MERAWAT CINTA KASIH
MENURUT AJARAN AL QUR’AN DAN SUNNAH NABI
MUQODDIMAH
Segala puji bagi Allah SWT , kepadaNya naik dan disampaikan perkataan yang baik dan amal shaleh .Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penutup para Nabi.,pempimpin para utusan junjungan kita nabi Muhammad Saw ,penyeru menuju jalan Allah dengan idzinNya ,pemberi petunjuk ke jalan lurus. Wa ba’du.
Keluarga adalah batu pertama dalam konstruksi sebuah bangunan masyarakat dan pilar fondamental pijakan bagi bangunan sosial yang kokoh . Diatas kuat lemah dan kekokohan keluarga – yang berpegang pada aqidah yang kuat dan petunjuk ajaran langit yang bijaksana- itulah konstruksi bangunan sosial dan keselamatanya bergantung dan demikian kapabilitasnya untuk stabil , memberi pelayanan sosial serta kekuatan memukul terhadap serangan tuduhan para provokatornya dan anak-anak panah yang dilepaskan para agitator (penghasutnya) berpijak.
Keluarga dengan rasa keteduhan dan saling kesefamahan yang meliputinya dan cinta kasih, kasih sayang dan rasa sepenanggungan yang menguatkan jalinan hubungan asal keturunan dan anak cucunya serta buah – buah yang baik lagi pilihan yang dihasilkannya dengan penuh perawatan dan perhatian sesuai prinsip-prinsip dasar keimanan dan nilai-nilai moral - merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab atas kebaikan umat dan kemampuan dirinya untuk membawa misi dan visinya menuju kemanusiaan.
Karena pertimbangan-pertimbangan ini, maka Islam menaruh perhatian besar pada masalah keluarga (rumah tangga). Hal itu ditunjukkan dengan adanya hukum-hukum keluarga dan pendidikan keluarga memperoleh porsi yang tidak sedikit dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi. Mungkin sudah cukup menjadi bukti apreatif mulianya sebuah lembaga rumah tangga ,dua surat dari Kitabullah yang membawa nama dan term yang mensinyalir bidang – bidang persoalan rumah tangga dan problematikanya, yaitu surat Nisa’ dan surat At thalaq.
Di sana ada berbagai faktor sebab yang melatar belakangi kami memilih /tema “Awamilu Istiqrosil Usroti fil Kitab wa Sunnah” antara lain :
1. Peran pentingnya lembaga rumah tangga (kelurga) sebagai wadah /wahana melahirkan generasi yang tetap tekun beribadah dan bertauhid serta kuat membawa amanah melaksanakan dan memenuhi kebutuhan masyarakat baik menyiapkan para kader dan para calon pemimpinnya, memelihara survival kehidupannya dan hak-haknya dan nilai-nilai keutamaannya. Jika keluarga atau rumah tangga baik dan konstruksi bangunannya kokoh dibangun di atas prinsip-prinsip yang kuat dan kaidah-kaidah yang baku dari syareat Allah dan hukum-hukumnya, maka anak-anak akan yang lahir dalam ruma tangga itu akan menjadi putra-putra yang shaleh. Sebaliknya jika nilai-nilai keutamaan dan integritasnya dalam diri oknum rumah tangga sangat lemah, hukum-hukum Allah ditinggalkan dan lembaga rumah tangga tidak berdiri atas dasar prinsip-prinsip dasar yang Allah gariskan, maka akibat negatif akan kembali berbalik pada prilaku dan perangai putra-putranya dan pada gilirannya akan berpengaruh banyak pada prilaku masyarakat secara keseluruhan.
2. Saya melihat urgenitas penelitian ini menekankan pembahasan hak-hak dan kewajiban suami istri (pasutri) mengingat karena hal itu merupakan salah satu sendi – sendi fundamental dalam faktor- faktor kekekalan dan keharmonisan rumah tangga dan yang akan menjamin kestabilan mental para putra-putra di rumah tangga tersebut sekira masing-masing suami istri mengetahui hak dan kewajibannya terhadap lainya. Dan sesungguhnya hal itu akan menyebabkan terjaganya hak-hak pasangan suami istri sebagaimana Islam perintahkan dan anjurkan.
3. Sesungguhnya syareat Islam telah meletakkan kaedah-kaedah (norma-norma) dan prinsip-prinsip dasar yang memelihara hak-hak pasangan suami istri yang akan menjamin jalinan hubungan dan keutuhan anak-anaknya dengan mengatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara individu-individunya sehingga tidak terdapat tindakan kesewenang-wenangan tanpa mengindahkan pertimbangan orang lain dan kedzaliman dalam interaksi antara sesama mereka.
Al Qur’an telah banyak menggambarkan berbagai diskripsi hubungan interaksi antara suami istri . Allah berfirman :
َومِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْها َوجعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم :21)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri -isteri dari jenismu sendiri,supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benabenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.)QS : Ar Rum :21)
Dan Allah berfirman :
هــــن لباس لكــــم وأنتم لباس لهــــنّ (البقرة : الاية 187)
Artinya :”mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”(Al Baqoroh :187)
Setiap hak dalam rumah tangga senantiasa ada kompensasi yang seimbang dengan kewajibannya. Allah SWT berfirman :
ولهــــن مثل الـذى عليهـــن بالمعروف (البقرة : 228)
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. (QS: Al Baqoroh : 228 )
3.Sesungguhnya memperkokoh faktor-faktor kekekalan rumah tangga dan keharmonisannya dalam masyarakat Islam akan banyak memberi konstribusi pada masyarakat dengan menghadirkan keturunan yang shaleh yang melaksanakan peran tugasnya dalam arena kehidupan dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah perintahkan. Bila keluarga telah dapat hidup kekal abadi ,harmonis dan stabil maka ia akan bisa membantu masyarakat dengan keturunan yang shaleh.
Sesungguhnya kerusakan tata sosial dalam masyakarat di sekeliling kita baik masyarakat muslim maupun non muslim lebih dominan disebakan keceraiberaian tatanan kehidupan rumah tangga , disia-siakannya hak-hak Allah di dalamnya dan phobia / rasa keterasingan pasangan suami istri terhadap hukum Allah SWT sehingga berakibat perceraian, serta saling caci maki dan berceraiberainya hati mereka karena hilangnya moralitas Islam dan ajaran-ajarannya yang menganjurkan pasangan suami untuk saling menghormati dan menjaga hak masing-masing.
Sesungguhnya anak-anak dan keturunan yang shaleh tidak akan terlahir kecuali dari keluarga yang harmonis lagi kuat yang senantiasa menjaga ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya.
4.Sesungguhnya penelitian tentang faktor-faktor kekekalan dan keharomisan rumah tangga dalam Islam akan lebih menegaskan dan menguatkan hak-hak pasangan suami istri pada umumnya dan hak-hak istri pada khusunya.
w
Pembahasan PERTAMA
DEFINISI USROH (KELUARGA)
MENURUT ETIMOLOGI DAN SYARA’
PERTAMA : USROH (KELUARAGA) menurut tinjauan etimologi
Dalam bahasa arab ada sejumlah lafadz/kata yang berkisar dan merepresentasikan pada pengertian dan makna yang sama, yakni hubungan kerabat yang kokoh yang mengikat sejumlah orang yang berasal dari satu keturunan yang sama,saling tolong menolong diantara mereka dalam mewujudkan tujuan bersama dan menolak berbagai bahaya yang mengancam mereka atau salah seeorang diantara mereka. meski masing-masing kata ini memiliki spisifikasi arti tertentu , .kata –kata itu adalah:
(Usroh, Ahlun, ‘Asyiroh, Raohthun)
Usroh الاسرة :menurut etimologi artinya , baju besi pelindung perang. Dan yang dimaksudkan adalah asyiroh (sanak kerabat) dan ahli bait (keluarga).Dan juga berarti rohthun ( kerabat ) terdekat seseorang.
Dalam kamus Mu’jamul Washith ,kata usroh berarti baju besi pelindung perang,ahli bait seseorang dan sanak kerabat.Dan dipakai secara umum untuk arti kelompok yang diikat oleh persoalan yang sama.[1]).
Al Ahlu الاهل menurut etimologi artinya kerabat-kerabat seseorang yang tinggal bersamanya di suatu tempat tinggal yang sama dan wilayah yang sama. yakni keluarganya yang juga lebih sering digunakan untuk konotasi makna istri atau pasangan hidup.
Kata “ahlu “ jika diidhofahkan dan difrasekan dengan kata “dar” rumah, “al balad’ (negara) maka memberi makna konotasi orang-orang yang tumbuh dibesarkan dan bertempat tinggal secara permanen di rumah atau di negara tersebut, maka sering orang menyebut ahlul Daar dan ahlu Makkah yakni penduduk negeri, atau penduduk kota Makkah. Bahkan kata ini sering diperluas maknanya untuk merujuk wilayah yang lebih luas , sering orang mengatakan , Ahlu Mesir, ahlul Madinah yakni penduduk negara Mesir, atau penduduk Madinah.
Kata ini juga terkadang di idhofahkan /difrasekan dengan kata al kitab ,yakni wahyu yang diturunkan. Maka memberi pengertian ahlu syariah assyamawiyah /penganut syariat/agama langit. Allah berfirman :
يا اهل الكتاب تعالو ا إلى كلمة سواء ( سورة ال عمــران : 64)
Artinya : “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu.” (QS: Ali Imron : 64)
Dan juga diidhofahkan (digabungkan dan difrasekan dengan kata Ad Dikr yang berarti ilmu . Kita dapati dalam Al Qur’an Allah berfirman :
فا سالو ا اهل الــذ كر إن كنتم لا تعلمــون (سورة الانبياء : 7 )
Artinya :” maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” (QS : Al Anbiya’ : 7).
Al ‘Asyiroh "العشيرة"berarti qabilah (suku) , atau keluarga dengan pengertian lebih luas. Al “asyiroh banyak dipakai untuk arti suami seorang wanita. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda,:
قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِير
Artinya :Beliau bersabda:” Karena kalian banyak memaki dan tidak berterima kasih kepada Al “asyir “ yakni suami.[2])
Allah bersabda,
لَبِئْسَ الْمَوْلَى وَلَبِئْسَ الْعَشِيرُ
Sesungguhnya yang diserunya itu adalah sejahat-jahat penolong dan sejahat-jahat kawan.(QS: Al Hajj : 13) termasuk Istri
Sedangkan kata “Ar Rohthu “ "الرهــطberarti kaumnya seseorang dan kabilah atau suku atau marganya. Dan kata ini dikonotasikan untuk sekelompok dan komunitas orang yang jumlahnya kurang sepuluh orang kaum lelaki yang tidak terdapat di dalamnya seorang wanita.Allah berfirman :
وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ (النمل 48)
Dan adalah di kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, (QS: An Naml : 48).[3]
KEDUA : KATA AL USROH DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
Di dalam Al Qur’an tidak terdapat kata al Usroh ((الاســرة meskipun kita dapati banyak padan katanya. .
Sedangkan kata Al Ahlu , sebagai sinonimnya,dengan berbagai idhofah (penggabungannya) dalam sebuah frase dipakai berulang di dalam Al Qur’an ul Karim sebanyak seratus dua puluh tujuh kali dengan beragam konteks dan dilalahnya (penunjukannya) seperti yang telah kami sinyalir dalam pengertian menurut Etimologi. Kontek dan dilalahnya itu antara lain sebagai berikut :
Pertama : menunjukkan pengertian istri . Allah berfirman :
إِذْ قَالَ مُوسَى لِأَهْلِهِ إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا سَآَتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ
(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada istrinya: "Sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya....” (QS: An Naml : 7)
Kedua : merujuk pengertian kerabat dekat seseorang yang tinggal bersamanya. Allah berfirman :
فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
Artinya :”Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” (QS : Al A’rof :83)
Ketiga : merepresentasikan pengertian yang lebih luas dari kerabat. Allah berfirman
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
Artinya :”maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan” (QS : An Nisa’ : 35).
Pemakain kata ahlu dengan konotasi makna ini lebih sering mengalami perluasan makna mencakup pengertian sekelompok orang-orang yang tinggal bermukim di suatu kota atau beberapa kota . Allah berfirman :
إِنَّ هَذَا لَمَكْرٌ مَكَرْتُمُوهُ فِي الْمَدِينَةِ لِتُخْرِجُوا مِنْهَا أَهْلَهَا
Artinya:” sesungguhnya (perbuatan) ini adalah suatu muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari padanya.... (QS: Al A’rof :123)
Dan firman Allah :
ذَلِكَ أَنْ لَمْ يَكُنْ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا غَافِلُونَ
Artinya :” Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah. (QS: Al An’am :131).
Bahkan mempunyai konotasi yang lebih luas meliputi komunitas di seluruh arah daerah,lingkungan atau suatu wilayah sepenuhnya. Allah berfirman:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا
. Artinya :”Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka,...(QS: Al Qoshohs : 4)
Dan firmanNya :
حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ اْلأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلاً أَوْ نَهَارًا
Artinya :”Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang,....” (QS : Yunus : 24)
Dan masih banyak lagi pemakain kata “Ahlu” dengan konotasi makna lain, seperti pengidhofahan (penggabungan) lafadz “Ahlu” sebagai frase dengan kata Al Kitab, Ad Dzikir, atau Al Makr dan kata-kata lain yang tidak mempunyai konotasi pengertian keluarga.
Guna memperkaya perbendaharaan pengertian yang ditunjukan kata Ahlu dan kompleksitas semua pengertian kata tersebut yang mengacu pada kata Al Usroh, , maka pemakaian kata “Ahlu “ lebih tepat dan utama dalam kajian ini dibanding dua kata ; Usroh dan “Asyiroh ,sebagaimana proposisi yang diserukan sebagian peneliti ,”Bahwa kita dapat menggunakan term “Ahlun” yang banyak dipakai dalam Al Qur’an dan As Sunnah dengan merujuk arti “usroh”( keluarga) . Karena kata “ahlun” itu sendiri secara harfiyah berarti para penghuni(orang-orang yang tinggal) di suatu rumah, suatu tempat , negeri, dan wilayah atau lingkungan tertentu.Sementara kata Usrotul Rojul ( usroh seseorang) itu sendiri mengindikasikan orang-orang yang tinggal bersama seseorang di suatu tempat tinggal atau di suatu tempat tertentu yang sama..
Sementara lafadz “”asyiroh “((العشيرة hanya disebut berulang dalam Al Qur’an tiga kali yang menunjukkan pengertian sanak -kerabat seseorang,dan sekali yang mengindikasikan kerabat dekat . Allah berfirman :
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Artinya : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (QS: AsSyu’ara’ : 214)
Serta disebutkan dua kali untuk menunjukkan arti kerabat jauh . Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ
Artinya :”Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,......” (QS : At Taubah : 24)
Dan firman Allah :
وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Artinya :”Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..........(QS : Al Mujadalah : 22)
Kontek dan dilalah pengertian tersebut diatas akan menambahkan pengertian- pengertian konotatif kata “Asyirah” yang telah kami tuturkan sebelumnya .
Adapun kata “Ar Rohthun” ((الرهـط disebutkan berulang dalam Al Qur’an tiga kali juga . Dua tempat disebutkan pada dua ayat berturut-turut dari surat Al Hud dan merujuk arti keluarga . Yaitu Firman Allah :
وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا وَلَوْلاَ رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ
Artinya :” dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu.....(QS: Hud : 91)
Dan Allah berfirman :
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَهْطِي أَعَزُّ عَلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَاتَّخَذْتُمُوهُ وَرَاءَكُمْ ظِهْرِيًّا إِنَّ رَبِّي بِمَا تَعْمَلُونَ مُحِيطٌ (92)
Artinya :”Syu`aib menjawab: "Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah,....”.(QS : Hud :2)."
Disamping pada satu ayat yang telah kami sebutkan tersebut dalam bab definisi kata ini secara etimologi yang merujuk pengertian komunitas bilangan orang kurang dari sepuluh tanpa ada seorang wanita di dalamnya.
KETIGA: KATA AL USROH DALAM PERSPEKTIF AS SUNNAH
Adapun dalam As Sunnah atau hadist Nabi , dua kosa kata ;”Ahlu”, dan “Asyiroh” banyak kita temukan disamping kata “Usroh” yang jarang serta sedikit adanya.Dalam kitab Sunan Abi Daud, diriwayatkan,bahwa Rosulullah bersabda :
Seorang laki-laki telah berbuat zina dalam sebuah keluarga dari kalangan manusia.
Imam Al Khuthoby menginterpretasi dan menafsiri lafadz Usroh dalam hadist ini ,bahwa yang dimaksudkan adalah ayiroh seseorang atau ahli baitnya.Ibnul Atsir menuturkan penafsiran serupa dalam kitab Nihayah.[5])
Kata “Ahlun” dalam As Sunnah (hadist Nabi) datang dalam berbagai pengertian secara etimologi,kami sebutkan sebagian sampel di sini untuk menghindari pembicaraan yang berkepanjangan. Ada yang datang dengan konotasi makna Istri.Sabda Rasulullah SAW :
إن من الغيــرة غيرة يبغضها الله عــزّوجلّ وهى غيــرة الرجل على أهـله من غير ريبة
Artinya :” Sesungguhnya sebagian kecemburuan, ada kecemburuan yang sangat dibenci Allah SWT, yaitu kecemburuan seseorang pada Istrinya tanpa sebab yang jelas.[6])
Sebagian lagi datang dengan makna sanak kerabat seseorang yang tinggal hidup bersamanya yang biaya hidupnya berada dalam tanggungannya, seperti istri dan anak-anaknya, Sabda Rasulullah SAW :
من جهـز غازيا فى سبيل الله فقــد غــزا ومن خـــلفه فى أهـله بـخيرفـقد غـزا[7]
Artinya :” Barang siapa yang membantu orang yang berjuang di jalan Allah ,maka baginya pahala seperti orang yang pergi berperang,barang siapa menggantikan posisi penanggungjawab ahli baitnya(istri & anaknya maka ia mendapat pahala seper i jihad di jalan Allah”
Sementara kata “asiroh dalam Assunnah , terdapat dalam Hadist yang diriwayatkan
“Aisyah ra,
ما ورى عن عا ئسة رضى الله عنه أن رجلا استأذن على النبى صلى الله عليه وسلم فلما رآه قال بئس اخو العشيرة وبئس ابن العشيرة .....الحديث [8]
Artinya : “ Diriwayatkan dari “Aisyah ra ,bahwa seornga laki-laki minta izin kepada Nabi SAW ,maka talkala beliau melihatnya, beliau berkata,” Ia adalah sejelek-jelek saudara ‘Asyiroh (dari sebuah keluarga) dan sejelek –jelek anak dari sebuah keluarga............. Al Hadist
Dari penjelasan terdahulu , Keluarga( Usroh ) mungkin dapat di definisikan , sebagai unit dan lembaga terkecil dan pertama dalam masyarakat yang terjadi interaksi langsung antara individu-individunya ,setiap orang dapat melakukan pengembangan diri dan tumbuh secara sosiologis, dan memperoleh pengetahuan (kognitif) ,ketrampilan (motorik), kecenderungan ,bakat dan arah (gaya) hidup disamping mendapatkan rasa keamanan ,kenyatamanan dan ketenangan.
KEEMPAT : KELUARGA DALAM PERSPEKTIF ILMU SOSIOLOGI
Keluarga menurut perspektif sosiologi, adalah unit terkecil dan terbawah , dalam struktur bangunan sosial, baik dalam sisi pembentukannya, ruang lingkupnya serta hubungan interaksi antara individu-individunya dan merupakan sumbu hubungan kekerabatan, suasana kehidupan pernikaha dan (sumber akibat hukum yang mungkin terjadi baik) perceraian (Talaq), Hadlanah ( pemeliharaan anak) dan berbagai urusan pewarisan. [9])
Manusia adalah makluk sosial (Zon Politikon) yang kehidupannya tidak akan bisa berjalan mulus, kecuali berada naungan komunitas orang, yang saling kerja sama dan tolong di dalamnya untuk merealisir tuntutan-tuntutan kebutuhan hidup mereka dan menolak bahaya yang mengancam mereka.Dan hal itu tidak akan terlaksana kecuali jika ada kerja sama dalam bingkai sosial yang kokoh ,nilai-nilai kehidupan yang dipelihara dan prinsip-prinsip hidup yang dipegangi kuat serta tujuan – tujuan yang ingin diwujudkan . Dan ini diwujudkan dengan membentuk masyarakat-masyarakat kecil (nuclear society) yang saling mengikat dan dari situlah terajut masyarakat yang lebih besar dengan segala potensi-potensinya untuk mewujudkan kehidupan sosial . Oleh karena itu keluarga dapat didefinisikan sebagai komunitas sosial fondamental lagi kekal dan sub sistem sosial mendasar ,ia bukan sekedar dasar terwujudnya masyarakat semata, tetapi juga menjadi sumber moral dan norma serta sendi pertama penerapan etika dan prilaku dan tempat dimana manusia pertama kali mengenal dan memperoleh pelajaran-pelajaran kehidupan sosial.[10])
Keluarga adalah komunitas yang terdiri pasangan suami istri dan anak-anaknya yang belum menikah yang tinggal bersama di suatu tempat yang sama….Bahkan keluarga dapat diartikan lebih luas dari itu , meliputi suami - istri serta anak-anaknya laki-laki dan perempuan baik yang belum menikah maupun anaknya-anaknya yang sudah menikah bersama istri-istrinya , anak-anak mereka dan kerabat-kerabat mereka seperti paman ,bibi , anak perempuan dan para jandanya.
Sedangkan Usroh (Keluarga) yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pengertian yang pertama,yakni komunitas yang meliputi pasangan suami istri dan anak-anaknya yang akan kami paparkan dalam tema faktor-faktor kekekalan rumah tangga dan cara pembentukannya serta segala aspek-aspek hukum dan perundang-undang Islam yang berkaitan ,yang menjamin kekekalan dan kelangsungannya serta, segala segmen-segmen hukum Islam yang meliputinya dengan perhatian yang penuh bijaksana.
