikut ;(!) Tidak ada rasa permusuhan antara wali dan gadis yang hendak dinikahkannya.(2) hendaknya wali menikahkan dengan pria yang sepadan.(3) dan menikahkannya dengan mahr mistli ( mahar yang berlaku gadis setaraf dia dan yang berlaku di wilayahnya), (4) Harus  berada di Negara yang sama.(5) Calon suami bukan orang miskin atau tidak punya kesanggupan bayar maharnya.(6) Tidak menikahkan dengan laki-laki yang cacat atau  mengalami hambatan dalam interaksi hubungan pasangan  seperti orang buta atau  pria yang sudat  tua renta (7)  Tidak lagi menjalani ibadah ihram haji wajib.Maka suami berhak mencegahnya  karena ibadah haji  harus atas dasar kerelaan sementara gadis tersebut harus bermaksud dan berniat menyegerakan kewajibannya  agar segera terlepas tanggungan. . Lihat Iqna’  (vol. II/ 77)  cetakan . Musytafha  al Halaby .
[52] ) Lihat Muntahal Iradah  oleh Taqiyuddin Al Hamaly, : bagian kedua; halaman 159, Al Muntafi syarah Al Muwatho’ oleh Al Baji (Vol. III/ 266) , Al Umm  oleh Imam Syafi’I  halaman 163, demikian pula kita dapai  dalam Hasiyah raddil Mukhtar oleh Ibnu Abidin  ( Vol. III/ 66)
[53] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori  dalam Kitab, Nikah; bab jika seornga menikahkan putrinya padahal ia tidak menyukai  maka nikahnya adalah batal tertolak. (Vol . VI/ hal . 135) , Al Muwatho’ dalam kitab Nikah, ; bab Jami’ la yajuzu minan Nikah (Vol. II/ 535) , Abu Daud  dalam Kitab Nikah, bab fi tsayyib , namer hadist ke  2101 , Imam Nasai fi  Nikah, bab Janda dinikahkan ayahnya padahal ia kurang menyukai. (Vol. VI/ hal. 86).
[54] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Nasai  dalam kitab Nikah,; bab gadis perawan  dinikahkan ayahnya  padahal ia kurang menyukai. ( Vol. VI/ 87) , Imam Ahmad  dalam kitab Musnad (Vol. VI/ 136) , DarulQuthni  (vol. III/ hal 232)  dan ia berkata, setelah meriwayatkannya dari berbagai jalan sanad  dengan redaksi hadist yang hampir serupa:” Kesemua hadist ini mursal berasal dari Buraidah, ia tidak mendengar  sama sekalli dari Aisyah dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah  dalam Sunannya, (Vol. I/ hal. 603) nomer hadist 1874 dari Abdullah bin Buraidah,  dari Ayahnya dari Aisyah . Al Busyiry dalam Az Zawaid, berkomentar (Vol. II/ 102)  :” Sanad hadist ini sanad shohih, dan para perawinya kuat .
[55] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Nikah ; bab inkahi Rajuli  waladahu shighori  ( Vol. VI/ 134)  Muslim  dalam kitab Nikah ; bab tazwijil Abi al bikro shoghirata ( Vol.  II/ hal. 1038) (nomer hadist ke 1422 )  dan Abu Daud  mengeluarkannya nomer hadist ke  2121, Nasai ( Vol. II/ 77)
[56] ) Fawaka’tu: al  Wa’ku : yakni  sakit panas ; lihat Shohih Muslim,  dengan syarah Nawawi  : Vol . III/ hal. 578.
[57] ) Ibid  (Vol III/ hal 578) Jumaimatun : isim tasyghir “ Jammatun”  yaitu rambut yang menjulai  hingga ke dua telinga  
[58] ) Hah-hah, dengan difathah  ha’ dan di sukun hah kedua, yaitu kata yang ucapkan orang yang terengah-engah hingga kembali suasana tenang.  ; Shohih Muslim  denagan Syarah Nawai  ( Vol. III/ 478)
[59] ) Pekataan Aisyah , فلم برعنى  إلا ورسو ل الله  صحى فاسلمنى اليه    tidaklah aku dikejutkan kecuali oleh munculnya Rasululllah SAW pada waktu dhuha.; Shohih Muslim dengan syarah Nawawi  (vol. III/ 578).
