Rabu, 06 Februari 2013

SIKAP ISLAM TERHADAP TINDAK KEKERASAN TERHADAP KAUM WANITA


Sikap Islam terhadap tindak  kekerasan terhadap kaum wanita.

             Adat, tradisi dan nilai-nilai sosial merupakan kerangka budaya yang paling dominan mendukung dan memberi justifikasi atas tindakan kekerasan terhadap perempuan disamping nilai-nilai adat dan budaya patriarki yang lebih  menghargai pria dan sangat memandang rendah kaum wanita dan  menempatkan mereka pada kelas kedua dalam strata kehidupan manusia. Hal ini didasarkan pada salah tafsir terhadap beberapa teks agama yang sering kali menjelaskan dan  mendukung kepentingan kaum laki-laki.Sehingga muncullah paradigma hukum fiqhih dalam memberi status dan kedudukan kaum wanita dalam kehidupan manusia atau mencabut hak-
hak kaum wanita dan peran-peran mereka baik dalam kehidupan ekonomi, politik maupun sosial. Tentu saja paradigma sedemikian ini akan sangat mengokohkan otoritas kaum laki-laki  dan memberi legimitasi terhadap tindakan kekerasan terhadap kaum wanita.
             Oleh karena itu sering kali agama Islam, teks dan interpretasinya serta beberapa ketentuan hukum syariatnya menjadi sassaran tuduhan sebagai salah satu sumber tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan.Namun   ada beberapa ahli fiqih dan para pendukung mereka yang memperoleh pencerahan pandangan yang mempunyai pandangan agak berbeda berbeda.
Dalam  
Alquran  Allah swt. berfirman :
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجاً لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة.
Artinya :”Dia menciptakan untukmu pasangan dari kalangan sendiri dalam ketenangan dengan mereka dan Dia telah menempatkan antara Anda kasih sayang dan belas kasihan.

Dan dinyatakan dalam sebuah hadist,  Nabi bersabda ,”Perempuan adalah bagian kembar laki-laki.” serta mengatakan ,”Perlakukan wanita ramah.