PEMBAHASAN KETIGA
TUJUAN membina RUMAH TANGGA
MENURUT AL QUR'AN DAN SUNNAH NABI
Sesungguhnya membina rumah tangga dalam Islam memiliki berbagai tujuan[11],utamanya sebagai berikut :
PERTAMA : UNTUK MEMPEROLEH ANAK.
Anak adalah anugerah yang Allah karuniakan kepada manusia.Ini yang menjadi tujuan pokok berumah tangga.Dan untuk inilah pernikahan disyariatkan,yakni untuk melestarikan keturunan...... Sementara nafsu syahwat (birahi) hanya menjadi stimulus (perangsang) dan pencapaian hingga menghasilkan anak itu yang mempunyai nilai ibadah kepada Allah SWT.
Membina rumah tangga dan keluarga berarti memenuhi kebutuhan naluri manusia dan kebutuhan mendasarnya dan memenuhi tabiat kodrat kehidupan manusiawinya dan sunnah kehidupan yang Allah ciptakan . Maksud dan pengertian ini nampak jelas dalam segmen permasalahan berikut :
A.Memenuhi keinginan naluriyah dan kecendrungan kodrat manusia untuk memiliki anak dan keturunan. Tabiat manusia menyukai panjang umur, punya jejak langkah dan kenangan yang akan tetap abadi sepeninggalnya, tidak suka menyendiri dan terputus anak dan keturunan.Karena anak adalah belahan hati , kesenangan dan karuania Allah yang sangat berharga serta kebanggaan dan tabungan yang bisa diandalkan untuk akherat kelak bila anak benar-benar sholeh..
Dan rumah tanggalah satu-satunya wadah yang alami dan syah untuk mengakomudir keinginan ini.Oleh karena itu wajarlah bila Allah SWT mengungkit karunia kenikmatan yang pernah diberikan pada hambanya. Allah berfirman:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (72)
Artinya :” Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni`mat Allah?"(QS : An Nahl :72)
Allah juga menilai berumah tangga sebagai sunnah /kebiasaan yang telah cukup lama dalam kehidupan manusia,bahkan hal itu tercermin dalam kehidupan para Rosul pilihanNya .Allah berfirman :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
. Artinya :”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan”.( QS : Ar Ra’du : 38).
Allah juga memberi pembelaan kepada Rasulullah SAW saat kaumnya memperolok-olok sebagai orang yang terputus keturunan dan hubungan kekeluargaan saat putra-putra laki-lakinya dipanggil keharibaanNya.. Allah berfirman :
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Artinya :” Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”
(QS : Al Kaustar : 3)
Dialah Nabi Allah Zakaria AS ,meski telah berusia senja,ia senantiasa bermunajat kepada Allah SWT memohon untuk tidak membiarkan sendirian tanpa punya keturunan atau ahli waris yang akan mewarisi tugasnya.. Allah berfirman :
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6(
Artinya :” Ia berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo`a kepada Engkau, ya Tuhanku.(4) Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai".(QS : Maryam : 4-6)
Dan firmanNya :
رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
Artinya :” Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.” (QS : Al Anbiya’ : 89).
Al Qur’an juga mengisahkan Nabi Allah Ibrahim AS yang tak henti-hentinya mencurahkan rasa syukur dan pujian yang tak terhingga kepada Allah atas karunia anak laki-laki setelah lewat beberapa tahun masa hidupnya:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ (39(
Artinya :” . Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do`a.(QS : Ibarahim : 39).
Sepertinya ada pesan-pesan yang cukup signifikan dalam segmen ini – yakni dalam memenuhi keinginan dan kecendrungan naluri manusia untuk mendapat keturunan- dan sangat erat sekali dengan misi penciptaan manusia di muka bumi .yaitu :
1. Ada korelasi yang cukup relevan antara cinta Allah dengan upaya mendapatkan anak guna melestarikan bangsa manusia dan survivalnya serta menjaga dari kelemahan.dan kepunahan.
2. Memakmurkan semesta dan mengemban tugas kekhilafan (pemakmur bumi), yang Allah karuniakan sebagai penghormatan kepada ras manusia guna dapat memikul beban tanggung jawab tersebut.
3. Upaya mencintai Rasulullah SAW dan mendapatkan keridloannya dengan memperbanyak suatu yang menjadi kebanggaan hatinya.Rasulullah telah jelaskan dalam sabdanya :
تنـا كحوا نتـاسـلوا تـَكثـروا فـإ نى أبـاهى بكم الامم [12]
Artinya :” Nikahlah kamu sekalian ,beranak pinaklah dan perbanyaklah jumlah kamu, karena sesungguhnya kalian akan kujadikan kebanggaan diantara sekian banyak ummat
4. Memperoleh keberkahan doa anak yang sholeh sepeninggalnya karena sabda Rasulullah :
إذا مات ابن آدم انقطع عمـله إلا من ثـلاث ، إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولـد صا لح يـدعو له [13]
Artinya :” Jika anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu shodaqo jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mau mendoakannya.”
B. Pernikahan senada dan seirama dengan hukum alam(sunnah kauniyah) yaitu - Sistem Berpasangan”- itulah hukum /aturan baku yang Allah letakkan tidak hanya pada makhluk –makluk hidup (biotik) tetapi hingga benda –benda mati (abiotik) . Berpasangan adalah tatanan fitriyah yang luas ruang lingkupnya mengatur semua makhluk ciptaan yang ada di semesta. Allah berfirman :
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (الذاريات :49)
Artinya :” Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” ( QS : Ad Dhuriyat : 49).
Allah juga berfirman :
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ (يس : 36)
Artinya :” Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.(QS . Yasin : 36).
Tatanan ini mengklasifikasi segala jenis makhluk ciptaan di alam semesta ini menjadi dua bagian, dan menciptakan pada setiap bagian rahasia spsifiks yang berbeda dengan apa yang terkadung pada pasangannya. Dan tentunya sunnatullah (Hukum Alam) ini akan menjadi kurang produktif dan pasif kecuali bila dua rahasia (yang terpendam dalam dua jenis makhluk ciptaan) ditemukan dan dipadukan, jika tidak maka sunnatullah (hukum Alam) itu akan tetap pasif ,tak berfungsi serta tak bekerja aktif.[14]
Bertolak dari hal ini, maka kebutuhan kaum laki-laki terhadap keberadaan wanita dan demikian sebaliknya merupakan suatu kebutuhan pschicis yang terpendam pada masing-masing pasangan yang harus ia temukan pada patner pasangannya,bukan kebutuhan yang terbatas pada makanan dan minuman dan berbagai kebutuhan biologis (tubuh) lainnya, tetapi ia adalah kebutuhan naluri untuk saling melengkapi dan kebutuhan yang sangat mendasar. Dan hal ini tentunya menjadi pukulan telak yang membatalkan klaim orang yang mengatakan bahwa wanita dengan kariernya dalam arena bidang usaha dan gaji perolehan yang dapat memenuhi kebutuhan materiilnya tidak memerlukan pasangan lelakinya sebagai pendamping hidupya dan tidak perlu menikah.[15] )
KEDUA; MEMBENTENGI DIRI DARI GODAAN SYAITAN, MENYALURKAN IMPULSE LIBIDO ( (DORONGAN SEKS) SECARA PISITP ATAU MENGHINDARKAN BAHAYANYA SERTA MEMELIHARA PANDANGAN DAN KEMALUAN.
Diantara karekateristik Islam yang menonjol adalah ia sangat konsisten memelihara fitrah dan watak kodrat manusia,menerimanya dengan realitas apa adanya , membinanya dan menghargainya tidak mengekang , mengebiri dan membatasi geraknya.
Dalam bingkai rumah tangga dan interaksi pasangan suami istrii- masing-masing individu-baik laki-laki maupun perempuan- mendapatkan saluran sehat lagi alami untuk menyalurkan dan melepaskan kebutuhan biologisnya dengan cara yang tidak merusak jasmaninya dan menyisakan siksa penyesalan yang berkepanjangan dan yang memberi kewenangan individu untuk mereguk kenikmatan biologis dalam batas yang rasional ,yang berakhir kesenangan dan kepuasan.[16]
Sesungguhnya nafsu syahwat (birahi seks-impulse libido) suatu yang sulit terhindarkan oleh seseorang saat panggilannya datang memanggil dan tak ada jalan untuk menutup telinganya baginya saat itu meski ia memiliki berbagai sarana pengekangan dan pengendalian diri yang mampu merubah pola pikirnya dan menghindarkan dirinya dari “padang subur”nya kecemasan dan kesesatan.karena tak ada kesempatan yang lewat menghampirinya melainkan akan menghiasinya dengan keburukan.dan kejahatan meski orang itu sedang berdiri menghadap tuhannya di saat sholat.Nafsu syahwat adalah lengan syaitan yang membantu mewujutkan keinginannya.Oleh karena itu wajar sekali bila Rasulullah SAW kerap kali memohon kepada Allah SWT – sebagai pelajaran bagi umatnya- agar terpelihara kemaluannya dan juga memerintahkan orang kedapatan penglihatan terlanjur melihat seorang wanita yang memikat hatinya agar segera mendatangi mengumpuli istrinya.
عن جابر رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه سلم :" اذا احدكم أعجبته المرأة فقعت فى قلبـــه فليعمـد الى امرأته فليقعـها ، فـإن ذلك يـرد ما فى نفســـه " [17]
Artinya :” Dari Jabir RA berkata Rasulullah SAW bersabda,” Jika seseorang diantara kamu tertarik pada seorang wanita yang menawan hatinya maka hendaklah ia segera mendatangi istrinya dan mengumpulinya karena hal itu akan menolak apa yang bergejolak di hatinya.”
Yakni tindakan itu akan menjaga hati dan jiwa dari godaan yang menghantui tersebut.
Tidak ada satupun agama dan tatanan di dunia yang lebih tegas dan transparan melampaui Islam dalam memberi pengakuan legal terhadap dorongan naluri manusia dan membersihkan ruang geraknya baik dalam pola pikir maupun perasaannya.Allah SWT berfirman :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ
Artinya :” . Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. “ (QS: Ali Imron:14)
Nafsu syahwat dan keinginan nafsu dalam ayat ini adalah nafsu syahwat dan keinginan libido yang dihalalkan agama dan memberi kabaikan dan kenikmatan bukan nafsu syahwat yang keji dan berkonotasi kotor lagi berakibat kurang baik. Pernyataan dan ungkapan al Qur’an dalam ayat ini tidak menyerukan untuk mengapresiasi “Nafsu syahwat” suatu yang “kotor” dan suatu yang “kurang pantas” sebaliknya semata-mata menyerukan untuk mengenal tabiat nafsu dan segala motiv pendorongnya serta meletakkannya pada posisinya tanpa melampaui proporsi yang sebenarnya dan melanggar nilai-nilai keutamaan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan dan juga menyerukan untuk melongok sisi lain yang terpendam setelah mengambil signifikansi nafsu syahwat dengan tanpa tenggelam dan melampaui batas.
Islam memperkenankan menikmati segala yang baik ,indah dan lezat.dalam hidup bahkan ia menyerukan terang-terangan. Allah berfirman menukas orang yang mengingkarinya:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ)سورة ا لاعراف : 32)
Artinya:” Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"(QS; Al A’rof : 32)
Sesungguhnya segala bentuk motif yang wajar dan alami dalam kehidupan tidak dipandang kotor dan profan dalam perspektif Islam demikian juga hasrat untuk berumur panjang bukan pula suatu yang hina yang dapat meruntuhkan martabat kemulian orang –orang menginginkan kesucian diri.Kecendrungan dan keinginan berumur panjang adalah sangat selaras dengan kehendak Allah SWT dalam menciptakan kehidupan itu sendiri dan tujuan yang Allah kehendaki yaitu mewujudkan dinamika kehidupan bukan semata-mata memperpanjang umur.
Keinginan “berumur panjang” itu sendiri merupakan media untuk peningkatan nilai-nilai kehidupan dan dinamikanya dan tidak kontradiktif sama sekali dengan pemikiran “dinamisasi hidup”.Oleh karena itu Islam merajut “dorongan-dorongan vital” dalam fitrah manusia dengan kecintaan dan kecendrungan spriritual yang mendasar dalam fitrahnya dan memadukan keduannya dalam satu unit keterpaduan yang harmoni dan serasi tanpa melampaui batas dan tidak ada pertentangan serta benturan di dalamnya.[18]
KETIGA : MERAIH KETENANGAN HATI DAN JIWA
Dalam atmosfir kehidupan rumah tangga masing-masing suami istri akan mendapati dalam kemurahan hati pasangannya aneka cipta rasa ; rasa persahabatan, kasih sayang dan rasa cinta .Suatu cipta rasa dan perasaan yang tidak akan pernah ia dapatkan bersemayam di hati siapapun.Tidak akan pernah didapati oleh kaum lelaki – sepenuhnya- di hati orang lelaki sejenisnya dan juga kaum wanita di hati wanita sejenisnya kecuali bila mereka mengidap kelainan mental.
Ketenangan hati,rasa cinta dan kasih sayang yang dirasakan manusia terhadap pasangan pendamping hidupnya suatu kebutuhan psikologis yang tak terelakkan
dan tidak akan bisa ia peroleh di luar bingkai pernikahan dan berumah tangga..Ia adalah rasa ketenangan yang saling melengkapi dan membutuhkan keberadaannya antara satu dengan yang lainnya.. Rasa nyaman dan tenteram jiwa kepada jiwa lain pasangannya dari jenisnya sehingga dua ruh tersebut menjadi satu ruh dan dua hati bertaut menjadi satu hati yang utuh.
Tujuan ini terekspos dan tersinyalir dalam firman Allah SWT :
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة :21)
Artinya :” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS : Ar Rum : 21)
Imam Qurthubi dalam mengintrepetasikan ayat خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا (Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,) yakni “wanita-wanita atau istri-istri yang kamu merasa tenang dan tentram kepadanya . Kata . أَنْفُسِكُمْ “dari diri kamu sendiri” yakni dari air sperma kaum lelaki dan dari jenis makhluk hidup sebangsamu.
. وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَة“Dia jadikan di antaramu rasa kasih dan sayang” Ibnu Abbas dan Mujahid menafsiri dengan “rasa cinta kasih (cinta birahi), bersetubuh,dan rasa kasih sayang” .Sebagian menafsiri cinta kasih, kasih sayang serta rasa saling belas kasih dan simpati sebagian terhadap sebagian yang lain. Sebagian memaknai kata,”al Mawaddah “ dengan rasa cinta dan kata “Ar Rahmah” dengan belas kasih . Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA.,ia berkata,” kata “Al Mawaddah” berarti kecintaan seorang kepada istrinya dan kata “Ar Rahmah” bermakna rasa belas kasih seseorang terhadap istrinya dari keburukan yang menimpa dirinya.Konon seorang laki-laki berasal dan tercipta dari tanah, karena itulah dalam dirinya tersimpan kekuaatan dan sifat elemen tanah. Pada dirinya juga terdapat Faraj (kemaluan) yang merupakan awal penciptaannya yang senantiasa membutuhkan ketenangan (dari gejolak libidonya) .Sedangkan wanita tercipta mengakomudir ketenangan dan ketentraman gender laki-laki ini..
Subtansi spiritualitas kemanusiaan manusia termanifestasikan dalam dua gendernya –laki-laki dan perempuan- Ayat mengatakan خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا (Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,) kemudian menjelaskan hikmah dan rahasianya لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا “supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya”
Imam Asy Syahid Sayid Quthub dalam ulasan ayat ini mengatakan[19],” Sesungguhnya rahasia dan hikmah sang pencipta menciptakaan masing-masing gender dengan suatu yang memilki sisi keserasian dengan lainnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan nalurinya secara psikologis,mental-spirituil dan biologisnya dan mendapatkan di sisinya rasa ketentraman, ketenangan , kesejukan dan kedamaian serta mereka juga dalam kesatuan di sebuah lembaga pernikahan mendapatkan rasa ketentraman , kepuasan ,cinta kasih dan kasih sayang. Penyatuan dua gender ini baik dalam mental-psikologis,kekeluargaan dan keanggotaan serta organ - fisik mengandung maksud untuk memenuhi kebutuhan masing-masing terhadap apa yang ada di dalam pasangannya , kesatuan dan bercampurnya dan pada akhirnya dapat menciptakan kehidupan baru yang terefleksikan dengan terlahirnya generasi baru.
Oleh karena itu signifikansi pernikahan bukan semata-mata memenuhi gejolak Impulse Libido ( (Dorongan Seks) yang biasa dikenal.Dan inilah makna dan maksud yang tepat Allah meniciptakan manusia“berpasang-pasang” sebagai salah satu tanda dari tanda-tanda kebesaranNya. Allah berfirman:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا(الروم :21)
ِ Artinya :” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,(QS : Ar Rum : 21).
Imam Al Fakhrurrozi [20] berkata,” Bila dikatakan سكن اليه (sakana ilaihi berkonotasi untuk ketenangan dan ketentraman hati. Dan kata سكن عنـده
berkonotasi makna menempati (tinggal ) secara biologis karena kata عنـد berposisi sebagai dhorof makan (((ظرف المكانkata keterangan tempat” dan ini jelasa sekali merepresentasikan untuk konotasi makna tubuh biologis sementara kata إِلَيْ bermakna hingga dan itu merujuk ke hati.
Dan mungkin suatu hal bisa merefleksikan pengertian ini, adalah bahwa rasa ketentraman dan ketenangan hati yang dirasakan pasangan pasutri usia lanjut akan nampak lebih menonjol dan gampang diraih dibanding pasangan pasutri usia muda meski seiring kondisi fisik mereka yang kurang mendukung serta telah mereda dan memudarnya dorongan-dorongan seks (Impulse Libido.)….Karena subtansi sebenarnya pernikahan adalah mengawinkan martabat kemanusiaan (insaniyah) manusia dengan martabat kemanusian manusia.Tidaklah tubuh (biologis) dikawinkan dan dipertemukan dengan tubuh.(biologis) kecuali dalam “pernikahan orisinil” dan ini terefleksikan dalan dunia endrawi - fisik dan perbuatan nyata.. Dan yang kami maksudkan dengan “ mengawinkan martabat kemanusiaan (insaniyah) manusia dengan martabat kemanusian manusia”dalam subyek tema ini adalah mengawinkan cipta karsa cinta kasih dan kasih sayang yang mengikat keduanya dan mereka mempunyai kesamaan karena berasal dari nafs (jiwa ) yang sama dengan karaktersitik –karaktersitiknya. Itulah rahasia yang dirillis Al Quran dengan kata “Ar Rahmi” dalam firman Allah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (سورةالنساء:1)
Artinya :” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(QS : An Nisa’ : 1)[21]
“Pernikahan “ disyariatkan dan diperintahkan tidak bermotif untuk mendapatkan anak atau memenuhi tuntutan seks dan kebutuhan biologis semata-mata ,tetapi lebih dari itu atau bersama itu pula Allah tujukan untuk menumbuhkan “persahabatan” di muka bumi ini dan melahirkan cinta kasih serta menciptakan kebaikan dan kasih sayang.
Imam Fahrur Rozi [22] berpendapat bahwa tumbuhnya kasih sayang dan cinta kasih dalam suasana ketentraman lewat pernikahan pasangan pasutri jauh dari kesan faktor seksual adalah suatu ketentuan alami. Menurut hemat beliau , bahwa kita akan mendapat rasa saling kasih sayang bersemayam di hati pasangan pasutri jauh berbeda dengan rasa yang dirasakan antara kerabat dekat. Dan itu hanya terwujud lewat pranataan dan aturan yang diatur oleh sang Pencipta yang Maha bijaksana .(yakni pernikahan).
Dalam menafsiri dan mengomentari ayat ini , ia berkata,”Bahwa manusia akan mendapatkan rasa saling kasih sayang dalam kehidupan pasangan suami istri jauh berbeda rasa yang ia dapatkan dalam hubungan antara sesama kerabat dekat.Dan hal itu bukan semata-mata untuk melampiaskan nafsu birahi (libido) nya. Karena nafsu birahi (libido) ini terkadang pudar dan mereda sementara kasih sayang tetap kukuh kekal abadi, lantara bersumber dari Allah SWT. Sekira ikatan mereka berdua hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan syahwat birahi dan libido seks, padahal rumah tangga - tak lepas dari prahara dan kemelut ,bahkan kerap terjadi letupan kemarahan yang tak menutup kemungkinan memudarkan nafsu birahinya dan lagi pula syahwat –nafsu libido tidak bersifat permanen dan senantiasa aktif, sebagai konsweksi yang pasti niscaya pada setiap saat akan terjadi perceraian dan talak. Maka rasa kasih sayang yang membuat orang menolak dan menghindarkan diri dari segala yang diharamkan adalah rasa kasih sayang dari Allah SWT.”
Rasa kasih sayang (Ar Rahmah) adalah perasaan naluriyah yang membuat pemiliknya bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap orang lain , mengapresiasi, menghargai orang lain dan menerima mereka sesuai keadaanya, menjaga perasaan mereka dan menghormati martabat mereka.Jika perasaan cinta (Al mawaddah) merupakan bentuk kecendrungan dan kecondongan terhadap orang lain.secara psichologis, maka sudah tentu kecendrungan dan rasa simpati ini muncul sedikit demi sedikit seiring motif yang melatarbelakanginya. Demikian halnya jika masing-masing orang melaksanakan kewajiban terhadap orang lain dengan penuh rasa kasih sayang kepadanya bisa dimungkinkan ia akan condong terhadap kawan pendampingnya dengan penuh kecintaan, kasih sayang dan cinta kasih..