[60] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori  dalam kitab Nikah  ; bab tazwijil Abu Ibnatahu  minal Imam ( Vol. VI/ hal. 134) Imam Muslim dalam kitab Nikah ; Bab Tazwijil Abil Bikra Ashoghirota  ( voL. Ii/ Hal. 1038) nomer hadist  1422)
[61] ) Shohih Muslim  dengan Syarah An Nawawi  ( Vol  III/ 576).
[62] ) Al Fiqhu ‘Ala Madzhabil Arba’ah oleh Abdurrohman Al Jaziry ; kitab Nikah ; pembahasan hak istimewa wali Mujbir  dan lainnya   ( Vol. IV/ hal . 29)  dan setelahnya.
[63] ) Hasyiyah Raddul Mukhtar  oleh Ibnu Abildin ; Kitab Nikah ; babul Wali ;Vol. III/ hal. 66).
[64] ) Al Umm, oleh Imam Syafi’i , Kitab Nikah : (Vol VIII/ hal. 163).
[65] ) Al Muntafi, Syarah Muwatho’  Malik,  oleh Al Baji ; Kitab Nikah ( Vol. III/ 266)
[66] ) Muntahal Iradat oleh Taqiyuddin al Hambaly ; bagian kedua; Kitab Nikah hal. 159.
[67] ) Shohih Muslim, dengan syarah An Nawawi,; kitab Nikah; bab  Tazwijil Abi Al Bikro As Shigoro ( Vol . III/ hal. 577).
[68] ) Tema  secara rinci tertuang dalam kitab wilayah ‘ala nafsi ( perwalian atas seseorang) , ; oleh Muhammad Abu Zahrah,  hal. 52 -72 , lihat haq IkhtiyariZauji ( hak memilih calon suami)  desertasi  doctoral  Fatimah  Nasyif  edisi revisi.
[69] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori.
[70] ) Lisanul Arab  (Vol. I/ hal. 362) Al Mu’jamul Wasith ( Vol. I/ hal. 242) ,Misbahul Munir ( Vol. I/ hal. 186)
[71] ) Al Akhwalus Syahsyiyyah oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid hal. 13 , Al Ahkamus Syar’iyyah  lil Ahwalisyahsiyyah  oleh Zakiyuddin  Sya’ban; hal. 63 , Aqduz Zawaji Wa Atsaruhu  oleh Abu Zahrah hal. 55.
[72] ) Hadist dikeluarkan oleh Ahmad , dalam kitab Musnad (Vol. III/ hal. 234), dikeluarkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunannya  ( Vol. II/ 565- 566) dalam kitab Nikah., bab fi Rajuli  yandhuru  ilal Marati  wahuwa yuridu tazwijaha; nomer hadist 2082, dan dikeluarkan oleh Al Hakim dalam kitab Mustadrak ( vol. II/ 165)  dalam kitab Nikah, bab idza khotoba ahadakum imratan.... dan dikeluarkan oleh Al Baihaqi , dalam As Sunanul Kubro, : Vol VII/ hal. 85)  dalam kitab Nikah, bab  nadIari rajuli  ila imroati  dan dikeluarkan dengan redaksi hadist serupa oleh  Abdur Razaq  fil kitab Musannaf  (Vol. VI/ 157)  dalam kitab Nikah bab Ibrazil Jiwary wan Nadzari indan Nikah, nomer hadist 10334)  dan diisnadkan pula olrh Ibnu Hajar  dalam kitab Talhis Habir (Vol. III/ hal. 147) dalam kitab Nikah, bab  ma jaa fi Istihbabin Nikah.
[73] ) Khitbatun Nisa’  halaman 5, 6.
[74] ) Ahkamul Ahwali Syahsyiyyah oleh Abdur Rahman Taj, hal. 9, Akhwalus Syahsyiyyah  oleh Abdurrohman As Shobunny , halaman, 25 , Al Ahkamus Syar’iyah lil Ahwails Syahsyiyyah oleh Ahmad Ibrahim Biek  hal. 5.