Seorang tokoh ulama fiqih pembaharu ,mujtahid berkebangsaan Libanon, Mohammed Hussein Fadlallah yang banyak mendapat kecaman kerasa dari organisasi keagamaan dan banyak tokoh-tokoh agama,ketika ia mengeluarkan pernyataan hukum pada kesempatan Hari Internasional Melawan Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan dalam fatwanya ,bahwa diperbolehkan bagi seorang wanita untuk membela diri melawan kekerasan laki-laki.” Kata Mohammad Hussein Fadlallah, berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan:
"Kekerasan psikologis, yang sering dilakukan suami dengan ancaman kata cerai pada  istrinya atau sebaliknya, atau membiarkan istrinya terkatung-katung dalam ikatan pernikahan dengan  dirinya dengan tidak diperlakukan sebagaimana mesti layaknya seorang istri, atau pemakaian kata talak sebagai alat eksploitasi oleh salah satu pihak pasangan. Sehingga akibatnya kehilangan keharmonian hidup dalam kehidupan rumah tangganya..Dan tentu ini sangat membahayakan aspek kejiwaan dan psikologisnya dan keseimbangan mental dalam menghadapi  tindakan kekerasan yang dilakukan suami atau ayah dalam memikul tanggung jawab materiel terhadap  istri atau keluarga.. Yang akibatnya kaum wanita terhalang meraih hak-haknya untuk hidup secara terhormat atau saat orang tua menekan perempuan dengan mengurangi  mahar yang semestinya ia peroleh yang dalam pemahan Islam berstatus sebagai hadiah pemberian simbol dari kasih sayang dan cinta kemanusiaan, jauh dari kepentingan komersial. Kekerasan dalam aspek pendidikan dengan mencegah kaum  perempuan memperoleh hak mereka mendapatkan  pendidikan dan kemajuan di bidang spesialisasi ilmiah yang mengangkat martabat dirinya baik dalam aspek  intelektual maupun budaya dan membukakan baginya cakrawala kemajuan, perkembangan dan pengembangan di berbagai lapangan kehidupan. Akibatnya kaum wanita  terus tetap dalam kubangan  kebodohan dan keterbelakangan. Dan ia pun terus memikul pahit getirnya kesalahan-kesalahan tanggung jawab ini  akibat  minimnya pengalaman dan pengetahuan akibat di tindakan kekerasan tersebut.
           Tindak Kekerasan dalam sektor pekerjaan  nampak dengan adanya perbedaan dan diskulifikasi upah kerja antara perempuan dan laki-laki tanpa alasan yang benar . Padahal pekerjaan yang sama sudah tentu punya  konsekuen dan imbalan yang sama pula.  Hal ini cukup dimaklumi karena nyaris seluruh masyarakat telah berbiasa dengan tindak  kekerasan semacam ini ketika undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku yang tidak memperhitungkan sisi-sisi kehidupan wanita semisal  beban keibuan (tanggung jawab ibu dalam rumah)   atau melihara dan merawat anak dan sisi-sisi lainnya dari kehidupan kaum wanita menghormati. Belum lagi eksploitasi  wanita oleh  manajer dan pengusaha utamanya terhadap  karyawan-karyawan wanitanya  dengan memaksa  mereka untuk bekerja di lebih dari satu bidang.
 Islam telah membuat  interaksi hubungan  antara pria dan wanita dalam kehidupan perkawinan dan rumah tangga pada umumnya kaidah dan aturan baku. Islam menganggap wanita  dalam mahligai rumah tangga sebagai seorang manusia yang punya hak-hak personal dalam aspek material terpisah dari kaum pria.Laki-laki tidak berhak mengambil alih dan menguasai harta benda finansiialnya  atau turut intervensi dan campur tangan dalam usaha perdagangan mereka dan berbagai kepentingan yang tidak berhubungan dan melibatkan dirinya sebagai suaminya  atau tidak berhubungan dengan keluarga yang menuntut  tanggung jawab pengelolaan dan manajemennya.
Islam tidak memperkenankan kaum laki-laki melakukan tindakan kekerasan  dalam bentuk apapun terhadap kaum wanita baik terhadap hak-hak syah akibat ikatan perkawinan atau hak-haknya di luar rumah  hingga  semisal mencaci- maki,mencela, mengata-ngatai dengan kata-kata  kasar  dan segala perbuatan yang dinilai sebagai dosa yang akan kelak di akherat akan menjadi perhitungan di sisi Allah dan yang berakibat sanksi hukuman dalam aturan hukum Islam.
 Adapun apabila laki-laki melakukan tindak kekerasan fisik  terhadap wanita sementara ia tidak punya kesanggupan membela diri kecuali dengan mengimbangi  kekerasan dengan tindak kekerasan serupa maka boleh dia lakukan sebagai bentuk pertahanan dan pembelaan diri.Sepertinya jika laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap wanita dalam aspek hak-hak personal sebagai istri syah dengan menahannya  memperoleh hak-haknya sebagai istri seperti hak memperoleh nafkah lahir dan nafkah bathin maka secara otomatis ia juga berhak melakuan serupa dengan meminimalisir laki-laki memperoleh  hak-haknya sebagai suami  atas  dirinya dalam akad pernikannya.
Islam juga menegaskan bahwa tak ada seorang pun punya otoritas  melakukan dominasi penguasan  terhadap diri wanita apabila ia telah mencapai umur dewasa, cakap hukum serta punya kebebasan dan kewenangan  mengurus urusannya sendiri.Maka tak ada seorangpun memaksa dirinya menikah dengan laki-laki atau suami yang tidak ia sukai. Akad pernikahan apapun tanpa mendapatkan rekomendasi dan persetujuan dirinya  maka bathal adanya dan  tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali.
               Masih dalam  perhatian kita terhadap  memelihara  keluarga. Sangat perlunya adanya  undang-undang yang mengatur aktifias kerja kaum hawa agar tercipta keharmonisan dan keserasian bidang pekerjaan yang dipilihnya  dengan beban kewajiban dirinya di dalam keluarga dan rumah tangga. Dan biasanya  setiap pelanggaran dan kurangnya kepedulian hal-hal seperti  ini dapat menyebabkan disintegrasi keluarga. Dan ini berarti bahwa masyarakat telah melakukan  multi  kekerasan terhadap struktur sosialnya  dan sistem nilai-nilai sosialnya.
Islam telah menegaskan kedudukan wanita di sisi laki-laki dalam aspek kemanusiaan, intelektual dan tanggung jawab dengan segala konsekwensinya serta menguatkan  prinsip-prinsip dasar kehidupan berumah tangga atas dasar cinta dan kasih sayang yang memberikan keluarga aura humanis dimana individu-individunya dapat berinteraksi jauh dari inersia hak  normatif yang menghidupkan kebekuan dan kekeringan spiritual dan emosional.
 Inilah  apa yang dapat memberikan  kekayaan batin dan keseimbangan psikologis dan kemajuan budaya dan intelektual  manusia secara  utuh baik bagi kaum laki-laki maupun  kaum wanita baik  individu ataupun masyarakat.
         