“Ar rahmah” atau “kasih sayang “ dengan pengertian ini melahirkan rasa cinta kasih dan cinta birahi dan menegaskan eksistensinya.Oleh karena itu tidaklah salah bila ada pepatah bilang,” kecendrungan dan rasa simpati adalah tataran pertama derajat cinta , Kecendrungan dan rasa simpati adalah salah satu sisi dari sisi-sisi bagian “kasih sayang” atau “Ar Rahmah” yang menggerakkan segala perasaan luhur dan terpuji serta berbagai faktor –faktor pendorong dan motiv manusiawi, menghubungkan serta menyatukan yang kuasa dengan yang lemah,yang kuat dengan yang lemah dan yang jauh dengan yang dekat sehingga masing-masing pasangan punya kesabaran dan ketabahan dalam melindungi patner pasangannya. Seperti senantiasa siap mendampingi pasangannya untuk mengorbankan jiwa raga serta hartanya guna menebus segala gangguan, penderitaan, sakit atau kekurangan harta dan jiwa, bersikap murah hati dan toleran bila terjadi kekhilafan yang terkadang menuntut mencurahkan daya upaya yang tidak mampu ia pikul sendiri sehingga mendorong menarik “belas kasih” dari yang lain untuk berpartisipasi “serasa dan sepenanggungan” dan turut meringankan segala beban yang memberatkannya.
“Ar Rahmah” atau “kasih sayang” adalah suatu hal yang signifikan dalam kehidupan pasangan berumahtangga dan menjadi faktor vital dari faktor –faktor kebahagiannya.karena perasaan ini akan senantiasa meletakkan manusia untuk mengambil pilihan berkasih sayang,berbuat baik dan berdedikasi serta belas kasih penuh simpati acap kali badai kehidupan datang mengancam .[23]
Perundang-undangan Islam tidaklah memerintahkan berumah tangga dan menikah serta tidak menekankan anjuran untuk membina mahligai rumah tangga melainkan karena pernikahan merupakan satu-satunya jalan lempang untuk meraih kehidupan yang nyaman dan bahagia lantaran ikatan ini mengakomudir baik bagi laki-laki dan perempuan kehidupan yang didominasi dan diliputi nuansa rasa ketentraman jiwa , suasana ketenangan hati serta kehidupan yang dipenuhi nuansa saling percaya diri . Disamping itu juga karena pernikahan merupakan satu-satu jalan yang akan menjamin terajutnya cinta kasih yang tulus dan kecintaan yang benar antara mereka berdua sebagai dasar –dasar ikatan kuat bagi hubungan mereka.Pernikahan juga satu-satunya jalan yang akan menjamin terciptanya rasa saling menyayangi antara mereka , tolong menolong dan gotong royong di waktu suka dan duka. Bila suatu kehidupan berjalan serta berbasis pada perasaan –perasaan sedemikian ini semua, maka sudah tentu kehidupan manusia menjadi baik dan penuh keberkahan baik bagi pemiliknya maupun bagi kaumnya.[24]
PASAL PERTAMA
PRINSIP-PRINSIP DASAR MEMBINA RUMAH TANGGA
BAB INI MEMUAT EMPAT SUB POKOK BAHASAN
PEMBAHASAN PERTAMA : MEMILIH WANITA YANG TAAT BERAGAMA DAN BERAKHLAK MULIA.
PEMBAHASAN KEDUA : HAK OTORITAS WANITA MEMILIH CALON SUAMINYA.
PEMBAHASAN KETIGA : PERMASALAHAN MEMINANG
PEMBAHASAN KEEMPAT : PERMASALAHAN KAFA’AH & KESEPADANAN
KATA PENGANTAR
Pernikahan adalah akad perjanjian dan ikatan yang sangat tinggi kedudukannya dan agung sekali nilainya bukan suatu akad dan ikatan ‘main-main” dan aksidentiel serta bukan suatu ikatan” persahabatan bebas terlepas” tidak berdiri di atas suatu prinsip dasar serta tidak terikat dengan suatu ikatan.
Pernikahan bukanlah akad perjanjian sambil lalu dan bukan pula suatu ikatan yang bersifat temporer serta cepat berakhir. Tetapi pernikahan adalah akad yang erat sekali hubungannya dengan kehormatan manusia dan menjadi basis – sentral terwujudnya berbagai kemaslahatan dan kemuliaan. Akad ini ditujukan untuk melestarikan dan menjaga kelangsungan hubungan antara pasangan serta partisipasi mereka bersama dalam urusan kehidupan.
Akad perjanjian dengan karakteristik dan tingginya signifikansinya seperti ini tentu mengehendaki masing-masing pihak yang mengikatkan diri dapat menikmati keinginannya , kebebasan memilih sepenuhnya lebih yang didapat oleh dua pihak dalam kontrak perjanjian lain. Tak ada seorangpun memiliki otoritas untuk memaksakannya dalam ikatan perjanjian ini atau mempertautkan hubungan dengan orang yang tidak diinginkannya . ……………….. Tidak ada otoritas pasti yang mengikat dirinya dalam akad perjanjian sedemikian kecuali keimanannya, aqidahnya serta situasi kondisi yang hanya dirinya yang lebih tahu pasti dengan syarat tidak melanggar hak-hak orang lain dan tidak beritikad menyalahgunakan hak ini. sebaliknya berniat untuk meraih kebaikan dan berkonsistensi di jalan yang lurus.
Pernikahan menurut Islam adalah akad perjanjian antara dua calon mempelai laki-laki dan perempuan untuk membina rumah tangga, diawali dengan menjalin hidup bersama sampai batas waktu lebih dari kehidupan pasangan tersebut, suatu kehidupan yang melibatkan pemikiran, akal budi dan perasaan mereka guna menjamin kehidupan mereka bersama, cita-cita , harapan dan masa depan mereka dalam menghadapi kesulitan dan romantika kehidupan dari rantai kehidupan dan suka dan duka yang mengirinya.
Seberapa kadar kuat-lemahnya ikatan perjanjian itu dibuat, sejauh itu pula berbagai penderitaan dan prahara kehidupan nyata yang terjadi dapat terpecahkan serta gampang terantisipasi dan tersingkirkan.Bila ikatan yang mengikat pasangan hidup lemah dan rapuh atau bahkan tidak ada sama sekali bisa dipastikan kemelut hidup akan tetap senantiasa mengoncang kehidupan mereka dan bisa jadi akan meretakkan serta meluluhtantakkan kehidupan rumah tangga.
Oleh karena itu Islam memagari lembaga rumah tangga ini dengan berbagai perundang-undangan secara komplek yang akan menjamin kekekalan , keutuhan serta survivelnya (kelangsungan hidupnya) bila manhaj Islam mendapat porsi perhatian penuh oleh pasangan dalam membentuk institusi ini dan menyiraminya dengan cinta kasih dan kasih sayang.
Islam dengan perundang-undangannya yang tinggi dan sistemnya yang komprehensip telah menaruh bagi setiap pasangan norma-norma dan hukum-hukum sekira mereka mau mengambil petunjuknya dan berjalan di jalannya maka kehidupan pernikahan dipenuhi kasih sayang , keharmonisan.dan kehidupan putra dan putrinya dalam keluarga akan memiliki kwalitas keimanan yang kuat, badan sehat ,akhlak mulia,serta memiliki mental yang matang , jiwa tenang dan stabil.
Islam juga telah menaruh prinsip-prinsip dasar “hak kebebasan memilih pasangan ” bagi dua pihak yang melakukan ikatan “perikatan ini” .yang sekira prinsip ini benar-benar diperhatikan maka mahligai rumah tangga akan bisa kokoh dan sehat. Dalam pasal ini kami akan memaparkan prinsip-prinsip yang ideal dalam memilih calon istri , tata cara kenal – mengenal antara calon suami dan istri pada fase proses peminangan , pandangan Islam tentang perlunya pertimbangan wanita dalam legalitas akad pernikahan dan konsistensi Islam tentang perlu adanya kafaah ( kesepadanan) antara kedua calon mempelai.
PEMBAHASAN PERTAMA
MEMILIH WANITA YANG PATUH BERAGAMA
DAN BERAKHLAK
Diantara perangkat norma dan aturan hukum yang diletakkan Islam untuk melestarikan kehidupan rumah tangga , menjaga keutuhan serta kekekalannya, menegakkan pilar-pilarnya dan keselamatan konstruksi bangunannya adalah memberi hak kewenangan calon suami untuk memilih calon istrinya sesuai manhaj (jalan) atau ajaran Al Qur’an dan As Sunnah . Tema ini kami uraian dalam dua sesi pembahasan.
PERTAMA : PRINSIP – PRINSIP DASAR MEMILIH CALON ISTRI MENURUT AJARAN AL QUR’AN.
Allah SWT berfirman:
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا(التحريم : 5)
Artinya:” Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang ta`at, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.( QS : At Tahrim : 5)
Karena istri merupakan pondasi pokok bagi kehidupan rumah tangga yang tenang , aman kekal serta harmonis , maka ayat al Qur’an ini menjelaskan urgenitas kriteria-kriteria calon istri yang harus menjadi pilihan orang laki-laki yang hendak dinikahinya dan menjadi fokus perhatiannya.
Berawal mensinyalir kriteria “ Islam”( (مُسْلِمَاتٍ yang berarti kepatuhan dan ketundukan .Sebagaimana halnya loyalitas pada otoritas kepemimpinan yang bijaksana yang berbasis pada hukum-hukum Allah akan bisa merealisir kemaslahatan individu dan masyarakat.Maka demikian halnya calon istri memiliki loyalitas dan ketaatan kepada Allah dan RasulNya serta menjaga perintah –perintah agamanya maka ia akan mudah dan terasa ringan untuk mentaati suaminya dan senantiasa mematuhinya dalam segala urusan kecuali bila ia memerintahkannya berbuat maksiat durhaka kepada Allah dan RasulNya .Tentunya dia tidak akan mentaatinya.
Kemudian kriteria “beriman kepada Alah” (مُؤْمِنَاتٍ ( yang akan memenuhi hati dengan cahaya petunjuk dan keyakinan.yang menjadi pangkal akar ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT , sumber penggerak amal perbuatan yang diringi keikhlasan , kerelaan dan ketenangan hati pelakunya .tanpa ada unsur riya dan pamer ketaatan.
Sementara kriteria “ qunut [25]“ kepatuhan ” ( قَانِتَاتٍ ) hati akan melahirkan segala perbuatan dan sikap yang baik dan indah [26]dan sifat/ kriteria taubah[27] (تَائِبَاتٍ (yakni rasa penyesalan atas kemaksiatan yang terjadi dan kemauan menuju ketaatan. Calon istri yang memiliki karakter sediemikian ini memungkinkan ia memiliki kiat untuk meraih kembali sesuatu yang terabaikan dan melakukan perbuatan ,kebiasaan yang baik, baik secara materil maupun spirituil demi kebaikan suaminya, individu-individu keluarganya maupun masyarakatnya. Adapun wanita yang bersikap masa bodoh dengan kesalahannya, biasanya kurang peka dan buta sama sekali terhadap prilaku atau kebiasaan yang utama, semena-mena serta suka berdalih dalam setiap kesalahan yang diperbuat. Oleh karena itu wanita seperti ini tak bisa diharapkan segera menyadari atau berhenti dari kesalahan dan akibatnya sangat membinasakan bagi dirinya sendiri, suaminya, keluarga dan masyarakatnya. Allah berfirman :
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Artinya : “Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya (QS : Al Fathir : 8)
Kriteria “ ahli al ibadah “ [28]dalam firman Allah عَابِدَاتٍ (wanita-wanita ahli ibadah) . Ibadah merupakan ikatan kuat yang mempertautkan hamba dengan Allah SWT , mendekatkan diri dan berserah diri sepenuhnya kepadaNya.
Kriteria “ As siyahah” dalam firmanNya سَائِحَاتٍ berarti suka berfikir, memikirkan ayat-ayat kebesaran Allah yang bertebaran di semesta nan luas tak terbatas dan memikirkan dilalahnya,dan berbagai proses yang menyingkapkan rahasia-rahasinya.[29]
Dan firman Allah SWT. ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا} { yakni diantara mereka itu ada yang dari kalangan wanita janda dan masih gadis perawan . Penyebutan hiterogenitas demikian dimaksudkan untuk lebih mengakomudir keinginan. Karena kemajemukan adalah tabiat yang disukai jiwa manusia. Oleh karena itu Allah berfirman : ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا“yang janda dan yang perawan” [30]
Sifat dan kriteria-kriteria ini meski berkaitan masalah aqidah, ibadah kepada Allah dan memikirkan ayat-ayat kauniyah , namun pengaruhnya sangat signifikan kembali kepada kehidupan manusia sendiri.Sesungguhnya bisa dipastikan semua perbuatan manusia baik laki-laki maupun perempuan terwarnai dengan sifat dan kriteria tersebut. Semua sikap dan prilaku sehari-hari akan mencerminkan kuat lemah imannya pelakunya.Hal ini terjadi karena Allah SWT telah menggariskan di dalam Al Qur’anul Karim tata cara hidupnya dan macam hubungan mu’amalat antara sesamanya, yang termanifestasikan dalam kehidupan sunnah NabiNya. Oleh harena itu barang siapa patuh dan konsisten dengan tata cara Al Qur’an dalam mua’amalat (bertindak) antara individu sesamanya, berarti ia telah mentaati Allah dan Rasulnya. Sebaliknya barang siapa menyalahi tata caranya dalam segala prilakunya dan menganggap asing, berarti ia telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya dan itu merefleksikan kelemahan imannya.
Al Qur’anul Karim telah menjelaskan ragam hubungan yang harus menjadi prinsip dasar kehidupan pasangan berumah tangga. Laki-laki adalah “Qowwamun” tulang punggung bagi kaum wanita.Maka mereka punya hak otoritas ditaati istri kecuali bila memerintah durhaka kepada Allah dan RasulNya, disamping berkewajiban mempergauli istri dengan baik atau menceraikan dengan baik-baik.
Seorang istri muslimah,mu’minah dan qonitah (patuh suami) dialah wanita yang akan mampu menjadi pendamping setia suami sepanjang hidupnya sejalan dengan perintah Allah SWT dan Sunnah RasulNya.Dialah sosok wanita yang memiliki potensi intelektual dan daya nalar yang cukup matang untuk memahami kedalaman jiwa manusia. Ia punya kemampuan mengaudit dan memahami lawan jenisnya . Ia dapat mengenal berbagai sisi kejiwaan suaminya dan cara pendekatannya sehingga dapat memperlakukan cara yang dapat menciptakan kemaslahan dan kebaikan kehidupan mereka berdua.
Seorang calon suami dalam memilih calon istri hendaknya punya perhatian serius terhadap berbagai kriteria-kriteria dan aspek-aspek yang biasanya menarik kaum laki-laki merasakan tenang dalam kehidupan berumah tangga.. Karena ini merupakan factor fundamental dalam kehidupan berumah tangga dan factor utama terwujudnya kebahagiaan suami istri. Diantara aspek –aspek yang menyamin ketenangan dan ketentraman hidup adalah calon istri adalah wanita berakhlak mulia pernah mengenyam dan mempeoleh pendidikan yang baik, ia punya kesiapan dan kemampuan mempergauli pasangannya dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga.,ia wanita penyayang dan suka disayangi sehingga muncul dari dirinya cinta timbal balik “Mutualisme love” Dan ini adalah bukti adanya rasa saling membutuhkan satu sama yang lain yang akan menubmbuhkembangkan hubungan naluriyah dalam kehidupan jiwa mereka .sehingga bahtera kehidupan rumah tangga mereka benar-benar berbasis pada (mawaddah)”cinta” dan (Ar Rahmah) “ kasih sayang” yang Allah jadikan sebagai pilar –pilar kehidupan rumah tangga. Allah SWT telah menaruh pada hati masing-masing pasangan rasa menyayangi dan merindukan terhadap pasangannya ..Suami memberikan cinta dan kasih sayangnya sepenuhnya demikian juga yang dilakukan oleh istri . [31]
Allah berfirman :
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة :21)
Artinya :” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS : Ar Rum : 21)
KEDUA : PRINSIP – PRINSIP DASAR MEMILIH CALON ISTRI DALAM PERSPEKTIF AS SUNNAH
Rasulullah SAW. menjelaskan kriteria-kriteria yang biasa menjadi dasar wanita dinikahi dan menegaskan sifat atau criteria utama yang harus dipilih serta membuat norma fundamental dalam memilih calon istri.
Dririwayatkan dari Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW bersabda :
تنــكح المرأة لا ربـــع : لمـالها ، ولحسـبها [32] ولجمـالها ولد ينها فا طفــر [33] بـذات الدين تربت يداك [34]
Artinya :” Wanita dinikahi karena empat perkata ; karena hartanya , karena kedudukannya, karena kecantikannya dan karena agamanya; hendaklah engkau memilih yang beragama , niscaya engkau berbahagia”
Hadist Rasulullah SAW ini memuat aspek-aspek dan kriteria wanita yang patut dinikahi bagi yang berminat menikah . Beliau membatasi dan mengidentifikasi pada empat aspek pilihan.
Kriteria opsi Pertama : keberadaan wanita calon istri seorang yang memiliki kekayaan,. Ia adalah wanita kaya atau seorang hartawan. Hal ini akan membantu kelangsungan hidup rumah tangga dan memungkin dapat menghindarkan keretakan rumah tangga yang terjadi akibat himpitan ekonomi. Ini bukan merupakan sifat dan criteria prasyarat mutlak pilihan yang diperhitungkan dalam hal memolih wanita meski keberadaannya lebih utama dari pada tidak . Namun pernikahan itu sendiri ,sebagaimana Allah eskpos dalam FirmanNya merupakan jalan dan proses untuk memperoleh kekayaan . Allah berfirman:
فانكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ )النـور : 32)
Artinya : . Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. (QS : An Nur : 32).
Konon tatkala ayat ini terdengar oleh Abu Bakar Siddiq RA., ia berkaata,” Patuh kalian semua kepada Allah dalam perihal perintah Nikah, niscaya Ia akan memenuhi janjinya memberi kekayaan kepada kalian semua [35]
Kriteria opsi kedua : Hasab ( keturunan,kedudukan atau/status sosial ) wanita calon istri.. Hasab berarti kehormatan keluarga baik dari status sosial warisan nama baik orang tuanya maupun yang mereka peroleh sendiri. Anggaplah bila wanita tersebut berasal dari nasab keturunan yang baik-baik dan keluarga bangsawan terpandang, tentu akan menjadi daya pikat laki-laki untuk menikahinya. Jika kebangsawanan dan status sosial ini tidak punya akar sama sekali dalam keluarganya, tetapi mereka telah berjasa melakukan amal kebajikan, berperangai mulia ,berprilaku baik maka itu merupakan kehormatan yang batangkali melampaui statuts kebangsawanan atau keningratan dan kebanggaan keturunan dan akan menjadi faktor pilihan kreteria terpenting yang menjadi motiv menikahinya.
Kriteria opsi ketiga : Kecantian calon Istri : yaitu bentuk penampilan / performance luar seorang wanita baik berupa kecantikan paras wajah dan kesempurnaannya atau kemontokan tubuh serta pesona perawakannya.
Rasulullah SAW. telah menyuruh berhati-hati agar kita jangan menikah karena salah satu dari tujuan-tujuan lahiriyah tersebut dengan menjelaskan alasannya sekaligus.
Wanita cantik bisa jadi kecantikannya akan menyeretnya dalam jurang fitnah kecuali memang Allah memapagarinya dengan karakter iffah (menjaga kesucian diri ), kemulian hati dan keutamaan.jiwa. Kekayaan bagi wanita jika tidak dihiasi akhlak yang mulia salah-salah akan mendorong dirinya berbuat semena-mena terhadap suaminya, merubahnya berwatak liar berbuat semaunya dan sewenang-wenang yang akibatnya akan mengeruhkan kejernihan hidup pasangan dan mengamcam eksistensi keluarga. Demikian halnya wanita bangasawan bisa jadi status social keluarganya akan menjadi pemicu bersikap congkak dan berbuat sewenang-wenang terhadap suaminya.
Karena itulah Nabi SAW. – dalam hal berkaitan dengan membentuk keluarga dan membina rumah tangga- menganjurkan memilih bibit wanita yang baik , yaitu menjatuhkan pilihan wanita-wanita yang berakhlak dan yang patuh beragama. Beliau bersabda :
فا طفــر بـذات الدين “maka pilihlah wanita yang patuh beragama”
Kriteria opsi keempat “kepatuhan agama calon istri “ Rasulullah SAW telah menilai opsi ini sebagai pilihan utama dalam prinsip-prinsip memilih calon istri. Karena wanita patuh beragama meski tidak memiliki kecantikan yang memadai - dan ini adalah masalah subyektif dan relative dimana masing-masing orang punya penilaian yang berbeda - namun ia mempunyai sisi kelebihan baik berupa kebaikan kepribadian, hatinya serta prilakunya. Oleh karena itu Rasulullah bersabda
فا طفــر بـذات الدين تربت يداك
Artinya :” hendaklah engkau memilih yang beragama , niscaya engkau berbahagia”
Di sini Rasulullah SAW. menganjurkan untuk mengutamakan wanita yang patuh beragama, meski tidak memiliki criteria –kriteria yang menjadi daya tarik menikahinya pada umumnya.
Tiga criteria pertama yang menjadi daya tarik wanita meski mendominasi pada dirinya-.betapapun cantiknya, bagaimanapun hasab (status sosial nasabnya), indahnya postur dan penampilan tubuhnya- namun semua itu semua hanya sebagian perhiasan (asesoris) kehidupan dunia.Dan sudah dimaklumi dalam realitas kehidupan sehari-hari kita, bahwa itu semua tidak akan bersifat permanen . Harta kekayaan betapapun banyaknya , niscaya juga akan habis dan binasa.. Hasab (kebangsawanan) semata terkadang mendorong wanita berbuat sewenang-wenang pada suaminya. Sementara kecantikan lahiriyah tidak akan bisa berlangsung lama sebaliknya akan mudah layu bahkan cepat redup . Adapun kepatuhan beragama akan kekal abadi, mempunyai kesan dan pengaruh yang baik, bau yang harum hingga setelah meninggal dunia akan tetap menjadi memory dan kenangan sepanjang masa.
Oleh karena itu, Rasulullah memperingatkan agar tidak menikahi wanita yang kurang berpegang teguh pada nilai- nilai agama, meski memiliki tiga kriteria pertama dan lebih menekankan memilih wanita yang patuh beragama meski kurang dalam tiga criteria tersebut.