[75] ) Khithbahtun Nisa’ oleh Dr. Abdun Natsir Aththor ; penerbit As Sa’adah , Kairo, hal. 11
 [76] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Nasai dalam ‘isratin Nisa’ ( menggauli istri) (Q. 99/ 1)  dari Sunanul Kubro  dan Ibnu Syaibah  dalam Mushonnaf (vol. 7/ 19/ 2) , Imam Baihaqi  (vol. VII/ 235)  dan dikeluarkan oleh Imam Hakim  (vol. II/ hal. 178)  dan dianggap sebagai hadist berkualitas menurut  Amru bin Thufail bin Shohro’ , ia berkata : ini hadist shohih menurut syarat imam Muslim serta disepakai keberadaannya oleh Ad Dzahabi.
      Imam Al Albany  berkata,” Amru bin At Thufail in Shohro’  kurang populer  dalam kitab-kitab Rijalul Hadist apalagi  sebagai salah satu dari rijal sanad shohih Muslim.Para ahli tersebut   lebih cenderung membiografikan ibnu Shohro’ sebagai perawi majhul (tidak jelas identitas diriya). Imam Ad Dzahabi dalam kitab Al Mizan  berkata,” Ibnu Shohro’  dari  al Qosim dari Hammad adalah perawi tak dikenal. Ada yang menyebutkan , dia adalah Isa bin Maemun. Ibnu Abi Hatim memastikan bahwa ia adalah Isa bin Maemun  dan ia menegaskan bahwa  Imam Al Khotib telah mengeluarkannya dalam kitab Al Muwatho’   (vol. I/ hal .174) 
      Imam Al Fadlo’i  dalam Musnad Asyhihab ; (2/2/2) dari jalan  Isa bin Maemun dari Al Qosim, dan Isa ini adalah  matrukul hadist (seorang perawi yang ditinggalkan hadistnya), sebagaimana  yang dikatakan Abu Hatim. Mayoritas pendapat menyatakan,hadist tersebut  adalah dhoif (lemah)  dengan alasan berkisar perawinya majhul ( tidak diketahui identitasnya ) atau matruk ( ditinggalkan hadistnya – karena tertuduh dusta ,penterjemah).
[77] ) Hadist diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (Vol. IV/ hal. 225, Imam Baehaqi  dalam As Sunan , Vol. VII/ hal. 85)  ia berkata :” Hadist ini kwalitas sanadnya diperselisihkan berpusat pada perawi Al Hajaj bin Arthoh  ( Vol. I/ hal . 599), Az Zaela’i   (vol III/ hal. 196) berkata:” al Hajaj bin Arthoh  perawi dho”if banyak mentadliskan (menutup cacat) perawi-perawi yang dho’if. Ibnu Majah mengeluarkan hadist ini dengan ragam redaksi lafadz yang mirip, Imam Iraqi  melemahkannya  dalam Tahrijil Ahya’ : Vol . II/ hal 39) sementara Imam Al Bushoiri  dlam kitab Az Zawaid  (vol II/ hal 117)  mengomentari bahwa hadist tersebut tidak hanya diriwayatkan  oleh Hajaj. Ibnu Hibban telah meriwayatkannya dalam kitab Shohihnya- seperti dalam mawariddzam’an  (hal. 302)  dengan jalur sanad lain sementara Imam Al Bani menshohihkannya  karena banyaknya  jalannya seperti yang termuat dalam kitab Shohihil Jami’  (vol. I/ hal. 166).
[78] ) Hadist diriwayatkan oleh Ahmad  dalam kitab Musnad (16/154) dari Al Fathir Rabani,
[79] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Ahmad ,Imam Thabrani, Imam Hakim dan Imam Baehaqi dari Hadist Anas . Imam Ahmad sendiri menganggapnya sebagai hadist Mungkar  dan yang masyhur hadist tersebut diriwayatkan melalui jalur  “amarah dari Tsabit, Abu Daud meriwayatkan dalam kitab Al Marasil dari  jalan Musa bin Ismail dari Hamad bin Tsabit. Imam al Hakim memaushulkan (menyambungkan sanadnya)  dengan jalan serupa  dengan menyebut sahabat Anas (sebagai perawi sahabat) , Imam Baehaqi  memberi komentar bahwa penyebutan  perawi Anas dalam sanad tersebut  bersifat waham (persangkaan) ,ia berkata,” Hadist ini diriwayatkan  oleh An Nua’im  dari jalur Hamad secara mursal saat yang sama ia juga berkata “diriwayatkan pula  oleh Ibnu Katsir Ashon’any dari Hamad  secara muwashshol (bersambung) .Radaksi  وشمى معـا طفها  teks hadist dalam riwayat  Thabrani , sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad dan yang lain, menggunakan redaksi وشمى عوارضها, lihat kitab Talkhisul Habir  (vol. III/ hal.147) Imam Hakim  (II /166) dan Baehaqi  (VII/ 87).