Dr Muhammad Abdul Malik Mutawakkil (Yaman) Koordinator umum  Konferensi Nasional - Islam, dalam  studinya  tentang "Islam dan Hak Asasi Manusia" terbit dalam hak buku Arab asasi manusia 1999 mengemukakan bahwa kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan menurut Islam adalah kaidah dan aturan dasar dan kecenderungan umum fitrah manusia. Adapun ketentuan hukum parsial atau yang bersifat juziyah yang bertolak belakang dengan kaidah dan kecendrungan ini atau tampak lahirnya berseberangan, maka harus  dicari rasionalitas tujuan-tujuannya dan asbab nuzul atau setting hukumnya.
 Dr Habash mengatakan: "Apa yang mungkin dilakukan oleh beberapa negara Islam  dengan melarang wanita atau membatasi ruang geraknya dari  partisipas diri i dalam kehidupan publik ... adalah alternatif dari salah satu alternatif  lain dalam sejarah Islam. "
Dr. Habash melanjutkan dengan mengutip penjelasan dua Imam, Imam Qurtubi dan AlAsqalani yang menegaskan bahwa pemahaman sedemikian sangat ditolak sama sekali baik atas dasar keterangan Al Qur’an dan As Sunnah .  Menurut kedua imam terseubt , katanya, kaum wanita  ada yang nyaris telah mencapai derajat Nubuwwah, yaitu pada sosok pribadi wanita suci  Sayidah Mariyam binti Imran ibunda Nabi Isa AS.Tidak disangsikan lagi pencapaian wanita hingga derajat nubuwwah ini – sebagaimana ditegaskan  dua Imam agung tersebut – dapat difahamai bahwa tidak menutup kemungkinan wanita dapat menduduki  jabatan publik atau menjadi penguasa jika  memiliki kualifikasi untuk itu dan setara dengan dirinya.
           Dr Mahmoud Akkam mengatakan: "Bahwa wanita memiliki kewenangan dan otoritas menjadi memegang kendali kepemimpinan jika memiliki kapasitas itu seperti halnya kaum laki-laki.Adalah tidak benar karakter dan status kewanitaan wanita  menghilangkaan keberhakannya  memegang kepemimpinan (wilayah) atau memegang jabatan publik. Jika yang dimaksud wilayah (kekuasaan) di sini adalah wilayah (kekuasaan/jabatan publik yang bersifat umum. Hingga sekira ia sanggup dan punya kapasitas kwalifikasi - sebagaimana kami kemukakan- maka wilayah yang dimaksud adalah wilayah (otoritas kepemimpinan yang bersifat umum.), Jika tidak maka apa tendensinya Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya kaum wanita itu saudara kembarnya kaum laki-laki.”
Mungkin dapat dikatakan bahwa piagam hak azasi manusia Arab dan Islam lebih terbuka terhadap prinsip partisipasi politik kaum wanita pada kedudukan yang sama dengan laki-laki. Dan juga dapat dikatan bahwa sastra-sastra para pemikir ,para sarjana peneliti dan ahli fiqih lebih terbuka terhadap prinsip-prinsip piagam tersebut.Dan semua keterbukaan tersebut tidaklah  merugikan syariah Islam sama sekali, tetapi sebaliknya . Karena kebanyakan pemilik pendapat menegaskan bahwa bentuk keterbukaan apapun bentuknya niscaya bertumpu pada syari’ah.      
 Kondisi wanita  dan tindak kekerasan terhadap wanita di berbagai negara ; di Mesir, Yordania, Suriah, Lebanon dan di Palestina.
          Laporan ini membahas masalah perempuan dan kekerasan pada tingkat global di samping efek yang ditinggalkan oleh kekerasan terhadap perempuan, baik dalam aspek kesehatan, sosial maupun aspek ekonomi juga menyentuh tentang status perempuan di tingkat regional Arab . Juga membahas perihal Sikap dan Konvensi Negara-negara  Arab terhadap Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan juga menyajikan pembahasan  posisi Islam terhadap Wanita dan terutama kekerasan terhadap perempuan, dan kami akan menuturkan  dalam bab ini sikap sejumlah negara-negara Arab - yang memiliki kesamaan budaya, sosial dan ekonomi - dalam hal status perempuan di negara-negara dan perkembangan sikap terhadap perempuan di samping menjelaskan beberapa  indikator yang diperoleh lewat penelitian terhadap diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.

0 komentar:

 
Template designed by Liza Burhan