Adapun sekira criteria “ketaatan beragama” dalam diri seorang wanita menyatu dengan tiga criteria tersebut atau bersama dengan salah satunya, maka tidak terlarang menikahinya. Sebaliknya itu adalah suatu nilai lebih bila seorang wanita disamping taat beragama, ternyata juga berharta, cantik atau dari keluarga bangsawan. Adapun yang dilarang bila pilihan hanya wanita berkriteria tiga aspek tersebut tanpa mengindahkan aspek keagamaanya.
Dialah Ummul Mukminin Sayyidah Khodijah RA telah menjadi pelindung Rasulullah SAW, tambatan hati ,persinggahan dan tempat yang memberi keteduhan bagi beliau. Keakrabannya dengan Ralullah SAW semasa hidupnya telah meninggalkan kesan yang mendalam di hati beliau membuat beliau senantiasa mengenang segala kebaikannya. Sehingga hal itu mengundang perhatian istri-istri beliau dan memicu kecemburuan padahal ia sudah berada di hariban ilahi memperoleh keridlaanNya. Namun keharuman tingkah laku dan prilakunya yang mulia masih terasa dan terhirup oleh suaminya , baginda Nabi hingga akhir hayat beliau.
Imam Bukhori meriwayatkan dari Ummil Mukminin “Aisyah RA, sesungguhnya ia berkata:
ما غر ت على إمرأة للنبـى ما غرت على خـديجة هلكت قبل أن يتزوجنى بثلا ث سنين ، لمـا كنت اسمعـه يذكرها ولقد امـر ربـه عـز وجل أن يبشرها ببـيت من قصب فى الجنـة ، وأن كان ليـذبح الشاة ثم يهـديها الى خلا ئلها [36]
Artinya :”Tidaklah aku cemburu terhadap istri Nabi lebih dari yang aku rasakan terhadap Khodijah padahal ia sudah meninggal dunia selang tiga tahun sebelum beliau menikahiku tatkala aku mendengarnya menyebut-nyebutnya dan mengenangnya , bahwa Allah telah memerintah beliau menggembirakannya dengan istana dari emas di surga dan menyembelih kambing kemudian menghadiahkan kepada kerabat-kerabat dekatnya. (dikeluarkan oleh Imam Bukhori).
Rasulullah SAW. telah menekankan untuk memilih wanita yang taat beragama dan melarang memilih calon istri dari wanita hanya karena sisi kecantikannya semata, tanpa memperhatikan sisi agamanya. Padahal sisi agama inilah yang akan banyak berperan menghindarkannya dari berbagai tindakan yang salah dan membentengi dari prilaku-prilaku syaitan. Wanita patuh beragama akan menjadikan kecantikannya dan keindahan tubuhnya sebagai kenikmatan spesial untuk suaminya bukan laki-laki lain.Tak sanksikan hal ini akan menciptakan ketenangan jiwa suaminya, kenyamanan dan ketentraman.. Wanita taat beragama akan bersikap dan berprilaku dalam berhias atau berpakaian dalam batasan-batasan hukum syariat. Bila istri kurang taat beragama dan sangat lemah sekali pengaruhnya dalam dirinya, maka ia akan sembrono dan kurang peduli bagaimanaia cara berhias dan berpakaian ketika bersama kerabat muhrimnya dan bukan muhrimnya. Bahkan boleh jadi ia tidak peduli kejiwaan suaminya dan kecemburuannya yang menyebabkan keadaan rumah tangga mereka menjadi goncang , serta hubungan interaksi suami istri tersebut menjadi pudar serta melemah.. Kehidupan mahligai rumah tangga mereka melewati hari-harinya penuh dengan kemalangan dan kesengsaraan akibat istri terus menerus dalam kesesatannya.
Dalam pranataan sedemikian ini ada upaya pemeliharan agar kebahagian kehidupan rumah tangga suami istri diliputi dengan saling percaya dan kerelaan.
Itulah Islam dengan petunjuk-petunjuknya yang memperkokoh tali ikatan pasangan berumah tangga dari sekian banyak kaum wanita yang jauh dari manhaj Islam saat mereka keluar rumah menuju tempat kerja atau saat memenuhi kebutuhannya.Begitu mereka pulang ke rumah mereka menanggalkan semua perhiasan mereka. Profil istri seperti ini akan menjadi cambuk yang menyiksa jiwa suaminya. Ia tidak pernah merasakan kenyamanan hidup, meski beragam fasilitas hidup bisa diraih dan ia nikmati. Tidak diragukan lagi dalam hal ini bahwa berumah tangga adalah hak independen setiap individu. orang.- baik laki-laki maupun perempuan- Seorang muslim tidak boleh turut bersama dalam hak ini dengan bentuk , cara dan alasan apapun.serta tidak boleh masuk dalam wilayah personal ini. Seorang lelaki muslim tidak akan rela melihat istrinya serong dengan lelaki lain atau mendengar bercengkrama bercanda ria dengan seseorang atau ngobrol, ia merasa sedih dan sengsara bila hal sedemikian terbayang di dalam benak pikirannya meski tidak mendengar dan melihat sendiri..
Oleh karena itu Rasulullah SAW memberi anjuran agar seseorang memilih wanita yang teguh beragama karena ia akan lebih memelihara diri dan jiwanya lebih terasa anggun cantik mempesona serta lebih menjaga kebutuhan-kebutuhan psikologis suaminya.
عن عبد الله بن عمـرو ابن العاص رضى الله عنه أن رسو ل الله قال : الدنيا متـاع وخير متاعها المر أة الصا لحة[37]
Artinya :” Dari Abdullah bin Amru bin Ash RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “ Dunia adalah perhiasan dan sebaik –baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah.”
Makna yang dimaksud penghulu para utusan SAW ini bertendensikan bahwa kaum muslimin dalam membina rumah tangga hendak menekankan untuk memilih istri yang sholehah lantaran ia akan membantu suami dan banyak memberi konstribusi besar dalam urusan –urusan terberat mereka.dan pilihan itu adalah wanita yang berpegang teguh pada agama.. Ia juga akan mampu mentransformasikan kepada putra putrinya kepribadian yang santun lagi luhur dan nilai-nilai keutamaan.Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat menganjurkan untuk memilih wanita yang patuh beragama.
Beliau SAW juga bersabda :
لا تـزوجوا النساء لحسنهن فعسى حسنهن أن يرديهن و لا تزوجوهن لاموالهم قعسى أموالهم أن تطغيهن ولكن تزوجوهن على الدين ولامة خرماء [38] سوداء ذات دين أفضل[39]
Artinya :”Janganlah kamu sekalian menikahi wanita karena kecantikannya, karena barang kali kecantikannya akan menjeremuskan diri mereka dalam kebinasaan dan jangan mengawini mereka karena harta kekayaannya , karena bisa jadi hartanya akan membuat diri mereka durhaka dan berbuat sewenang-wenang, tetapi kawinilah mereka karena agamanya dan niscaya wanita sumbing berkulit hitam legam tetapi patuh bergama akan lebih utama bagi kalian.”
Mengingat kriteria-kriteria wanita yang pantas dinikahi sebagaimana yang dijelaskan dalam surat At Tahrim dan kriteria- kriteria yang ditunjukkan hadist Rasulullah SAW tidak mengakumulasi sisi kecantikan, harta kekayaan dan kebangsawanan keluarga wanita secara terpisah (terlepas dari memandang sisi agamanya) , yang amat rentan menjadi biang petaka , memperburuk iklim kehidupan berumah tangga.,maka yang menjadi fokus perhatian dalam memilih calon istri harus wanita yang beragama.Oleh kaena ketika seorang laki-laki menginginkan wanita yang beragama, lantaran agama dan akhlaknya maka ia terpacu konsisten dengan agamanya dan berhias diri dengan akhlak .
Dus jelaslah sudah sisi agamalah yang akan mengakumulasi segala kebaikan dan menjadi parameter yang paling utama untuk menilai kebaikan suami terhadap istrinya. Maka apatah kemudian peran fungsi harta kekayaan , kecantikan dan kebangsawanan ?
Tiga aspek tersebut secara alami merupakan permasalahan yang sering menarik hati manusia , memberi kepuasan naluri kebinatangan dan menyeret tabiat manusia hanyut dalam kecintaanya hingga melanggar batas-batas keutamaan dan menyingkirkan standar nilai-nilai kebaikan yang biasa terjadi pada suatu masa dan negeri yang terlepas dari faktor-faktor kemaslahatan umum dan kebaikan bersama tetapi lebih lekat pada kepentingan individual , egoisme personal, melampiaskan keinginan naluri hewani(super ego ) yang lambat laun menjadi menjadi standar nilai moral dan keutamaan bagi semua orang dan amal perbuatannya dalam segala lini urusan kehidupan termasuk urusan perjodohan dan pembentukan rumah tangga. Meski kriteria –kriteria ini umumnya tidak permanen – sering melepaskan pilar-pilar nilai kemanusian, mengonyang hak manusia dalam egaliteranisme ( persamaan derajat) dan dalam mendapatkan penghargaan serta tidak jarang menciptakan beragam kedzaliman ,kesewenang-wenangan, dan sifat egoitas diri pada diri sekelompok orang .- mereka umumnya yang memiliki harta kekayaan, kecantikan dan ketampanan sering terjangkiti beragam penyakit ; dengki , hasat, suka menjilat, penuh kepura-puraan atau congkak dan berbuat sewenang-wenang terhadap pihak kelompok lain .- mereka biasanya tidak memiliki salah satu dari aspek –aspek tersebut di atas . Suatu hal yang acap kali mengancam norma-norma kehidupan sosial dan menjadi biang dekadensi tatanan sosial dan keruntuhannya . Karena pengakuan standar-standar moral sedemikian berimplikasi fatal munculnya dilema psikologis dan ketidakpercayaan. Padahal secara “rasional- realistik” tidaklah setiap orang mampu menjadi orang cantik- tampan, kaya raya, memiliki hasab /kedudukan dan kekuasaan.[40]
Sesungguhnya setiap orang punya kesanggupan untuk menjadi orang berakal budi dan patuh beragama.Bila semua orang nyaris punya kesanggupan dan nilai-nilai keutamaan dengan berstandarkan pada parameter sedemikian itu, maka sudah dipastikan segala dilematika psikologis dan factor-faktor penyebab kerisaunnya akan hilang dengan sendirinya . Atmosfir lingkungan hidup mereka akan tumbuh berkembang dan terintregrasi utuh secara manusiawi dalam berbagai bidang kehidupan, terhindar jauh dari keburukan sifat egoisme, suka menjilat dan kedengkian.
Inilah tendensi Islam dalam menetapkan prinsip dasar memilih calon pasangan hidup dan pada gilirannya akan menjadi prinsip umum pula di segala aspek kehidupan yang Allah ciptakan sebagai ukuran tertinggi untuk mengukur perbuatan manusia, dasar penilaian serta kemulian mereka di sisiNya. Allah berfirman :
إ نّ اكرمكم عند الله اتقا كم ( الحجرات : 13 )
Artinya :” Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS : Al Hujurat : 13).
Adapun keterikatan pada aspek-aspek lahiriyah baik pada kekayaan, kecantikan dan kebangsawanan menurut kaca mata Islam cenderung akan menjauhkan manusia dari sosok personal empunyanya sendiri, karena hanya aspek-aspek itu saja yang secara otoritas menjadi ukuran harga diri dan kemulian menurut orang yang mencarinya.
Begitu aspek-aspek lahiriyah sedemikian ini pudar dan berakhir, atau unsur ketergantungannya diri lenyap ( seiring meredupnya aspek-aspek tersebut), maka orang tersebut tidak memiliki kemuliaan dan tidak punya harga diri sama sekali. Adapun agama dan akhlak akan koheren dan lekat dengan empunyanya dan menjaganya dari segala bentuk perubahan kecuali menuju ke arah yang lebih baik sejalan dengan perjalanan waktu , merubah kesenangan dan kecendrungan instincknya ke arah suatu yang bermutu serta mengandung kemaslahatan bagi individu, keluarga dan masyarakatnya. Sang empunyanya sebagai sosok yang utuh berintegritas tinggi dan mempunyai potensi-potensi yang saling mendukung itu berkiblat pada titik sama yaitu mewujudkan kebaikan bersama.Maka tak mengherankan sama sekali,bila kita dapati Islam melarang terhadap ketergantungan tersebut, terlepas dari keterikatan unsur agama , moral, nilai – nilai dan prinsip-prinsip hidup yang ada di dalamnya tetapi sebaliknya menyerukan agar integritas personal pada agama ini dijadikan tolok ukur umum menilai kebaikan , berkwalitasnya kehidupan pasangan berumah tangga serta kemuliannya. Itulah apa yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabat beliau – secara praktis - saat suatu kali seorang sosok laki-laki lewat di depan beliau sebagaimana hadist berikut :
مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ[41] إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ يُسْتَمَعَ ثُمَّ سَكَتَ فَمَرَّ رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لَا يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لَا يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ لَا يُسْتَمَعَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
Artinya :Konon seorang laki-laki melintas di depan Rasulullah SAW, seraya beliau bersabda,” Apa pendapat kalian tentang laki-laki seperti ini ? Mereka berkata,” layaknya orangk ini sekira ia melamar niscaya akan diterima, bila mencari jodoh niscaya akan mudah mendapatkannya , bila berkata pasti didengar orang.Lalu beliau diam sejenak. Kemudian lewatlah seorang laki-laki dari golongan miskin kaum muslimin , seraya beliau berkata,” Apa pendapat kalian perihal laki-laki ini ? “ Mereka berkata,” Pantasnya orang ini sekira ia melamar tak mungkin diterima, bila menginginkan jodoh pasti sulit dan bila berkata tak akan didengar orang. Lalu Rasulullah SAW berkata,” Ketahuilah laki-laki ini nilainya lebih baik dari segala yang ada di permukaan bumi.” [42]
Dari sini jelaslah bahwa Islam membatalkan tolok ukur jahiliyah dan pertimbangan-pertimbangann orang-orang bodoh yang mengukur kemulian orang, keagungan martabatnya serta kepantasan orang untuk dijadikan pasangan hidup berumah tangga dengan ukuran harta atau kedudukan /pangkat jabatan, atau kecantikan dan kebangsawanan, disaat yang sama mereka menolak kompleksitas subtansi keagungan, kemuliaan, ukuran kepantasan yang sebenarnya dalam mencari pasangan dan tolok ukur keutamaan , kemulian dan memilih pasangan.
Dengan ini pula Islam menegakkan barometer yang benar untuk menciptakan kebahagian hidup serta menyelamatkan manusia dari kejahatan jiwa ,arogansi kebanggaan kekayaan, kedudukan, egoisme kecantikan dan ketampanan. Ini juga tolok ukur yang adil tanpa diperdebatkan, Suatu keadilan yang penentunya memutuskan manusia secara obyektif , menurut kadar kemampuan mereka dan apa yang mereka lakukan.bukan menurut beban yang ia wajibkan serta apa yang takdirkan atas diri mereka atau situasi yang memaksa mereka. Keadilan ini menuntut untuk tidak mengukur seseorang dengan ukuran kekayaan, kedudukan ataupun kecantikan dan ketampanan, tetapi dengan kadar kemampuan kebaikan akal budinya , berinteraksi hubungan dengan sesamnya dan mempergauli mereka, dengan kadar potensi mewujudkan kebaikan dan kebahagiaan untuk dirinya dan orang –orang yang bersamanya dan menghindarkan mereka dari gangguan dan keburukan.
Adakah suatu tolok ukur yang sangat akumudir sedemikian selain tolok ukur agama ini . Agama yang menilai masing-masing orang menurut kadar kemampuannya dan nilai-nilai keutamaan-yang dapat ia wujudkan ini membuka kesempatan peluang yang sama di depan semua manusia. Allah berfirman :
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى (سورة البقرة : 197)
Artinya :” Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. ( QS : Al Baqoroh : 197)
وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْر(سورة الاعراف : 26)
Artinya : “ Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS : Al A’rof : 26)
Agama menumbuhkembangkan setiap gender dari pasangan menurut perhitungan individu dan kelompoknya dan menyatukan antara akal pikiran dan gagasan, antara arah dan tujuan atau sasaran, menyingkirkan segala bentuk konfik yang muncul karrena perbedaan latar belakang pendidikan masing-masing baik dalam berfikir dan berprilaku, menghidupkan berbagai faktor yang menciptakan kerja sama , cinta dan kasih sayang serta membangkitkan daya kemampuan untuk mengarungi berbagai kesulitan.hidup dan problematikanya dan mengatasil kesalahan-kesalahan kecil sehingga dapat manghimpun dan memadukan berbagai potensi kedamaian serta kesejahteraan untuk mendukung hubungan kehidupan pasangan berumah tangga dan interaksi sosial antara mereka.
Bila semua itu menjadi pertimbangan dan tolok ukur penilaiannya – dan harusnya memang demikian adanya - maka sudah tentu pandangan orang tidak hanya sekedar hasrat melampiaskan penyaluran ”Impulse Libido ( (Dorongan Seks) hewaniyah” tetapi lebih dari itu yaitu memenuhi tugas kewajiban menegaskan pengertian nilai-nilai kemanusiaan dan karakteristiknya dalam hubungan laki-laki dan perempuan dengan bertolak dari berfikir tentang “berumah tangga”, maka pola pandangnya tidak hanya terbatas pertimbangan segi-segi materiil lahiriyah semata, tetapi pertimbangan jaminan-jaminan keserasian, keharmonisan hidup pasangan berumah tangga dan kestabilan mental . Standar jaminan sedemikian ini tidak ada perbedaan di kalangan orang- orang yang taat beragama. Penilaian ini menjadikan masing-masing pasangan suami istri punya kiat untuk menyenangkan dan membahagiakan pasangannya, menolak gangguan dan bahaya yang membahayakannya sebagai manifestai penghambaan diri kepada Allah dan ketulusan dalam kepatuhan terhadap aturan syariatNya bukan bersikap lunak terhadap instick nalurinya atau mengikti kehendak nafsu keinginannya.[43])
Untuk itulah maka Rasulullah menegaskan ajakan untuk memilih wanita yang taat beragama dan melarang mengabaikan standar ukur sedemikian. Rasulullah SAW bersabda :
من تـزوج امرأة لعـزها لم يـزد ه الله إلا ذلا ًّ ومن تـزوجـها لمـا لهالم يـزد ه الله إلا فقـرا ومن تـزوجها لحسبها لم يـزده الله إلا دنـاءة ، ومن تـزوج امـرأة لم يـرد بها إلا أن يـغض بصـره ويحصـن فرجــه او يصل رحمــه بارك الله له فيها وبارك لها فيه . [44]
Artinya :” Barang siapa menikahi wanita karena kemuliaannya, maka Allah hanya akan menambahkannya kehinanaan,barangsiapa menikahinya lantaran hartanya maka Allah akan menambahkan kefaqirannya, barang siapa menikahinya karena hasab (kebangsawannanya) maka akan Allah tambahkan kehinaan dan barang siapa menikahi wanita tidak menginginkannya melainkan agar bisa menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya atau menyambung persaudaraan (silaturrahmi) , maka semoga Allah memberkahi hidup mereka berdua karena satu dengan lainnya.” (Hadist dikeluarkan oleh Imam Thabrani).
Dari hadist tersebut di atas jelaslah Islam tidak menegakkan tolok ukur aspek lahiriyah tetapi selalu mengedepankan perhatian pada subtansi aslinya, karena Allah tidak melihat bentuk lahiriyah orang dan harta kekayaannya, tetapi hanya memperhatikan hati dan amal perbuatannya.
Tidak diragukan lagi bahwa membangun rumah tangga adalah usaha yang sangat signikan dalam eksistensi masyarakat sosial bahkan dalam eksistensi umat secara keseluruhan. Ia adalah konstruksi sebuah bangunan ,keselamatannya dan keutuhannya menjadi acuan keselamatan masyarakat sosial dan kemulian umat.
Bila dalam perencanaan membangun gedung-gedung, orang-orang sangat punya perhatian serius kualitas batu-batu yang digunakan, memilih letak dan posisi yang tepat disamping memilih bahan-bahan baku yang bermutu yang menjamin keselamatan, keutuhannya serta daya kekuatannya hingga batas waktu tertentu .
Bila membangun bangunan gedung yang terkomposisi dari batuan dan tanah liat, orang – orang sangat konsern sedemikian itu, maka perencanaan membangun bangunan lembaga rumah tangga dan keluarga yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan anak-anak mereka sudah tentu harus lebih membutuhkan kejelian dan seletifitas tinggi dan lebih layak memerlukan perbincangan dan pertimbangan . Alasan rasionalnya, karena bangunan batuan itu hanya berhubungan urusan duniawi yang bersiat fana’, sementara bangunan keluarga sangat erat hubungannya dengan kebahagian dunia yang rentang konswensinya hingga di akherat yaitu negeri keabadian.
PEMBAHASAN PERTAMA
HAK PEROGRATIF WANITA
DALAM MEMILIH CALON SUAMINYA
Dari keseriusan Islam menfasilitasi segala jaminan wajar untuk kebahagiaan wanita, keutuhan serta kekekalan rumah tangga, sampai kepada pemahaman kita dengan jelas bahwa Islam memberi kepada wanita keputusan akhir menerima atau menolak . Tidak ada seorangpun punya hak otoritas memaksakannya menikah dengan laki-laki yang tidak ia sukai karena kehidupan mahligai rumah tangga tidak mungkin tegak atas dasar pemaksaan dan paksaan, padahal Allah berfirman :
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
Artinya:” dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS: Ar Rum : 21).
Mustahil dan jauh panggang dari apinya cinta dan kasih sayang akan bisa terwujud dengan rasa kebencian dan keterpaksaan.
Kaum hawa telah memperoleh kebebasan dan kemuliaan dalam Islam dengan porsi yang cukup besar.Diantara hak-hak yang mereka peroleh ,paling menonjol adalah hak perogratif memilih calon suaminya. Islam memberi mereka hak menerima atau menolak siapapun pelamar datang mengajukan diri melamarnya dizaman saat mereka dipandang tak ubahnya barang dagangan dijual belikan dan tidak memiliki harga diri sama sekali. Dimasa sekarang ,meski Islam sangat konsern memelihara hak mereka ini, namun kita masih melihat bahwa ternyata sebagian orang tua yang bertindak semena-mena menikahkan putrinya tanpa memberikan kewenangan memilih atau dimintai persetujuan. Bahkan kita lihat pula tidak sedikit keluarga dengan cara paksa menikahkan putri-putri mereka dengan lelaki yang tidak mencintainya atau sebaliknya dengan apapun alasan dan keadaan apapun.