[80][80] ) Al Mu’ajamul Wasith  ( Vol. II/ hal. 594)
[81] ) Hadist diriwayatkan oleh Imam Addaelami  dalam Al Firdaus dari Ummi Salamah RA sebagai bentuk kebenaran eksistensinya, lihat kitab Kasyful Khofa’  Wa Muzilul ilbas ( vol. I/ hal. 159).
[82] ) Hadist diriwayatkan oleh Imam Muslim  dalam kitab Nikah , bab dianjurkan  melihat  wajah wanita calon istri dan kedua telapaknya  bagi orang yang ingin mengawininya  ( Vol. II/1040) nomer hadist ke 1424 ,  dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, (Vol. II/ hal 299), Ad Daruquthini  ( vol. III/ 253) , Al Baehaqi  (Vol. VII/ hal 84)  dengan redaksi lafadz “ syai’an”, Imam Ghozali  dalam Ihya’ Ulummudin  sebagian riwayat dengan redaksi  hadist فى اعيـنـهن  عمش  " ada yang memakai lafadz " صغـر" (Vol. II/hal. 39)  dan berkatalah penyusun kitab Al Fath, (vol. IX/ hal. 181, pendapat yang kuat  adalah pendapat yang kedua- yakni  sipit mata- karena  persis yang terdapat dalam riwayat Abu ‘Iwanah dalam Mustahrajnya  
[83] ) Shohih Muslim denan Syarah Imam Nawawi (Vol. III/ 580).
[84] ) Tandzimul  Islami lil mujtama’I  oleh Syeh Abu Zahrah hal. 68 , Fatawi Mu’asyiroh oleh Dr. Yusuf Qhordlofi  hal. 400.
[85] ) Lihat  Madza ‘anil Mar’ati  oleh DR. Nuruddin Attar, hal 51,  Al Umuwwatu Fil Qur’anul Karim  wa Sunnah An Nabawiyyah ; oleh Muhammad As Sayid Az Za’balawy hal .113.
[86] ) Khitbatun Nisa’  hal. 12, Madza ‘anil Marati  hal. 54. Al Umuwwah fil Qur’an il Karim Wa Sunnah Nabawiya  hal 115.
[87])  opcit  .

[88] ) Khitbatun Nisa’ ; hal. 123-125 , lihatlah huququl mar’atil Muslimati  oleh Nadim al Mallah hal.9.
[89] ) Hadist dikeluarkan Imam Ahmad  dalam musnadnya,  ( vol III/ 334- 360)  Abu Daud  : (Vol. : II/ hal.565-566)  nomer hadist ke 2082 , Imam Hakim  dalam Mustadraknya (vol. II/ hal.165) dan ia berkata: hadist ini adalah shohihul Isnad dan disepakati Imam Dzahaby  dan dihasankan Al Hafidz  dalam Kitab Al Fath (vol.  IX/  hal. 181)  dan ia berkata dalam kitab Bulughul maram : halaman. 179  : Riajal sanadnya adalah orang-orang kuat, dan dihasankan pula oleh Imam Al Bany  dalam takhrijil Misykat ( Vol. II/ 932).
[90] ) Nidzomul Usrati  wa hallul Musykilatiha  oleh Abdur Rahman Asy Shobuny, , Darul Fikr  halaman. 62-63 , lihat pula huququl mar’atil Muslimati halaman 9.
[91]) Dirosatun fi Ahkamil Usroti oleh  Muhammad biltaji  hal. 156 – 158.

0 komentar:

 
Template designed by Liza Burhan