Begitu anak putri itu menentang, maka mereka menganggapnya keras kepala , tak tahu malu serta melanggar batas-batas kesusilaan dan tradisi turun maturun yang berlaku. Mereka dengan sengaja membuat dinding penghalang terhadap ajaran-ajaran Islam dan petunjuk Rasulullah yang menegaskan secara transparan bahwa pernikahan tidak akan syah tanpa persetujuan dan kerelaan wanita yang hendak dipinang.
Imam Bukhori meriwayatkan dari Ummu Salamah RA;
عن أم سلمة رضى الله عنها أن أبا هريرة حـدثها أن النبـى صلى الله عليه وسلم قال :" لا تنـكح الايم حتى تستأمر ولا تنـكح البـكر حتى تسـتأذن " قالو ا يارسول االله وكيف اذنها ؟ قال " ان تسكـــت "
Artinya :”Diriwayatkan dari Ummi Salamah RA bahwa Abu Hurairah menghabarkan kepadanya bahwa Nabi SAW bersabda ,” Janda tidak akan dikawinkan kecuali sesudah ditanya dan perawan tidak boleh dikawinkan kecuai sesudah diminta izinnya para sahabat bertanya,” Wahai Rasulullah bagaimana izinnya itu “. Beliau bersabda ,” Diamnya “ . [45]
عن عائشة رضى الله عنها قا لت :" سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الجارية ُينْكِحُهَا أَهْلُها أتُسْتـَـأْمَرُ امْ لاَ ؟ فقال الرسول صلى الله عليه وسلم : نَعَمْ تُسْـتَـأْمَرُ فقا لتْ عائشة : فقُلْتُ له فـَإنـَها تَسْتـَحْىِ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم فـذلك إذنـها ِإذَا هِـىَ سَكَتـَتْ
Artinya :” Diriwayatkan dari “Aisyah RA berkata,” Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang gadis perempuan yang dinikahkan keluarganya ,” adakah ia diminta persetujuannya atau tidak? Maka Rasulullah bersabda,” Rasulullah bersabda,” Ya ,dimintai persetujuannya maka “Aisyah berkata, aku katakan pada beliau, sesungguhnya dia pemalu, lalu Rasulullah SAW bersabda,” persetujuannya itu adalah bila ia diam.[46]
Al Ayyim, atau Atsayyib (janda) ialah wanita yang telah hilang keperawanannya sebab persetubuhan lewat perikatan akad yang syah atau rusak atau karena persetubahan yang dihukumi syubhat.[47]
Al Istikmar ( permintaan rekomendasi) yakni hendaknya wali wanita tidak mengakadkannya sebelum meminta perintah langsung darinya untuk menikahkannya.[48]
Al Bikr ( gadis perawan ) ialah wanita yang masih utuh selaput dara/hymen keprawanannya, atau mungkin telah robek dan hilang karena gerakan melompat yang fatal atau datang bulan (haidl) dalam hal sedemikian ini menikahkannya juga tidak syah sebelum diminta persetujuannya dan kerelaannya.Jika ia malu mengucapkannya maka untuk mengetahui persetujuannya cukup dengan diamnya karena diamnya itu merupakan bukti persetujuannya.
Dalam kitab Shohih Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi SAW, bersabda:
الاَيـِّـمُ اَحَـقُّ ِمنْ وَلِيـِّهَا وَالْبـِكْرُ تُسْـتَأْذَنُ فِى نَفْسِـهَا وَإذْنـُهَا صَمـَاتـُهَا
Artinya :” Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan perawan dimintai persetujuan tentang dirinya dan persetujuannya adalah diamnya.”
Dalam suatu riwayat beliau bersabda وَصَمَا تُهَا اِقْراَ رُهَا “diamnya adalah persetujuannya” dalam riwayat lain : إذنـها سـكوتها “izin atau persetujuannya adalah diamnya.”[49]
Imam Nawawi RA [50] dalam menjelaskan hadist ini berkata,” Ketahuilah bahwa lafadz اَحَـقُّ di sini mempunyai konotasi makna “musyarakat” atau “kebersamaan” , yakni dirinya punya hak otoritas atas diri sendiri dalam pernikahannya demikian pula walinya.Tetapi haknya lebih kuat dan dominan dari hak walinya . Oleh karena itu bila walinya berkeinginan mengawinkannya dengan laki-laki yang sekufu’ (sepadan) lalu ia membangkang maka tidak boleh dipaksakan. Sebaliknya bila ia sendiri berkemauan menikah dengan laki--laki sekufu’ (sepadan), sementara wali enggan menikahkan maka wali tersebut boleh dipaksakan. Jika ia tetap bersikeras maka hakimlah yang punya hak menikahkannya. Maka jelaslah hadist tersebut menegaskan keunggulan hak wanita atas walinya dalam pernikahan.”
Adapun sabda Nabi SAW, perihal gadis perawan ;
" لآ تـنكح البـكر حتى تسـتأن Tidaklah perawan dinikahi sebelum dimintai persetujannya.” Para Ulama berselisih pendapat dalam memahami maknanya. Imam Syafi”i , Ibnu Abi Laily , Imam Ahmad, dan Ishaq, dan lainnya berpendapat senada , bahwa permintaan izin dan persetujuan dari gadis perawan dalam pernikahan suatu yang diperintahkan. Bila walinya adalah ayah, atau kakeknya maka permintaan izin dan persetujuannya bersifat anjuran (lebih baik) . Sekira ia menikahkannya tanpa persetujuannya maka nikahnya syah karena kesempurnaan kasih dan sayang mereka.Imam Al “Auza’I , Abu Hanifah, demikian yang lain dari ulama Kufah berpendapat ,” Wajib hukumnya meminta persetujuan bagi semua gadis perawan yang sudah baligh lagi dewasa.” Adapun sabda beliau perihal gadis perawan :’ persetujuannya adalah diamnya.” mempunyai pengertian umum pada setiap gadis perawan dan setiap Wali serta diamnya sebagai jawaban persetujuaannya cukup difahami secara mutlak, dan ini adalah pendapat yang benar.Adapun gadis janda maka jawaban persetujuannya harus dengan lafadz yang diucapkan, tidak ada bedanya apakah walinya ayahnya sendiri secara langsung atau bukan.
Dan diantara penjelasan Imam Nawawi tentang Hadist ini, setelah mengamati berbagai referensi kita-kitab Fiqh petingan,” Jelaslah bahwa para ulama penganut madzhab mereka berselisih pendapat perihal “ urgensinya permintaan persetujuan gadis perawan yang sudah baligh’’ ke dalam dua varian .
Sebagian mereka berpendapat permintaan ayah atas persetujuan gadis perawan yang sudah baligh atau dewasa hanya bersifat “ Mustahab” atau anjuran oleh karena itu ayah dapat menikahkannya tanpa persetujuannya.[51]) Sesungguhnya permintaan persetujuan gadis perawan yang sudah baligh saat tidak adanya ayah ( selaku wali) adalah bersifat wajib hukumnya.
Pendapat kedua; mereka berpandangan bahwa permintaan persetujuan untuk setiap gadis perawan yang sudah baligh dihukumi wajib, berlaku bagi semua , baik ayah atau wali lainnya.[52])
Menurut hemat kami pendapat kedua yang lebih kuat, karena alasan-alasan yang kami kemukakan sebagai berikut :
Para pendukung pendapat pertama percaya sepenuhnya “ adanya keutuhan kasih sayang ayah dan kakeknya oleh karena itu tidak perlu adanya permintaan persetujuan gadis perwaliannya, padahal hal itu suatu yang belum dapat dipastikan dalam kenyataan factual. Meskipun secara rasional kita bisa membayangkan adanya kelekatan kasih sayang ayah dan kakeknya kepada putrinya. Tetapi azas semacam tidak bersifat permanen, sebaliknya dalam realitas kehidupan nyata sering kita jumpai sebagian orang tua yang bersikap keras dan otoriter . Mereka tidak punya rasa takut dan takwa kepada Allah di hati mereka, lebih cenderung dikuasai keinginan hawa nafsunya, kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi masyarakat mereka serta hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, hemat kami, permintaan persetujuan gadis perawan lebih memberikan jaminan dan meyakinkan Oleh karena “ Guru Pengajar kebaikan bagi manusia” SAW menjadikan persoalan sedemikian sebagai hak privat wanita, sehingga ayah atau walinya tidak bisa bertindak sewenang-wenang menentukan masa depan yang menyengsarakan hidupnya atau menikahkannya hanya untuk kepentingan pribadinya bukan untuk kepentingan dirinya.
Sesungguhnya bila kita mau membuka mata lebar-lebar mengamati fonomena kebanyakan factor utama terjadinya perceraian (talak) niscaya kita akan mendapatkan lebih sering dinominasi factor melanggar intruksi Rasulullah dalam memberi wanita hak untuk memilih calon suaminya.
Demikian jelaslah bagi kita bahwa wanita- janda ataukah gadis perawan- mempunyai kebebasan penuh menolak siapa laki-laki yang tidak ia sukai dan ayahnya serta walinya tidak punya hak sama sekali memaksakannya dengan pria yang tidak disukainya.
Oleh karena itu bila terjadi wali mengakad-nikahkan janda tanpa dimintai rekomendasi dan perintahnya atau perawan tanpa dimintai izin dan persetujuannya terlebih dahulu ,maka akad pernikahannya dibekukan menunggu pengesahan dari masing-masing secara langsung.
Demikian yang ditunjukkan oleh teks hadist Nabi shorih .
فقـد روى البـخارى عن خنساء بنت خـدام الانصاريـة أن اباها زوجها وهى ثيب فكرهت ذلك فـأ تت رسو ل الله صلى الله عليه وسلم :" فـرد نكا حها "
Artinya : Imam Bukhori meriwayatkan dari Khonsa’ binti Khuddam al Ansyoriyah, Bahwa ayahnya menikahkannya sedangkan ia seorang janda lantas ia kurang menyukai hal itu .kemudian ia mendatangi Rasullah SAW mengadukannya, maka Rasulullah SAW pun menolak dan membatalkan pernikahannya.[53]
Juga dalam suatu hadist Nabi lain, disebutkan;
أن فـتاة أتت النبى صلى الله عليه وسلم تشـكو إليه أن ابـاها زوجـها وهى كارهـة فخـيرها
Artinya :” Bahwa seorang gadis remaja datang kepada Nabi SAW mengadukan kepada beliau perihal ayahnya menikahkan dirinya padahal ia kurang menyukai , maka nabi memerintahkan untuk menentukan pilihannya.
Dan ini juga ditegaskan hadist Abdullah bin Buraidah RA :
عن عبد الله بن بريدة عن عائشة قالت : جاءت فتاة إلى النبى صلى الله عليه وسلم فقالت: إن أبى زوجـنى ابن أخيـه ليرفع بى خسيسته ، قال فجعل الامـر اليها فقالت : قد أجـزت ما صنـع أبى، ولـكن أردت أن تعـلم النساء أن ليس الى الا بـاء من الامـر شيئ
Artinya :”Diriwiyatkan dari Abdullah bin Buraidah dari Aisyah berkata : “Telah datang seorang gadis kepada SAW seraya berkata,”sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan saudara laki-laki sepupuku untuk menghilangkan kehinaannya” Abdullah berkata,”Maka Rasulullah pun memerintahkan gadis itu untuk mengambil sikap sendiri.” Lalu ia berkata,” Aku rela dengan apayang dilakukan ayahku, tetapi aku berkeinginan agar semua wanita tahu, bahwa orang tua/ayah tidak punya hak sedikitpun atas mereka”[54]
Ternyata gadis itu lebih memilih tetap melanjutkan pernikahan yang dilakukan ayahnya setelah Rasulullah SAW memerintahkan untuk memilih keputusannya sendiri. Jelaslah di sini ketinggian perundang-undangan Islam dan keagungannya.
Adapun permasalahan seorang ayah menikahkan” putrinya yang masih kecil “ sebelum menginjak dewasa tanpa persetujuannya maka di sini ada pembicaraan panjang lebar.
Mayoritas para ahli fiqih memberi fatwa kebolehan seorang ayah menikahkan anak putrinya yang masih kecil yang belum beranjak dewasa tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu dengan menyandarkan pada hadist pernikahan Nabi dengan sayidah Aisyah RA . Hadist ini telah dikeluarkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim , Ibnu Majah dan para ahli hadist lainnya.
وروى البخارى فى صحيحه : عن عائشة رضى الله عنها أن النبى صلى الله عليه وسلم تـزوجها وهى بنت ست سنين وأدخلت عليه وهى بنت تسع وكثت عنـده نسعا
Imam Bukhori meriwayatkan dalam kitab Shohihnya dari Aisyah RA bahwa Nabi SAW menikahinya saat ia masih berumur enam tahun,dan ia masuk dalam rumah tangga beliau saat berumur sembilan tahun dan tinggal bersama beliau berumur sembilan tahun. [55])
Hadist kedua diriwayatkan Imam Muslim dalam Shohihnya, dari ‘Aisyah RA
عن عائشة قا لت تـزوجنى رسو ل الله صلى الله عليه وسلم لٍسِتِّ سنين وبنى بي وأنا بنت تسع سنين قالت : فقدمنا المدينة فوكعت[56] شهرا فوفى شعرى جميمـه[57] فأتـتنى أم رومان وأنا على ارجوحـة ومعى صواحبى فصرخت بى فأتيتها وما أدرى ما تريد بى فـأخـذت بيدى فأوقفتنى على الباب فقلت : هـه هـه [58] حتى ذهب نفسى فأدخلتنى بيـتا فإذا نسوة من الانصار فقلن على الخيـر والبركـة وعلى خيـرطائر فاسلمتنى إليهن فغسلن رأسى وأصلحننى فلم يرعنى[59] إلا ورسو ل الله ضحى فـأ سلمننى إليه [60]
Dari Aisyah RA berkata,”Rasulullah SAW telah menikahiku saat aku berusia enam tahun, dan Rasulullah menjalin hubungan rumah tangga denganku ketika aku berumur sembilan tahun. Kata Aisyah : Kami datang di Madinah lalu aku menderita sakit demam selama sebulan hingga rambutku rontok semua setelah rambutku tumbuh , aku didatangi oleh Ummu Ruman ketika aku sedang bermain jungkit-jungkitan bersama kawan- kawanku , ia memanggilku kemudian aku mendekat kepadanya tanpa aku mengerti apa yang dia inginkan denganku. Dia lalu memegang tanganku kemudian dia menghentikanku di pintu sampai nafsku bersuara : Hah, hah, Setelah nafasku reda, tiba-tiba di situ banyak perempuan dari kaum Anshar. Mereka mengatakan,” Sungguh untung dia mendapat berkah, sungguh baik nasibnya,” Ummu Ruman kemudian menyerahkanku kepada mereka, lalu mereka membasuh kepalaku dan mendandaniku . Maka aku tidaklah dikejutkan kecuali oleh munculnya Rasulullah SAW pada waktu dhuha , lalu mereka menyerahkanku kepada Rasulullah.
Imam Nawawi rahimahulllah [61] dalam Syarah Shohih Muslimnya , mengomentari hadist – hadist tersebut ,” Bahwa hadist Aisyah RA
تـزوجنى رسو ل الله صلى الله عليه وسلم لٍسِتِّ سنين وبنى بي وأنا بنت تسع سنين
Artinya :” ,”Rasulullah SAW telah menikahiku saat aku berusia enam tahun, dan Rasulullah menjalin hubungan rumah tangga denganku ketika aku berumur sembilan tahun” dan dalam riwayat yang lain تزوجها وهى بنت سبع سنين (beliau menikahinya ketika berumur tujuh tahun.) sebagai dasar yang jelas dalam kebolehan menikahkan gadis di bawah umur tanpa persetujuannya karena memang tidak perlu diminta persetujuannya.
Jumhur mayoritas kaum Muslimin, memperbolehkan menikahkan gadis perawan di bawah umur dengan alasan hadist ini . Mereka menjelaskan bahwa para ahli fiqih terbagi ke dalam dua kelompok.[62]
Kelompok pertama; berpendapat kebolehan semua wali menikahkannya, seperti Al Auza”i dan Abu Hanifah.[63]
Kelompok kedua berpendapat, ia hanya boleh dinikahkan oleh ayah dan kakeknya. Kata mereka,” Jika dinikahkan selain kedua wali tersebut tidak syah.” Pendapat sedemikian itu didukung para ulama antara lain Imam Syafi’i[64] ,Imam Malik[65], Ahmad[66] dan Jumhur Ulama.
Menurut dua kelompok sebagaimana kita dapati mereka memperbolehkan ayah menikahkan putri gadisnya dibawah umur tanpa persetujuannya. Kemudian Imam Syafi’i dan para ulama penganut mandzhabnya berkata,” Ayah dan kakek dianjurkan tidak menikahkan gadis perawannya hingga dewasa dan cukup umur serta meminta persetujuannya agar tidak menjerumuskannya dalam kehidupan pernikahan padahal ia kurang menyukai.”
Imam Nawawi [67] mengomentari pendapat Imam Syafi’i dan berkata,(” Pendapat ini tidaklah bertolak belakang dengan Hadist Aisyah karena maksud mereka adalah agar wali tidak menikahkannya sebelum dewasa atau baligh. Jika tidak ada maslahat yang jelas, yang dikhawatirkan terlewat sekira ditangguhkannya sebagaimana Hadist Aisyah RA, maka dianjurkan untuk segera menikahkannya karena ayah diperintahkan untuk mewujudkan kemaslahatan putrinya agar tidak terlewat.)
Pendapat Imam Syafi’i ini sangat menakjubkan kami, meski kami berandai-andai kalau sekiranya ia berkata,” Ayah dan kakek tidak seharusnya mengawinkan gadis perawannya sebelum cukup dewasa atau baligh”, sebagai pengganti kata,”yustahabbu atau dianjurkan” dengan alasan serupa yang dia sebutkan, yakni “ sehingga tidak masuk berada dalam keluarga suami padahal ia kurang menyukai.” Karena menikahkan anak yang belum cukup umur tanpa persetujuannya beresiko cukup besar sekali.”
Sesungguhnya pernikahan dalam Islam mempunyai tujuan-tujuan yang agung yang tercermin dalam pembentukan ikatan terpadu antara laki-laki dan perempuan atas dasar kerelaan penuh dan kemauan yang benar untuk merealisir rasa cinta, kasih sayang, serta saling menyayangi sebagaimana yang ditunjukkan Firman Allah:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
Artinya:” Artinya :” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS : Ar Rum : 21)
Sesungguhnya menikahkan anak belum cukup umur tanpa sepengetahuannya dan persetujuannya bertolak belakang dengan tujuan yang paling sederhana dari tujuan-tujuan pernikahan dalam Islam, yaitu “ meraih rasa tenteram dan cinta kasih” Bagaimana ia bisa memperoleh rasa cinta, kasih dan sayang, di saat menginjak dewasa membuka matanya ,melihat di depannya seorang laki-laki yang tidak ia sukai, yang terkadang seumur ayahnya atau kakeknya- ternyata adalah suaminya- pilihan ayahnya untuknya di saat ia belum mengerti urusannya sama sekali sehingga harus menghadapi reallitas kenyataan di luar pilihannya’
Bila kita persepsikan bahwa Islam memberi kuasa penuh kepada ayah menikahkan putrinya yang belum cukup umur tanpa persetujuannya , maka hal itu hanya kewenangan yang dipercayakan kepada orang-orang tua (ayah) yang mempunyai nilai ketakwaan tinggi lagi mengetahui batasan-batasan hukum Allah menjaga hak-hak anak-anak perempuan mereka serta mengukur kemaslahatan atau kepentingan dengan visi pandang Islam yang benar bukan kepentingan pribadi dan visi pandang sosialnya serta bukan karena mengikuti kemauan hawa nafsu dan kepentingan duniawi semata. Sesungguhnya ternikahinya Aisyah oleh Rasulullah SAW meski dianut oleh tokoh-tokoh sahabat, seperti Abu Bakar, Umar , Ali serta sahabat-sahabat lain yang membuat gadis perempuan terasa menjadi terhormat di sisi mereka, tetapi adakah di kalangan muslimin yang selevel dengan mereka sekarang. ? Dimana ada kaum muslimin sekarang yang menilai , mengenal serta mengukur kepentingan dengan tolok ukur yang benar jauh dari memuaskan hawa nafsu , adat kebiasaan, tradisi serta kepentingan –kepentingan personal pribadi ?!
Mengingat pertimbangan maslahat telah menjadi obor penerang bagi ahli fiqih kaum muslimin hingga mereka mampu berijtihat di bawah cahaya terangnya. Dan karena prinsip dasar syar’i dalam hokum-hukum syariat yang bersifat ijtihadi adalah menegaskan hak (kebenaran) , menarik berbagai kemaslahatan dan menolak mafsadah, sementara kemaslahatan tidak senantiasa sama tetapi berbeda-beda dari waktu ke waktu serta berubah dan berganti seiring kondisi yang melingkupi manusia baik atau buruknya.
Tatkala kondisi kaum muslimin rusak dan moral akhlak mereka menjadi memburuk lagi terpuruk mereka mulai meninggalkan pertimbangan “ kemaslahatan” ini. Maka undang-undang “Ahwalus Syahsiyyah “ (Hukum Keluarga), di Negara-negara Arab, seperti Suria, Libanon, Irak, Yordania, Tunisia , Maroko dan lainnya sepakat untuk tidak memperkenankan menikahkan remaja putra dan putri sebelum mencapai umur dewasa, meski mereka berselisih pendapat dalam memberi batasan umur dewasa [68]). Diantara negara –negara ini , ada yang menetapkan batasan minimal 18 tahun bagi anak laki-laki dan 17 tahun untuk anak perempuan dengan mengacu pendapat madzhab Imam Abu Hanifah dalam batasan umur baligh atau dewasa.Diantara mereka ada yang menjadikan batasan umur baligh dengan 15 tahun. Dan kalau seandainya mereka melihat hal itu terdapat nilai kemaslahatan niscaya mereka tidak akan menjustifikasi undang-undang (aturan yang memperbolehkan pernikahan dini ) .
Sesungguhnya berpedoman kasus pernikahan sayidah Aisyah dengan Rasulullah SAW sebagai dasar memberi hak kuasa ayah (orang tua) menikahkan anak-anak perempuannya yang belum cukup umur tanpa sepengetahuannya tidaklah cukup . Karena hal itu bertentangan dengan Hadist Rasulullah SAW, ,” Janda tidak akan dikawinkan kecuali sesudah ditanya dan perawan tidak boleh dikawinkan kecuai sesudah diminta izinnya para sahabat bertanya,”[69] dan hadist-hadist lain dalam bab serupa yang memberi kaum wanita hak secara transparan dalam memilih calon suaminya.
Hal ini secara lahiriyah akan menjadi hadist-hadist Qauliyah bersebarangan dengan sunnah fi’liyah. Pertentangan ini akan tetap ada tidak hilang kecuali bila kita menjadikan pernikahan nabi dengan Sayidah Aisyah sebagai kekhususan Rasulullah ansich.
PEMBAHASAN KETIGA
MEMINANG
Definisi Khitbah ( Meminang) menurut bahasa dan syariat.
Adapun menurut etimologi, Khitbah- dengan dikasrah kho’ adalah masdar (kata benda abstrak) dari kata kerja khotoba. Dikatakan خطب فلا ن فلا نة خطبـا وخطبة Si Fulan benar- benar meminang Fulanah dengan suatu pinangan yakni memintanya untuk menikahinya . Dikatakan ;” Ia meminang pada keluarganya : yakni meminta mereka untuk dapat menikahinya.”[70]
Adapun menurut istilah syariat adalah permintaan seorang laki-laki dan pernyataan keinginannya untuk menikahi wanita tertentu yang tidak ada halangan-halangan secara syara’.
Pengertian ini mencakup permintaan baik langsung kepada wanita itu sendiri maupun kepada salah satu walinya , baik pemintaan itu diterima atau ditolak, baik yang mengajukan permintaan itu langsung orang yang berkompeten yang ingin menikahinya maupun lewat orang lain dari kerabat dekatnya , kawan dekatnya atau wakilnya.[71]
Pensyariatan khitbah (meminang):
Khitbah suatu yang ditetapkan validitasnya oleh syariat atas dasar Al Qur’an, Sunnah , Ijma’ serta Urf ( adat ).
Adapun dasar dari Al Qur’anul Karim, Firman Allah SWT :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ
Artinya:” Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran (QS.: 235).
Adapun dari As Sunnah sabda Rasulullah SAW.
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Artinya :’ Jika salah seorang diantara kamu sekalian meminang wanita , kalau bisa melihat lebih dahulu apa yang menjadi daya-tarik untuk menikahinya , maka hendaknya dilakukannya.”[72]
Demikian pula konsensus (ijma’) ulama menjustifikasi kebolehan meminang disamping telah menjadi suatu hal yang familier dalam adat kebiasan kalangan umat manusia .[73]
Khitbah (meminang) dalam pemahaman Islam bukan merupakan perjanjian syar’i yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan mempunyai konsekwensi dan segala akibat hukumnya .tetapi masih berupa prolog (usaha pendahuluan) menuju proses pernikahan dan ikatan janji yang berorientasi kearah pernikahan.Segala bentuk yang berlaku dalam adat kebiasaan orang baik berupa pembacaan surat Al Fatehah, pemakaian jala rambut atau tukar cincin atau membayar mahar dll tidaklah merubah hakekat dari arti khitbah tersebut. [74]
FAEDAH MEMINANG DAN HIKMAH DISYARIATKANNYA
Faedah meminang dan hikmahnya tampak jelas dalam hal-hal sebagai berikut;
1) Memudahkan peran pentingnya saling mengenal antara laki-laki calon suami dan wanita calon istri yang akan mengokohkan prinsip-prinsip dasar saling tolong menolong dan kerja sama antara mereka terutama setelah masuk dalam jenjang pernikahan.
2) Menebarkan jiwa kasih sayang antara calon mempelai ( pelamar dan yang dilamar) di mana masing-masing mereka berupaya keras untuk dapat menyenangkan rekannya , dan memperlakukannya dengan penuh penghargaan dan berbagai upaya menyiapkan mental dan situasi untuk melestarikan jiwa dan semangat sedemikian itu setelah masuk dalam jenjang pernikahan.
3) Mewujudkan ketentraman dan ketenangan , sekira masing-masing calon mempelai merasa percaya penuh untuk menuju jenjang pernikahan pada proses selanjutnya.[75])
Diantara hal yang sangat tercela baik menurut pandangan agama dan nilai moral ada sebagian orang yang menyimpang dari tujuan-tujuan yang benar dari disyariatkannya pernikahan dan mereka enggan mengambil petunjuk agama mereka dalam menangani permasalahan khithbah (meminang). Mereka lebih sering dikuasai prilaku berlebih-lebihan dan terkonsentrasikan masalah tukar-menukar kado pemberian, peningset dan pemikat yang kesemuanya semata-mata bertendensi memperoleh mas kawin , biaya-biaya pernikahan dan pesta pernikahan, serta perlengkapan penganten yang keadaannya nyaris mirip tawar menawar dalam kegiatan komersial , jauh dari usaha melakukan ikatan suci yang bertujuan agar jauh menjadi kerabat dekat dan penolong dan orang asing menjadi kerabat (lewat jalur pernikahan) dan sanak kerabat.
Kebanyakan peminangan gagal terjadi tak lain disebabkan terlalu berlebih-lebihan ,melampaui batas dan terlalu ketat dalam urusan financial. Padahal Allah SWT mewajibkan mahar atau mas kawin dalam pernikahan untuk memperlihatkan mulianya lembaga pernikahan dan tingginya kedudukannya ansich, Ia tidak menyukai berlebih-lebihan dalam hal tersebut.
Demikian juga Sunnah Nabi menganjurkan untuk tidak berlebih-lebihan dalam perihal mahar.
عن عائشة رضى الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : أعظم النساء بركة أيسـرهن مـؤ نـة
Artinya:”Wanita yang paling besar berkahnya adalah yang paling gampang dan sederhana maharnya.” [76])
Pertunangan atau pinangan yang diterima belum merupakan bentuk pernikahan atau semi pernikahan, sebaliknya semata-mata sebagai suatu perjanjian untuk menuju proses jenjang pernikahan dan tak menimbulkan akibat hukum; menetapkan hak atau menghalalkan hal yang semula haram dan mengharamkan yang halal. Wanita yang dipinang serta merta dengan pinangan tersebut tidak berhak mendapatkan sedikitpun dari mahar dan nafkah.Mereka berdua adalah orang lain satu sama lain seperti halnya sebelum peminangan atau pertunangan.
ETIKA MELIHAT SEBELUM MEMINANG.
Meminang adalah rukhsah (dispensasi) atau kemurahan yang dianjurkan Islam. Islam telah membuat aturan adab sopan santun yang harus dijaga dan batasan-batasan yang harus dipelihara sehingga tidak berubah menjadi liar tak beraturan, akibat para orang tua (ayah) dan walinya terlalu meremehkan dan kurang peduli terhadap etika dan batasan-batasan ini.dan kurangnya memahami kebanyakan orang terhadap urusan agama mereka. Suatu masalah yang sering membuka peluang kesempatan bagi orang-orang fasik dan orang-orang iseng yang senang mempermainkannya. Mereka menggunakan rukhsah atau kemurahan ini sebagai peluang melihat wanita berpindah-pindah dari rumah ke rumah dan mendatangi perbuatan –perbuatan haram.Sehingga wanita-wanita remaja itu tak ubahnya seperti komoditas murahan di pasar yang silih berganti ditawar atau dilamar dan jadi bahan permainan orang-orang yang berminat membeli, padahal Islam menganggapnya seperti mutiara yang terpelihara dan tidak rela ia dipandang dengan sebelah mata seperti itu yang jika diulang-ulang akan menghancurkan harga dirinya dan hilang rasa malunya bahkan kehilangan kemuliaan dan jiwanya didera beragam problematika dan penyakit psikologis.
Diantara etika dan adab sopan santun meminang yang harus dipelihara bagi orang –orang yang memiliki ketakwaan dan muruah( tata susila) serta para orang tua dan wali terutama permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1) Hendaknya pemikiran untuk melihat pinangan itu setelah mengenal betul sisi agama, akhlak, hasab (status social), nasab (keturunannya) , pangkat derajat atau kekayaannya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wanita tersebut.Sehingga tekadnya untuk melihat dan mendapatkan gambaran profil dirinya secara jelas harus didasarkan atas keinginan yang kuat dan niat yang benar.
Rasulullah SAW. bersabda:
إذا ألقى الله فى قلب امـرئ خطبـة إمرأة فلا بأس أن ينظر إليها
Artinya :” Jika Allah menaruh di hati seseorang minat untuk meminang seorang wanita , maka tidak apa-apa bila ia melihatnya”[77]
Yakni sebelum meminangnya, bukan setelahnya karena bisa jadi ia berpaling darinya setelah melihatnya dan tentu hal itu sangat menyakitkan hatinya.
2) Saat melihat wanita pinangannya jangan sampai sepengetahuannya- sebisa mungkin- sehingga bila berpaling dan kurang menyenanginya tidak merisaukan hatinya.
Rasulullah SAW bersabda:
إذا حطب أحـدكم امـرأة فلا جناح عليه ان ينظر إليها إذا كان إنما ينظر إليها للخطبة وإن كانت لا تعـلم
Artinya :” Jika salah seorang diantara kamu sekalian meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat pinangannya bila mau dan jika melihatnya untuk meminang maka hendaknya hanya ia lakukan tanpa sepengetahuannya.”[78]
3) Untuk tidak bersikeras dan berupaya ingin melihatnya langsung, kecuali jika dirasa kemungkinan besar permintaannya diterima lantaran ada unsur kekufuan (kesepadanan) dirinya dengannya. Adapun kemungkinan besar ditolak karena adanya kesenjangan yang cukup besar antara dirinya dengannya dalam hal kemulian (status social) atau pangkat dan kedudukan misalnya – maka lebih baik hendak ia mengurungkan niatnya.
Bila sekiranya kemungkinan diterima dan ditolaknya itu sama maka sebaiknya ia mengkonfirmasikannya lewat orang yang dipercaya yang sisi agama dan yang keikhlasannya tidak diragukan lagi.
4) Hendaknya peminang mengutus wanita terpandang dari keluarga yang dipercaya sisi amanahnya dan agamanya untuk melihatnya agar turut memikirkan wanita yang hendak dinikahinya serta memberi gambaran utuh tentang sosok dirinya dan kepribadiannya, jika sekiranya ia cukup sulit melihatnya secara langsung atau bila ia ingin mengetahui lebih jauh tentang keadaan kepribadiannya dan sifat-sifatnya . Rasulullah SAW pernah mengutus Ummu Sulaim untuk mendatangi seorang wanita, lalu sabdanya :
اُنْظُرِىْ إِلىَ عُرْقبُـَيْهَا وَشمَىِّ مَعَـا ِطِفهَا
Dan dalam riwayat Imam Ahmad dan imam ahli hadist lain dengan redaksi
وَشَمِّى عَوَارِضِها
Artinya: “dan ciumlah bau mulutnya ”
Perintah melihat kedua urat ketingnya di sini ditujukan untuk mengenal kesuburan tubuhnya dan baik tidaknya posturnya.
Sementara perintah mencium bau “awaridlnya” – yaitu gigi-gigi selebar mulut, antara gigi seri dan gerahamnya [80]- dimaksudkan untuk meyakini penuh dengan keharuman bau mulutnya.
5) Hendaknya ayah atau wali jangan mengizinkan peminang melihat langsung putrinya kecuali setelah meyakini kesalehannya, kebaikan akhlaknya, keteguhan agamanya dan setelah meminta pertimbangan putrinya dan memperolah kesepakatan dan kerelaannya.
6) Orang tua(ayah) dan walinya jangan sampai menyembunyikan cacat atau kekurangan putrinya yang dia ketahui dari pihak peminang, sebaliknya harus menjelaskan terus terang kepadanya sebagai bentuk tanggung jawab mewujudkan hak ukhuwwah (persaudaraan) Islam dan harapan agar terwujud hubungan persaudaraan antara mereka dengan pihak peminang atas kejujuran dan transparansi, disamping harapan agar rumah tangga baru yang dibina benar-benar berbasis rasa ketakwaan yang lebih mendukung keberhasilan dan kesetabilan hubungan interaksi pasangan suami istri dalam mahligai rumah tangga.
Karena pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan lainya, Islam sebagai agama hanif (lurus) menganjurkan untuk merahasiakan peminangan, yakni dilaksanakan hanya diketahui sebatas lingkungan keluarga, tanpa memasang umbul-umbul dan baliho atau memukul rebana dan sarana-sarana lain untuk mengumandangkannya.
Nabi SAW bersabda :
أظـهروا النكاح ................. واخـفوا الخـطبة "
Artinya :” Kumandangkan pernikahan................. dan rahasiakanlah peminangan (lamaran).” [81]
Karena dalam merahasiakan lamaran /peminangan tersebut terdapat banyak nilai positipnya antara lain sebagai cara terbaik menjaga keshalehan dan kesucian wanita pinangan agar martabat kehormatannya tidak dilecehkan, reputasi atau nama baiknya tidak dicemarkan atau jiwanya tidak goncang akibat fasakh (pembatalan) peminangan setelah diumumkannya – apapun faktor penyebabnya- lazimnya hal itu akan sangat melukai perasaan gadis tersebut, menyakitkan hatinya serta mencemarkan reputasi dan nama baiknya dan berbagai dampak lain yang terkadang membuat orang –orang yang berhasrat pun menjadi bimbang untuk meminangnya, karena was-was barang kali pembatalan peminangan yang lalu disebabkan adanya aib pada dirinya atau perbuatan dosa yang pernah ia lakukan.
Adapun jika peminangan tersebut tidak dikumandangkan- sebagaimana yang diperintah Rasulullah manusia termulia- maka sesungguhnya jika peminangan tersebut terus berlanjut, pengumumannya sebagai yang dikehendaki dapat dilakukan saat akad pernikahan, dan jika dibatalkan maka gadis perempuan tersebut tidak merasa dilecehkan kehormatannya atau dicemarkan reputasinya.
BATASAN YANG BOLEH DILIHAT PEMINANG
Islam mensyariatkan kebolehan peminang melihat wanita calon pinangan demikian sebaliknya karena melihat dengan tujuan untuk menikahi adalah hak laki-laki dan perempuan, yang akan membuat kenyamanan hati kedua calon pasangan . Kuncinya adalah karena apa yang terlihat indah dan baik oleh mata lazimnya akan menjadi daya tarik hati setelahnya dan apa yang kurang memberi kesan indah dan baik pada mata tidak akan pernah memikat hati selamanya serta tidak akan mendapat tempat di hatinya. Lantaran Islam telah mensyariatkan berumah tangga sebagai dasar kehidupan bersama pasangan suami- istri, pergaulan dan ikatan naluriah yang kuat antara mereka yang tentunya ikatan batin sedemikan tidak akan kuat sebelum masing-masing punya asumsi baik terhadap pasangannya sehingga hati mereka bertaut , jiwa mereka terpadu serta mereka dapat saling gotong royong memelihara anak-anak dan generasi mereka mendatang. Maka rumah tangga yang di dalamnya ada keinginan yang seiring sejalan antara suami istri dan dipenuhi rasa kasih sayang antara mereka maka individ-invidu oknum keluarga tersebut akan tumbuh berkembang secara alami dan terarah. Sebaliknya rumah tangga yang diliputi rasa kebencian baik dari keduanya atau salah satunya tentu sangat berpengaruh terhadap jiwa anak mereka dan memperburuk perkembangannya akibatnya anak akan menjadi petaka bagi masyarakat. Untuk itulah Islam sangat konsern menjustifikasi dan mensyariatkan masing-masing calon suami istri untuk melihat calon pasangannya.
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : كنت عند رسو ل الله صلى الله عليه وسلم فاته رجل فـأخبره أنه تـزوج امرأة من ألانصار فقال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم :" انـظرت اليها قال :"لا" قال :" فـاذهب إليها فـإن فى أعين الانصار شيئا"
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA , berkata,” Pernah seorang sahabat meminang seorang Anshar,lalu kata Rasulullah kepadanya :” Sudahkah engkau melihat ?” Jawabnya,” Belum .” Sabdanya; “ Pergilah dan lihatlah dia, karena pada mata orang anshar ada cacatnya.”[82]
Imam Nawawi[83] berpendapat adalah dianjurkan hukumnya melihat wanita yang hendak dinikahi, dan itu adalah madzhab kami, madzhab Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan seluruh ulama Kufah, Imam Ahmad serta Jumhur Ulama. Sementara Imam Al Qodli mengisahkan dari sebagian kaum (ulama) yang memakruhkannya dan tentu saja ini pendapat yang salah besar bertentangan dengan hadist yang shoreh tersebut dan Ijama’ (konsensus) umat dalam hal kebolehan melihat wanita karena ada hajat saat jual beli , memberi kesaksian dan lain sebagainya. Lalu batasan tempat yang boleh dilihat hanya wajah dan kedua telapak tangannya saja karena keduanya bukan kategori aurat dan.karena dengan wajah dapat menilai cantik tidaknya calon dan dengan kedua telapak tangannya dapat mengukur subur tidaknya tubuhnya dan inilah madzhab kami. Menurut Iman Al ‘Auza’i,bahwa boleh melihat semua organ yang ditumbuhi daging . Sementara Daud berpendapat, boleh melihat seluruh tubuhnya. Dan ini jelas pendapat yang salah sangat merendahkan prinsip-prinsip dasar As Sunnah dan Ijama’ Ulama.
Islam dalam menjustifikasi dan mensyariatkan melihat wanita calon pinangan mengambil jalan tengah (moderat) tidak bersikap ekstrim ketat dan juga tidak terlalu toleran. Islam tidak membolehkan melihatnya bebas terlepas tanpa batasan juga melarang melihatnya sama sekali. Islam mempersyaratkan melihat wanita pinangan di dampingi saudara-saudara muhrimnya atau salah seorang mereka dan membatasi dengan batasan yang ditolerir dalam agama. Yakni bagian tubuh yang disepakati dikalangan para ahli fiqih, ahli Tafsir serta Jumhur Ulama. Yaitu bagian wajah dan kedua telapak tangan
Betapapun transparansi manhaj Islam dalam urusan pernikahan ,tetapi tetap membatasi kewenangan melihat antara calon mempelai, tidak memperkenankannya bagi pengganti dan wakilnya. Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menyuruh seorang laki-laki ketika ia berhasrat menikahi wanita tanpa melihatnya terlebih dahulu untuk pergi masih ada yang melalaikan pranataan yang bijaksana tersebut .Sehingga nampaklah di kalangan mereka terkadang dua sikap yang sangat menyimpang dari manhaj Islam dalam persoalan pernikahan[84])
1. Pandangan ekstra keras.
Yaitu suatu pandangan yang tidak mentolerir suami melihat calon istrinya kecuali di malam pesta perkawinan.Mereka kelompok para wali dari orang tua baik para bapak maupun ibu ini menaruh tabir penghalang dan penghambat terhadap calon mempelai berdua tanpa melihat dengan pandangan bijaksana atau mengikuti petunjuk agama, sebaliknya hanya mengikuti tradisi yang dianggap menyimpang oleh Al Qur’an dan Allah larang pada para hambanya.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
Artinya :” . Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".(QS : Al Baqoroh : 170 ).
Sebernarnya jalan pemikiran mereka itu dipenuhi beragam hal yang membahayakan baik dalam kehidupan beragama maupun kehidupan social. Karena bisa jadi kebanyakan orang akan mempersepsikan prilaku dan sikap tersebut adalah bagian ajaran agama dan syiar orang-orang Muttaqin. Padahal hal tersebut pertanda kebodohan mereka terhadap syariat Allah dan Sunnah Rasulullah yang terkadang menjauhkan sebagian generasi Islam memahami Islam serta enggan mengetahui bahwa Islam sebenarnya sangat memperhatikan kepentingan social di dalam hukum-hukumnya yang bijaksana. Dan biasanya larangan dan batasan sedemikian punyai akibat yang kurang baik pada masing-masing pasangan . Apa yang terjadi sekira suami setelah mengumpuli istri malam pertama menilainya kurang baik tidak seperti yang diinginkan , demikian sebaliknya bisakah terbayang kehidupan rumah tangga mereka berjalan mulus . Adakah tercipta keteraturan kehidupan pasangan sehingga mampu melahirkan rasa cinta dan kasih sayang antara mereka . Dan sekira tidak ada rasa kasih sayang dan cinta kasih adakah jiwa keibuan akan bisa tumbuh dihati istri dan berjalan lempang melaksanakan tugas fungsinya sebagaimana yang diharapkan.Sungguh hal itu semua adalah mustahil dan tidak mungkin diwujudkan . Sebaliknya hanya akan melahirkan anak-anak yang menderita penuh beban pskichis yang menyengsarakan. Pandangan hidup mereka kacau, goncang tak terkontrol. Hal itu semua bermula pada kondisi pschicologis dan kegoncangan mental yang dirasakan ibunya yang karena tidak rela dan tidak siap masuk dalam bahtera kehidupan rumah tangga beralih dari ibu ke anak. Dampaknya negative umumnya tidak terlalu tampak di masa kanak-kanak, tetapi akan nampak jelas dalam berbagai pola prilaku pada fase remaja dan masa dewasa mereka. Pola-pola prilaku ini tak lain merupakan formulasi asupan kepribadian yang diperoleh anak di jenjang fase kanak-kanaknya dan ia serap dari ibunya di masa kehamilannya dan menyusuinya. Karena ketidak-siapan dan kesanggupan menerima pernikahan tersebut pada umumnya akan berpotensi menimbulkan kemurungan dan depresi mental dan pada gilirannya anak pun terpengaruh ibunya, kemudian meniru jejaknya di fase-fase kehidupannya dan dalam interaksi hubungannya dengan individu-individu sosialnya. Dari sinilah kita dapati peran pentingnya kenapa Islam menjustifikasi dan mensyariatkan saling melihat dan mengenal antara pasangan sebelum melangsungkan pernikahan yaitu dimasa persiapan menuju proses jenjang pernikahan. Masing-masing bila terasa kurang pantas dalam pandangan calonnya maka ia dapat pergi tanpa beban, demikian calon istri dapat menolak keinginan menjalin hubungan pernikahan lelaki-pelamarnya tanpa beban mental pula. Karena bisa jadi ada seorang wanita tidak terpikat pada sesorang tetapi ada laki-laki lain mungkin akan memikat hatinya dan bisa jadi ada wanita yang tidak menarik menurut seseorang tetapi sangat menawan dalam pandangan yang lain.[85])
2. Pandangan dan sikap permisif.
Yaitu suatu pandangan dari sebuah keluarga yang tidak taat atau tidak konsisten dengan manhaj Islam dalam melihat wanita pinangan yang hendak dinikahi. Suatu keluarga yang memberi toleransi seluas-luasnya kepada laki-laki peminang untuk duduk semaunya dengan gadis putrinya tanpa muhrim yang mendampinginya.Sikap seperti ini sangat bertolak belakang dengan ajaran agama yang terdapat dalam Hadist Shohih. Biasanya keluarga akan mengizinkan putrinya keluar bersama pemuda yang hendak meminangnya kemana mereka mau pergi. Kebanyakan keluarga terasa tidak ada beban dan merasa tabu bila ia pergi bersama putrinya ke berbagai gedung bioskup atau tempat pertunjukan atau ke tempat- tempat rekreasi dan lain-lainnya. Mereka punya persepsi bahwa sikap sedemikian termasuk aspek kemajuan dan budaya.Bahkan lebih ironis lagi menurut sebagian orang hal itu merupakan kunci bagi kedua aspek tersebut.Tidak diragukan lagi hal itu akan berimplikasi buruk dan kurang baik dalam kehidupan social. Dan sesungguhnya menikmati wanita tidak terbatas pada penikmatan biologis semata, tetapi di sana banyak hal yang bisa diraih..
Adapun dalil atas keharaman berkhulfah ( berduaan di tempat sepi) dengan wanita lain (bukan muhrim) bermaksud melihatnya baik untuk meminangnya atau tidak adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA dari Nabi , beliau bersabda :
لا يخلون احـدكم بامـرأة إلا مع ذى محرم فقام رجل ، فقال أن امرأتى خرجت حـاجّـة وإنـى اكـتـتبت فى غـزوة كذا وكذا . قال :" ارجـع فحـج مع امرأتـك
Artinya:”Janganlah salah seorang diantara kamu berkhulwah (berduaan ) dengan seorang wanita kecuali dengan muhrimnya. Lalu berdirilah seorang laki-laki seraya berkata,” Sesungguhnya istriku pergi keluar hendak berhaji, padahal aku telah mendaftarkan diri turut pergi berperang dalam perang demikian dan demikian. “ Beliau bersabda ;” Pulanglah dan berhajilah bersama istrimu.”
Tidak jarang toleransi yang berlebihan dengan memberi keleluasan peminang laki-laki berulang-ulang keluar bersama wanita pinangannya selang beberapa waktu dalam waktu lama atau dekat berdampak keduanya berpisah atau salah satu mereka berdua meninggalkan rekannya tanpa mempedulikan situasi apapun yang dialami. Bahkan terkadang hal sedemikian dianggap suatu hal yang lumrah.Si gadis ditinggalkan dan dibiarkan dengan tetap terus diliputi berbagai tanda tanya.[86])
Islam bersikap pertengahan dan moderat tidak bersikap berlebih-lebihan atau terlalu toleran dan tidak bersikap terlalu ekstrim ketat .Islam tidak mengizinkan melihat calon pasangan mutlak tanpa batas, yakni sikap terlalu toleran dan tidak pula melarang melihatnya sama sekali atau bersikap ekstrim ketat. Islam mesyariatkan melihat calon wanita pinangannya sebelum melangkah ke jenjang perkawinan. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hal itu akan lebih menjamin kestabilan dan kelestarian hubungan pasangan dan akan menambah rasa cinta dan kasih sayang dalam berumah tangga .
Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah bahwa ia meminang seorang wanita seraya Rasulullah bersabda,
انظـر اليـها فـإنـه أحرى أن يـؤدم بينـــكما
Artinya:” Pergi dan lihatlah ia kaena hal itu lebih menjamin kelestarian pernikahan kalian berdua.”[87]
Islam menetapkan persyaratan dan etika umum dalam hal duduk bersama wanita lain hendaknya didampingi salah seorang muhrimnya semisal ayah, saudara laki-laki, paman atau mamaknya . Islam tidak melarang calon suami berbicara, bertukar pikiran dengan wanita pinangannya sepanjang didampingi muhrim tentang hal-hal yang berhubungan agama, akhlak, dan berbagai pengetahuan umum serta methode –methode pendidikan yang ideal mengingat ia akan jadi calon ibu yang punya tanggungjawab mengatur urusan rumah tangga mereka dan yang akan berurusan langsung dengan misi dan tanggungjawab keibuan dalam rumah tangga yang dibinanya.Pentingnya ngobrol dengann wanita pinangan, barang kali si lelaki jika mendengar dan mengorek langsung tentang kepribadiannya akan merubah pandangan tentang dirinya selama ini, demikian halnya bagi wanita tersebut, karena hakekat kepribadian seseorang tersembunyi di balik lidahnya. Untuk itulah seorang peminang hendaknya menguasai dan mengatur strategi pembicaraan dan mencari kesempatan yang tepat untuk meraih harapannya mengenal akhlak kepribadiannya, karakternya, serta sejauh mana kesanggupannya menjaga anak-anak tanpa merasa ia di depan penguji yang menyampaikan berbagai pertanyaan yang harus ia jawab. Terkadang sedemikian itu membuat ia sangat ekstra hati-hati untuk kebaikan dirinya dan bisa jadi ia mengecoh dan memperlihatkan suatu hal dan keadaan di luar kebiasaan dirinya dan karakternya yang sebenarnya.
Peran penting adanya muhrim adalalh agar tidak menyimpang aturan syariat Islam dalam keharaman berkhulwah dengan wanita lain , menjauhkan dari bisikan syaitan yang akan menggerakkan diri mereka dalam perbuatan –perbuatan yang dilarang. Disamping itu, keberadaan saudara muhrim mendampinginya karena memiliki banyak pengalaman dan mengenal karakter kaum lelaki, biasanya ia akan dapat memberi penilaian dan keputusan yang tepat calon suaminya atas dasar watak dan kecendrungannya secara obyektif tidak ada tendensi apapun selain semata-mata memberi penilaian kepribadian peminang..Suatu permasalahan yang terkadang terjadi seorang gadis tidak mampu memahaminya karena rasionya dalam suasana sedemikian lebih didominasi emosi perasaannya.Tidak disanksikan lagi bahwa pengaruh perasaaan emosional dalam suasana sedemian akan amat kuat dan sangat menonjol dalam banyak keputusan dan penilaian yang lebih membutuhkan pemakaian rasio.[88])
Islam dalam memberi ruhsyoh (dispensasi ) ini – kebolehan peminang melihat wanita pinangan yang ingin dinikahinya - punya banyak tujuan yang sangat signifikan dalam urusan membina rumah tangga dan kelestarian kehidupan pasangan, yang antara lain sebagai berikut :
v . Menciptakan rasa nyaman dan kepercayaan diri bahwa wanita pinangan tersebut tidak memiliki cacat atau aib yang menjauhkan laki-laki pinanganny atau membuatnya kurang menyukainya.. Oleh karena itulah kita lihat Rasulullah menasehati orang laki-laki yang memberitahu beliau bahwa dia telah meminang seorang wanita kaum Anshar. Kata beliau :
انـظر اليها lihatlah ia
Rasulullah telah melaksanakan kewajiban memberi nasehat dan mengajak untuk meyakinkan sendiri agar tekadnya melangkah ke proses peminangan beserta tujuannya atas dasar realitas kenyataan dan sebelum masuk dalam peliknya urusan meminang .
v Menegaskan keinginannya meminang dan melenyapkan apapun keraguan yang berkecamuk di dalam dirinya. Pengertian ini tersimpul dari Hadist Jabir bin Abdillah RA :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " إذا خطب احـدكم المـرأة – اى عـزم على خطـبتها – فا ن استطاع أن ينـظر إلى ما يـدعو ه إلى نكاحها فليفعل: فخطبت امـرأة فـكنت أتخـبأء لها حـتى رأيت منها ما دعنـى إلى نكاحـها فتـزوجتها "
Artinya :’ Jika salah seorang diantara kamu sekalian meminang wanita- berniat meminangnya , kalau bisa melihat lebih dahulu apa yang menjadi daya-tarik untuk menikahinya , maka hendaknya dilakukannya. Lantas aku melamar seorang wanita dan aku secara sembunyi-sembunyi menguntitnya hingga aku menemukan apa yang menjadi daya tarik menikahinya lalu akupun menikahinya.[89]
Islam mengambil sikap dalam permasalahan melihat dan berkomunikasi dengan wanita pinangan dengan sikap terhormat dan berkeseimbangan dengan tidak menetapkan dan berpihak orang-orang yang ekstrim ketat dan juga berpihak penganut faham permisif yang menetapkan hubungan dan komunikasi peminang dan wanita pinangannya dengan melanggar dan melampaui batas- batas yang ditetapkan pembuat syariat yang maha bijaksana. [90])
Adapun memperpanjang atau memperlama masa pinangan dianggap kurang baik dalam syariat Islam. Islam menyerukan kedua calon mempelai yang sedang pinangan untuk melangkah secepatnya dari proses hubungan pinangan yang status mereka masih orang lain ke proses jenjang pernikahan yang menjadikan mereka pasangan suami istri yang syah.Karena lamanya masa peminangan tidak akan menyajikan hal baru. Dan kesegeraan beralih ke proses akad pernikahan yang syah akan melenyapkan faktor keberatan dan beban berat yang dirasakan gadis dan keluarganya karena mondar mandir datangnya laki-laki asing di rumah mereka dan juga isu-isu yang kurang baik yang menyertainya.
Disamping itu , proses peminangan yang berkelamaan sangat banyak beresiko .Karena tiap kali kedua pihak melihat bahwa pertemuan mereka yang legal jauh dari harapan dan keinginan mereka.Padahal jiwa manusia dengan watak tabiatnya cenderung menyukai hal yang dilarang.Tentu proses peminangan yang berkelamaan yang terkadang berseiringan dengan perubahan sosial dan budaya, kematangan berfikir dan mental membuat hati yang berwatak suka berubah akan cepat berubah , sehingga peminang tak mau menerima kembali hari ini.apa yang ia terima hari kemarin.
Oleh karena itu, kewajiban keluarga calon mempelai hendaknya membantu dan turut memberi dukungan dalam proses mempercepat pernikahan dengan jalan mengatasi hambatan-hambatannya baik berupa pembebanan maskawin yang memberatkan ataupun banyaknya biaya-biaya yang dibutuhkan. [91]
[1] ) Lisanul Arab,oleh Ibnul Mandhur,Bab ro’ fashal hamzah,Misbahul Munir oleh Fayumy, Bab hamzah was sin wam yutsallitsuha ,Mukhtaru shihhah ;madah (أ س ر) ,Al Mu’jamul Washith dipublikasikan oleh Lembaga Bahasa ( Majma’ul Lughowi) Kairo (1/17)
[2] )Hadist diriwayatkan Bukhori dalam kitab al Haidh : bab tarkil haidh as Shauma ( perempuan haidz tidak boleh berpuasa.
[3] ) lihat Muhtarus Shohih pasal : ( (ر.هـ . طLisanul Arab ,bab tho ( ( ط fasal ra” ( رdan al Mu’jamul Washith : Juz 1 hal 377)
[4] ) Dikeluarkan Abu Daud dalam Sunannya ,Kitabul Hudud, bab merajam dua orang Yahudi (4; 598-599) nomer hadist 4450.
[5] )An Nihayah oleh Ibnul Atsir (Vol: I /48, lihat pula ma’alimus sunan ,syarah Sunan Abu Daud,(Vol III/328) Cetakan kedua tahun 1401 H/1981 M terbitan Al Maktabah Ilmiyah -Beirut
[6] ) Hadist dikeluarkan Ahmad dalam Kitab Al Musnad,(Vol 5/445-446, dan Kitab Abu Daud hadist nomer 2659, Kitab An Nasai Vol I/hal 356, demikian Ad Daramy, Vol II/149, Kitab Ibnu Hibban nomer 1313, Al Baihaqi Vol VII/308, sementara Albany dalam kitab Al Irwa’ Vol : VII/hal 58, nomer hadist 1999 , ia berkata,” ini adalah Hadist Hasan.
[7] ( Hadist diriwayatkan Imam Bukhori dalam Kitabul Jihad, Bab man jahaza Ghoziyan (Bab orang membersiapkan perlengkapan perang , Vol. VI / hal 37, Kitan Shohih Muslim dalam Kiitabul Imarah , bab Fadli i’anatil Ghozi fi Sabilillah ,( bab membantu pejuang perang di jalan Allah. Vol III/1506 nomer hadist ke 1895.
[8] ) Hadist Riwayat Imam Bukhori dalam kitab Adab –bab lam yakun Nabi SAW Fahisyan wala mutafakhisan Vol.7,hal 70 dan Shohih Muslim dalam Kitabul Birri wa Sillah wal Adab , bab Madaratun man Yuttaqa fahsyuhu. Vol.4, hal.2002 ,nomer hadist ke 2591.
[9] ) Al Maratul baina Addin wal Mujtama” oleh Zidan Abdul Baqi Hal 114.
[10] ) Az Zawaj wal Alaqotul Usrotiyah oleh Dasna’ Al Khouly Hal 32.
[11] ) Imam Ghozali telah menyebutkannya dalam karya tulisnya yang monumental Ihya' Ulumiddin,( Vol 2/ hal .24, dalam teksnya, "dan di dalamnya (pernikahan) ada lima tujuan ; memperoleh anak, memenuhi kebutuhan biiologis,mengatur rumah tangga, memperbanyak keturunan.keluarga, bermujahadah nafs (meper nafsu) dengan melaksanakan kewajiban terhadap istri.
[12] ) Dikeluarkan oleh penyusun kitab Musnadul Firdaus, dari jalan Muhammad bin Harist dari Muhammad bin Abdi Rohman al Yamani, dari ayahnya dari ibnu Umar, ia berkata :” Rasulullah bersabda : ) حجوا تستعينوا وسافروا تصحوا وتنا كحوا تكثـروافانى اباهى بكم الامم berhajilah maka kalian akan kaya ,bepergianlah niscaya kalian akan sehat dan menikahlah maka akan banyak jumlahmu, karena sesungguhnya aku akan menjadikan kamu kebanggaan diantara sekian banyak umat.Dan dikeluarkan oleh Ibnu Adi dalam kitab al Kamil dari ibnu Said bin Hilal secara mursal, sementara Imam Al Bani mendhoifkannya dalan kitab Dhoifil Jami’. Imam Iraqi berkata,” Hadits ini dikeluarkan Abu Bakar bin Mardawih dalam Tafsirnya, dan sanadnya dhoif dan dikeluarkan oleh Abdul Rozzaq dalam kitab Mushannaf dari jalur Hisyam bin Hisan dari Muhammad bin Sirrin secara mursal , ia berkata , Rasulullah bersabda
:” دعوا الحسناء العاقر وتـزوجوا السوداء الولود فانى اباهى بكم الامـم "
Artinya : “Tinggalkan wanita cantik yang mandul dan nikahlah wanita berkulit hitam peranak ,sesungguhnya aku akan membagakan jumlah kalian di antara sekian banyak umat.
-lihat pula kitab susunan Abdul Rozzaq (vol. VI/hal .160),tahrij hadist-hadist dalan Ihya’ Ulumuddin (Vol II/ hal. 22) dan kitab talhisyul Khobir (Vol. III/ hal . 116) Jami’ Shoghir oleh Imam Suyuthi (Vol .II / 269) , dan Nailul Author oleh Imam Syaukani( vol. VI/ 107) serta kitab Kasyful Khofa’ (Vol .I/ hal 380).
[13] ) Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitabul Wasyiyat bab pahala apa yang diperoleh manusia setelah kematiannya (Vol .III/hal 1255) hadist nomer 1631 dan Abu Daud dalam kibab Al Wasyoya, bab ma ja’a fi shodaqoh anil Mayit ( manfaat shodaoh bagi mayit), Tirmidzi dalam kitabul Ahkam, bab waqaf, ia berkata,” Hadist ini adalah hadist Hasan Shohih, (vol. III/hal 651 , hadist ke 1376.
[14] )Minhajul Islam fi Zawaj wa Talaq , oleh Al Bahy Khaouly : hal 10
[15] )Al Hayatu Ijtimaiyah fil Islam oleh Dr. Ahmad Salaby, hal 27.
[16] )Nidhomul Usroh fil Islam (Sistem lembaga rumah tangga dalam Islam) oleh Muhammad Aqlah, Maktabatu Risalatul Haditsah, Omman, cetakan pertama, 1983 (Vol .1/ hal 20)
[17] ) Hadist dikeluarkan Imam Muslim dalam kitabun Nikah bab nadaba man raa imraatan fawaq’at fi nafsihi ........” (vol II /hal 1021 ) nomer hadist 1403 dan Abu Daud nomer 2151 dalam kitabun Nikah bab ma yu’maru min ghodzil Basari Imam Tirmidzi nomer 1158 dalam kitabun Nikah bab ma jaa fi Rajuli yara al Marata tu’jibuhu.
[18][18] ) Lihat Kitab, Madz ‘anil Mar’ati oleh DR. Nuruddin Attar ,Darul Fikr, Damaskus tahun 1402 H/1981 M hal. 78.
[19] ) Dzilalil Qur’an oleh Asy Syahid Sayid Quthub ; Vol. V, halaman 2763
[20] ) Tafsir Al Fakhrurrozi (vol. XIII/111)
[21] (ٍSurat An Nisa’ : 1 lihat Al Usratul Muslimah wal Usratul Mu’ashirah oleh Dr. Abdul Ghoni Abud, Darul Fikr Al Araby : Hal . 116.
[22] ) Tafsir Fahrur Rozi Vol. XIII/ hal .112
[23] ) Lihat Al Usrotul Mistaliyah fi Dha’uil Qur’an wa Sunnah edisi revisi oleh DR. Amarah Najib Hal. 15 dan 16 .
[24] ) Al Usroh fi Tasyriil Islami oleh Muhammad Faraj Al Sanhury tahun 1981 M , hal .9.
[25] ) Al qunut berarti taat kepada Allah, patuh kepadaNya serta mengakui kehambaan dirinya , Mu’jamul wasyith vol. II/ 761.
[27] ) Taubah ialah berhenti dari berbuat dosa lihat Mukhtarus Shihah pasal (( ت - ب dan Mu’jamul Wasyith. Juz I hal 90..
[28]) Ibadah ialah tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan disertai rasa pengagungan kemuliannya. Lihat Mu’jamul Wasyith vol II / hal. 579.
[29] ) Lihat Fi Dzilalil Qur’an oleh Syahid Sayid Quthub Vol . VI / Hal. 3616.
[31] ) Lihat Ruhul Ma’ani oleh Al Alusy hal . 21/30 jilid ketujuh.
[32] ) Al Hasab adalah segala kejayaan, kebesaran dan kebanggan orang tua yang sanjung-sanjung orang.. dinyatakan pula ia adalah kehormatan seseorang dan kelebihannya , lihat Lisanul Arab bab Ba” pasal Hak. dan misbahul munir entri ha’ dan ba’ dan Mu’jamul Wasyith (Vol. I/ hal. 576)
[33] ) Fadhfarld yakni beruntunglah kamu dengan yang taat agama, dan pilihlah ia dari sekian wanita agar dengan menikahinya engkau memperolelh kebaikan dunia akherat.
[34] ) Taribat Yadaka yakni kedua tanganmu berdebu karena berdoa,sebagai bentuk kinayah (kata kiasan) akan kefaqiran (kesungguhan atas suatu kebutuhan) , doa (pengharapan) semaknanya sering berlaku dalam pembicaan kalam orang Arab dan tidak mereka maksudkan untuk keburukan seseorang , tetapi mereka katakan sebagai penyangatan anjuran atas sesuatu atau menunjukkan ketakjuban atas suatu. Dst.
Makna ungkapan itu ialah engkau akan miskin dan merugi jika engkau tidak memilih wanita yang taat agama karena orang yang tidak memilih wanita karena agamanya akan tercabut dan hilang keberkahan hidupnya dan menjadi miskin lihat Mukhtarus Shihah entri huruf ((ت – ب lisanul Arab ; Bab BA’ pasal TA’ dan Mu’jamul Washith (Vol . I / hal. 83).
5) Dikeluarkan oleh Imam Bukhori, kitabun Nikah babul Akfa’ Fiddin ( Vol. I/ 123) dan Imam Muslim . dalam Kitabul Rodlo’ ; bab istihbabi nikahi Dhati ddin ( Vol. II/ 1087) nomer hadist 1466 , Abu Daud dalam kitabun Nikah, bab ma yu’maru bihi min tazwij dzatil Addin nomer 2048 , Imam Nasyai : dalam kitabun Nikah , bab karahiyati Tazwiz Zunat ( makruhnya menikahi ahli zina ( Vol. VI / 68).
[35] ) Tafsir Al Qur’anul Adzim oleh Ibnu Katsir Vol. III/ halaman. 286.
[36] ) Dikeluarkan oleh Imam Bukhori fi Fadloil Asyhabi Nabi Sallahu alai wasalam,, bab tazwijin Nabi SAW Khodijah wa Fadliha . ( Vol. VII/ hal. 102 ) dan kitabun Nikah bab ghiratin Nisa’ wawajdihinna dan oleh Imam Muslim dalam fadloilil Shahabah ; bab fadloili Khodijah ummil Mukminin RA ( Vol. IV / hal. 188 . nomer hadist ke 2434 – 2435 , Tirmidzi fil Manaqib ; Bab manaqib Khodijah RA, nomer hadist. Ke 3885-3886 dan Imam Ahmad dalam Musnad ( Vol. VI/ hal. 58, 202,279 .
[37] ) Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitabur Radlo’ : bab khoiru mataid dunya al mar’atus sholehah. (vol. II/ hal. 1090) nomer hadist ke 1467, Imam Nasai ( Vol. VI / 69) dalam kitabun Nikah . bab al mar’atus Sholehah, dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Nikah ; bab fadlu Nikah : ( Vol. I / hal. 596) dan Musnad Imam Ahmad dari Fathu Robbani ( Vol . XVI/ hal. 143)
[38] ) Khorma’ artinya wanita yang terputus sebagian hidungnya yang membuat wanita kelihatan buruk .lihat Mukhtarus Sihah entri huruf ( م – خ ) lisanul Arab bab االميم pasal الخاء
[39] ) Hadist ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunannya ( Vol. I/ hal .597) dari jalur Abdur Rahman bin An’am, dikenal dari bangsa Afrika. Pensyarah kitab tini dari sisi sanadnya dalam kitab Zawaid berkata,” Sesungguhnya di dalam sanad hadist tersebut ada perawi dari bangsa Afrika . Ia perowi yang lemah . Hadist ini diriwayatkan Ibnu Hibban dari jalur lain, Ibnu Katsir juga meriwayatkan dan menganggap lemah karena ada perawi orang Afrika tersebut.Tetapi al muhaqqiq Asy Syeh Syakir menyebutkan bahwa perawi Afrika ini tsiqoh (kuat) dan kesalahannya dari sisi kelemahannya , ia memaparkan hal itu dalam berbagai komentarnya hadist-hadist kitabnya Imam Thobari. ( Vol. III/ hal. 152,153)
[40] )Lhat kitab Al usrotul Mistaliya fi Dhaou’il Qur’an wa Sunnah ( Keluarga ideal dalam sorotan Al Qur’an dan Sunnah oleh Dr. Imarah Najib hal. 30-31 edisi revisi
[41] ) Hariyun artinya yang patut dan pantas, , Mu’jamul Washith ( Vol. I / hal 169).
[42]) Dikeluarkan oleh Imam Bukhori ; Babul Akfa’ fid din, (Vol . VI/hal. 122) , dalam kitab Rifaq , bab Fadlul Faqri, Ibu Hajar menyebutkan pada bagiaan tema pertama, laki-laki kedua yang lewat itu mungkin yang dimaksud adalah Jamil bin saraqh sementara pada bagian tema kedua, wahya laki-laki pertama melintas barangkali Uyainah bin Husyain atau Al Aqro’ bin Habis.
[43] ) Lihat Al Usrotul Mitsaliya fi Dhau’il Qur’an Wa Sunnah , oleh Dr. Imarah Najib, ; Hal . 32, Ikhtiyatuz Zaujaini fil Islam, oleh Husain Muhammad Yusuf , hal. 15, dan lihat pula Manhaj Sunah fiz Zawaj : 5 oleh Al Ahmadi Abu Nur , hal . 360.
[44]) Hadist dikeluarkan oleh Imam Thabrani dalam kitab Al Mu’jamul Ausath , Imam Mundzir menuturkannya dalam kitab Targhib wa Tarhib ( Vol. III/ hal. 327), Imam Hastami dalam majm’az Zawaid (vol IV/ 254) menyebutkan bahwa hadist ini dhoif dari jalur sanad ini karena terdapat perawi bernama Abdus Salam bin Abdil Quddus bin Habib , seorang perawi lemah.Tetapi Imam Al Ajlani menuturkan dalam kitab Kasyful Khofa’ bahwa hadist ini diriwiyatkan oleh Abu Naim dalam kitab Huliyah tanpa melemahkan sisi Sanadnya. ( Vol . II/ hal. 239) , Imam As Sakhowi juga berpandanagan serupa dalam kitab Al Maqosidul Hasanah,. Ia menuturkan bahwa hadist ini memilih syahid hadist yang shohih. Yaitu hadist تنكح المرأة لاربع ...... (hal. 406- 407)
[45] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori dalam kitabun Nikah,; bab la yunkihul Abu waghoiruhu al bikro wa tsayyiba illa birridoha ( tidak boleh seorang ayah dan waii lainnya menikahkan perawan dan janda kecuai dengan persetujuannya,( Vol : VI/ 135) dan Imam Muslim dalam an Nikah bab permintaan persetujuan janda untuk dinikahkan dengan ucapan dan perawan dengan diam (Vol. II/ Hal . 1046) nomer hadist 14 19, Tirmidzi dalam kitab Nikah bab fistimarati Bikri, wa tsayyibi, dan bab ma ja’a fi ikrohil Yatimi ‘ala tazwiji ( 1107,1109), Abu Daud dalam Kitab Nikah , babul Istimarah, nomer hadist 2092- 2093), Nasai ( Vol. II/ 78) .
[46] ( hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori, dalam kitab Nikah, bab la yunkihu abu ghoiruhu atsayyiba illa biridlohu ( tidak seorang ayah menikahkan janda kecuali dengan kerelaanya. (Vol. VI/ hal. 135) Imam Muslim dalam kitab Nikah, bab isti’dzan Atsayyib fin Nikah bin Nuthqi, wal bikri bis sukuti, ( Vol. II/ hal.1037) noner hadits ke . 1420), dan Nasai (vol. VI/ hal. 85,86)
[47] ) Lihat Fathul Malikil ma’bud kitab pelengkap al Manhalul “Adzbul Maurid , Syarah Sunan Abi Daud, (vol.III/ hal. 259)
[48] ) Ibid . (Vol. III/ hal. 259).
[49] ) Hadist dikelarkan oleh Imam Muslim dalam kitabun Nikah; isti’dzanitsayyibi fi Nikah bin nuthqi wal bikri bissukuti (Vol. II/hal.1037) nomer hadist 1421 dan Al Muwatho’ dalam kitab Nikah, bab isti’dzanil Bikri wal Ayyim fi anfsihima ;(Vol. II/ 524) Tirmidzi fi Nikah, bab ma ja’a fi istitsmaril Bikri Watsayyibi (III/ 416) nomer hadist 1108) Abu Daud dalam Nikah bab fitsayyibi (Vol. II/ hal. 588) nomer hadist 2098) Nasai dalam kitab Nikah , bab isti’dzanil bikri (Vol. II/ hal 77)
[50] ) Shohih Muslim, dengan syarah Imam Nawawi ( vol III/ hal. 505,576).
[51] ) Tetapi hal itu diikat dengan persyarat ketat sebagai berikut ;(!) Tidak ada rasa permusuhan antara wali dan gadis yang hendak dinikahkannya.(2) hendaknya wali menikahkan dengan pria yang sepadan.(3) dan menikahkannya dengan mahr mistli ( mahar yang berlaku gadis setaraf dia dan yang berlaku di wilayahnya), (4) Harus berada di Negara yang sama.(5) Calon suami bukan orang miskin atau tidak punya kesanggupan bayar maharnya.(6) Tidak menikahkan dengan laki-laki yang cacat atau mengalami hambatan dalam interaksi hubungan pasangan seperti orang buta atau pria yang sudat tua renta (7) Tidak lagi menjalani ibadah ihram haji wajib.Maka suami berhak mencegahnya karena ibadah haji harus atas dasar kerelaan sementara gadis tersebut harus bermaksud dan berniat menyegerakan kewajibannya agar segera terlepas tanggungan. . Lihat Iqna’ (vol. II/ 77) cetakan . Musytafha al Halaby .
[52] ) Lihat Muntahal Iradah oleh Taqiyuddin Al Hamaly, : bagian kedua; halaman 159, Al Muntafi syarah Al Muwatho’ oleh Al Baji (Vol. III/ 266) , Al Umm oleh Imam Syafi’I halaman 163, demikian pula kita dapai dalam Hasiyah raddil Mukhtar oleh Ibnu Abidin ( Vol. III/ 66)
[53] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori dalam Kitab, Nikah; bab jika seornga menikahkan putrinya padahal ia tidak menyukai maka nikahnya adalah batal tertolak. (Vol . VI/ hal . 135) , Al Muwatho’ dalam kitab Nikah, ; bab Jami’ la yajuzu minan Nikah (Vol. II/ 535) , Abu Daud dalam Kitab Nikah, bab fi tsayyib , namer hadist ke 2101 , Imam Nasai fi Nikah, bab Janda dinikahkan ayahnya padahal ia kurang menyukai. (Vol. VI/ hal. 86).
[54] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Nasai dalam kitab Nikah,; bab gadis perawan dinikahkan ayahnya padahal ia kurang menyukai. ( Vol. VI/ 87) , Imam Ahmad dalam kitab Musnad (Vol. VI/ 136) , DarulQuthni (vol. III/ hal 232) dan ia berkata, setelah meriwayatkannya dari berbagai jalan sanad dengan redaksi hadist yang hampir serupa:” Kesemua hadist ini mursal berasal dari Buraidah, ia tidak mendengar sama sekalli dari Aisyah dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, (Vol. I/ hal. 603) nomer hadist 1874 dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya dari Aisyah . Al Busyiry dalam Az Zawaid, berkomentar (Vol. II/ 102) :” Sanad hadist ini sanad shohih, dan para perawinya kuat .
[55] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Nikah ; bab inkahi Rajuli waladahu shighori ( Vol. VI/ 134) Muslim dalam kitab Nikah ; bab tazwijil Abi al bikro shoghirata ( Vol. II/ hal. 1038) (nomer hadist ke 1422 ) dan Abu Daud mengeluarkannya nomer hadist ke 2121, Nasai ( Vol. II/ 77)
[56] ) Fawaka’tu: al Wa’ku : yakni sakit panas ; lihat Shohih Muslim, dengan syarah Nawawi : Vol . III/ hal. 578.
[57] ) Ibid (Vol III/ hal 578) Jumaimatun : isim tasyghir “ Jammatun” yaitu rambut yang menjulai hingga ke dua telinga
[58] ) Hah-hah, dengan difathah ha’ dan di sukun hah kedua, yaitu kata yang ucapkan orang yang terengah-engah hingga kembali suasana tenang. ; Shohih Muslim denagan Syarah Nawai ( Vol. III/ 478)
[59] ) Pekataan Aisyah , فلم برعنى إلا ورسو ل الله صحى فاسلمنى اليه tidaklah aku dikejutkan kecuali oleh munculnya Rasululllah SAW pada waktu dhuha.; Shohih Muslim dengan syarah Nawawi (vol. III/ 578).
[60] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Nikah ; bab tazwijil Abu Ibnatahu minal Imam ( Vol. VI/ hal. 134) Imam Muslim dalam kitab Nikah ; Bab Tazwijil Abil Bikra Ashoghirota ( voL. Ii/ Hal. 1038) nomer hadist 1422)
[61] ) Shohih Muslim dengan Syarah An Nawawi ( Vol III/ 576).
[62] ) Al Fiqhu ‘Ala Madzhabil Arba’ah oleh Abdurrohman Al Jaziry ; kitab Nikah ; pembahasan hak istimewa wali Mujbir dan lainnya ( Vol. IV/ hal . 29) dan setelahnya.
[63] ) Hasyiyah Raddul Mukhtar oleh Ibnu Abildin ; Kitab Nikah ; babul Wali ;Vol. III/ hal. 66).
[64] ) Al Umm, oleh Imam Syafi’i , Kitab Nikah : (Vol VIII/ hal. 163).
[65] ) Al Muntafi, Syarah Muwatho’ Malik, oleh Al Baji ; Kitab Nikah ( Vol. III/ 266)
[66] ) Muntahal Iradat oleh Taqiyuddin al Hambaly ; bagian kedua; Kitab Nikah hal. 159.
[67] ) Shohih Muslim, dengan syarah An Nawawi,; kitab Nikah; bab Tazwijil Abi Al Bikro As Shigoro ( Vol . III/ hal. 577).
[68] ) Tema secara rinci tertuang dalam kitab wilayah ‘ala nafsi ( perwalian atas seseorang) , ; oleh Muhammad Abu Zahrah, hal. 52 -72 , lihat haq IkhtiyariZauji ( hak memilih calon suami) desertasi doctoral Fatimah Nasyif edisi revisi.
[69] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Bukhori.
[70] ) Lisanul Arab (Vol. I/ hal. 362) Al Mu’jamul Wasith ( Vol. I/ hal. 242) ,Misbahul Munir ( Vol. I/ hal. 186)
[71] ) Al Akhwalus Syahsyiyyah oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid hal. 13 , Al Ahkamus Syar’iyyah lil Ahwalisyahsiyyah oleh Zakiyuddin Sya’ban; hal. 63 , Aqduz Zawaji Wa Atsaruhu oleh Abu Zahrah hal. 55.
[72] ) Hadist dikeluarkan oleh Ahmad , dalam kitab Musnad (Vol. III/ hal. 234), dikeluarkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunannya ( Vol. II/ 565- 566) dalam kitab Nikah., bab fi Rajuli yandhuru ilal Marati wahuwa yuridu tazwijaha; nomer hadist 2082, dan dikeluarkan oleh Al Hakim dalam kitab Mustadrak ( vol. II/ 165) dalam kitab Nikah, bab idza khotoba ahadakum imratan.... dan dikeluarkan oleh Al Baihaqi , dalam As Sunanul Kubro, : Vol VII/ hal. 85) dalam kitab Nikah, bab nadIari rajuli ila imroati dan dikeluarkan dengan redaksi hadist serupa oleh Abdur Razaq fil kitab Musannaf (Vol. VI/ 157) dalam kitab Nikah bab Ibrazil Jiwary wan Nadzari indan Nikah, nomer hadist 10334) dan diisnadkan pula olrh Ibnu Hajar dalam kitab Talhis Habir (Vol. III/ hal. 147) dalam kitab Nikah, bab ma jaa fi Istihbabin Nikah.
[73] ) Khitbatun Nisa’ halaman 5, 6.
[74] ) Ahkamul Ahwali Syahsyiyyah oleh Abdur Rahman Taj, hal. 9, Akhwalus Syahsyiyyah oleh Abdurrohman As Shobunny , halaman, 25 , Al Ahkamus Syar’iyah lil Ahwails Syahsyiyyah oleh Ahmad Ibrahim Biek hal. 5.
[75] ) Khithbahtun Nisa’ oleh Dr. Abdun Natsir Aththor ; penerbit As Sa’adah , Kairo, hal. 11
[76] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Nasai dalam ‘isratin Nisa’ ( menggauli istri) (Q. 99/ 1) dari Sunanul Kubro dan Ibnu Syaibah dalam Mushonnaf (vol. 7/ 19/ 2) , Imam Baihaqi (vol. VII/ 235) dan dikeluarkan oleh Imam Hakim (vol. II/ hal. 178) dan dianggap sebagai hadist berkualitas menurut Amru bin Thufail bin Shohro’ , ia berkata : ini hadist shohih menurut syarat imam Muslim serta disepakai keberadaannya oleh Ad Dzahabi.
Imam Al Albany berkata,” Amru bin At Thufail in Shohro’ kurang populer dalam kitab-kitab Rijalul Hadist apalagi sebagai salah satu dari rijal sanad shohih Muslim.Para ahli tersebut lebih cenderung membiografikan ibnu Shohro’ sebagai perawi majhul (tidak jelas identitas diriya). Imam Ad Dzahabi dalam kitab Al Mizan berkata,” Ibnu Shohro’ dari al Qosim dari Hammad adalah perawi tak dikenal. Ada yang menyebutkan , dia adalah Isa bin Maemun. Ibnu Abi Hatim memastikan bahwa ia adalah Isa bin Maemun dan ia menegaskan bahwa Imam Al Khotib telah mengeluarkannya dalam kitab Al Muwatho’ (vol. I/ hal .174)
Imam Al Fadlo’i dalam Musnad Asyhihab ; (2/2/2) dari jalan Isa bin Maemun dari Al Qosim, dan Isa ini adalah matrukul hadist (seorang perawi yang ditinggalkan hadistnya), sebagaimana yang dikatakan Abu Hatim. Mayoritas pendapat menyatakan,hadist tersebut adalah dhoif (lemah) dengan alasan berkisar perawinya majhul ( tidak diketahui identitasnya ) atau matruk ( ditinggalkan hadistnya – karena tertuduh dusta ,penterjemah).
[77] ) Hadist diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (Vol. IV/ hal. 225, Imam Baehaqi dalam As Sunan , Vol. VII/ hal. 85) ia berkata :” Hadist ini kwalitas sanadnya diperselisihkan berpusat pada perawi Al Hajaj bin Arthoh ( Vol. I/ hal . 599), Az Zaela’i (vol III/ hal. 196) berkata:” al Hajaj bin Arthoh perawi dho”if banyak mentadliskan (menutup cacat) perawi-perawi yang dho’if. Ibnu Majah mengeluarkan hadist ini dengan ragam redaksi lafadz yang mirip, Imam Iraqi melemahkannya dalam Tahrijil Ahya’ : Vol . II/ hal 39) sementara Imam Al Bushoiri dlam kitab Az Zawaid (vol II/ hal 117) mengomentari bahwa hadist tersebut tidak hanya diriwayatkan oleh Hajaj. Ibnu Hibban telah meriwayatkannya dalam kitab Shohihnya- seperti dalam mawariddzam’an (hal. 302) dengan jalur sanad lain sementara Imam Al Bani menshohihkannya karena banyaknya jalannya seperti yang termuat dalam kitab Shohihil Jami’ (vol. I/ hal. 166).
[78] ) Hadist diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab Musnad (16/154) dari Al Fathir Rabani,
[79] ) Hadist dikeluarkan oleh Imam Ahmad ,Imam Thabrani, Imam Hakim dan Imam Baehaqi dari Hadist Anas . Imam Ahmad sendiri menganggapnya sebagai hadist Mungkar dan yang masyhur hadist tersebut diriwayatkan melalui jalur “amarah dari Tsabit, Abu Daud meriwayatkan dalam kitab Al Marasil dari jalan Musa bin Ismail dari Hamad bin Tsabit. Imam al Hakim memaushulkan (menyambungkan sanadnya) dengan jalan serupa dengan menyebut sahabat Anas (sebagai perawi sahabat) , Imam Baehaqi memberi komentar bahwa penyebutan perawi Anas dalam sanad tersebut bersifat waham (persangkaan) ,ia berkata,” Hadist ini diriwayatkan oleh An Nua’im dari jalur Hamad secara mursal saat yang sama ia juga berkata “diriwayatkan pula oleh Ibnu Katsir Ashon’any dari Hamad secara muwashshol (bersambung) .Radaksi وشمى معـا طفها teks hadist dalam riwayat Thabrani , sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad dan yang lain, menggunakan redaksi وشمى عوارضها, lihat kitab Talkhisul Habir (vol. III/ hal.147) Imam Hakim (II /166) dan Baehaqi (VII/ 87).
[80][80] ) Al Mu’ajamul Wasith ( Vol. II/ hal. 594)
[81] ) Hadist diriwayatkan oleh Imam Addaelami dalam Al Firdaus dari Ummi Salamah RA sebagai bentuk kebenaran eksistensinya, lihat kitab Kasyful Khofa’ Wa Muzilul ilbas ( vol. I/ hal. 159).
[82] ) Hadist diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Nikah , bab dianjurkan melihat wajah wanita calon istri dan kedua telapaknya bagi orang yang ingin mengawininya ( Vol. II/1040) nomer hadist ke 1424 , dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, (Vol. II/ hal 299), Ad Daruquthini ( vol. III/ 253) , Al Baehaqi (Vol. VII/ hal 84) dengan redaksi lafadz “ syai’an”, Imam Ghozali dalam Ihya’ Ulummudin sebagian riwayat dengan redaksi hadist “فى اعيـنـهن عمش " ada yang memakai lafadz " صغـر" (Vol. II/hal. 39) dan berkatalah penyusun kitab Al Fath, (vol. IX/ hal. 181, pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua- yakni sipit mata- karena persis yang terdapat dalam riwayat Abu ‘Iwanah dalam Mustahrajnya
[83] ) Shohih Muslim denan Syarah Imam Nawawi (Vol. III/ 580).
[84] ) Tandzimul Islami lil mujtama’I oleh Syeh Abu Zahrah hal. 68 , Fatawi Mu’asyiroh oleh Dr. Yusuf Qhordlofi hal. 400.
[85] ) Lihat Madza ‘anil Mar’ati oleh DR. Nuruddin Attar, hal 51, Al Umuwwatu Fil Qur’anul Karim wa Sunnah An Nabawiyyah ; oleh Muhammad As Sayid Az Za’balawy hal .113.
[86] ) Khitbatun Nisa’ hal. 12, Madza ‘anil Marati hal. 54. Al Umuwwah fil Qur’an il Karim Wa Sunnah Nabawiya hal 115.
[88] ) Khitbatun Nisa’ ; hal. 123-125 , lihatlah huququl mar’atil Muslimati oleh Nadim al Mallah hal.9.
[89] ) Hadist dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya, ( vol III/ 334- 360) Abu Daud : (Vol. : II/ hal.565-566) nomer hadist ke 2082 , Imam Hakim dalam Mustadraknya (vol. II/ hal.165) dan ia berkata: hadist ini adalah shohihul Isnad dan disepakati Imam Dzahaby dan dihasankan Al Hafidz dalam Kitab Al Fath (vol. IX/ hal. 181) dan ia berkata dalam kitab Bulughul maram : halaman. 179 : Riajal sanadnya adalah orang-orang kuat, dan dihasankan pula oleh Imam Al Bany dalam takhrijil Misykat ( Vol. II/ 932).
[90] ) Nidzomul Usrati wa hallul Musykilatiha oleh Abdur Rahman Asy Shobuny, , Darul Fikr halaman. 62-63 , lihat pula huququl mar’atil Muslimati halaman 9.
[91]) Dirosatun fi Ahkamil Usroti oleh Muhammad biltaji hal. 156 – 158.
0 komentar:
Posting Komentar