PASAL PERTAMA
SUMBER PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM & HAKEKAT
SERTA PENGERTIANNYA.
Kami menguraikan pasal ini ke dalam dua sub bahasan terpisah,
Pasal pertama : Sumber perkembangan ekonomi Islam
Kedua Hakekat dan pengertian Ekonomi Islam
SUB BAHASAN PERTAMA
SUMBER PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM
Islam datang semenjak 14 abad yang lalu sebagai risalah penutup dari risalah –risalah langit yang bersifat umum (universal, mengatasi kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya baik aspek spiritual maupan material.Islam bukanlah akidah agama semata, tetapi juga agama yang mengatur aspek politik, social, ekonomi, bagi kepentingan umat manusia keseluruhannya.Demikian pula Rasulullah Muhammad saw bukanlah semata-mata nabi pemberi petunjuk semata, tetapi beliau juga seorang hakim penegak hokum. Dan ini mungkin dapat nyatakan dengan suatu term dan slogan, “Islam adalah Agama dan dunia,” atau Islam adalah “Aqidah dan syariat>”
Dari sini jelaslah bahwa sumber kemunculan ekonomi Islam, lantaran Islam juga menyitir aspek ekonomi dengan prinsip-prinsip ekonomi yang serba baru (lagi berbeda dari prinsip-prinsip ekonomi yang ada ; kapitalis dan sosialis) berbasis sentral pada politik ekonomi yang cukup unik lagi spisifik.[1]
Islam tidaklah datang seperti agama Yahudi , sebagai Risalah (misi tuhan ) khusus untuk kelompok komunitas tertentu, dan bukan pula seperti agama Kristen sebagai agama yang memberi petunjuk aspek spiritual semata dengan slogan,”Berilah Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar, dan berilah Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan.” Tetapi Islam datang sebagai penutup segala agama samawi, guna mengatur umat manusia seluruhnya dalam berbagai aspek kehidupan mereka baik aspek aqidah, moral –akhlak, politik maupun aspek sosial dan ekonomi
Dari sini jelaslah ekonomi Islam pada hakekatnya telah ada cukup lama adanya sama halnya Islam sendiri meski pengkajiannya sebagai materi tersendiri masih cukup baru (muda) dan penelitian materi ini dan ruang lingkup kajiannya masih terbatas.[2]
SUB BAHASAN PERTAMA
SUMBER PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM
Ekonomi Islam dengan ungkapan sederhana mungkin dapat dinyatakan suatu bentuk ekonomi yang mengarahkan (mengorientasikan ) kegiatan ekonominya dan mengatur kegiatannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan prinsip-prinsip dasar ekonomi.
Dari definisi tersebut mungkin dapat kami simpulkan ekonomi Islam mempunyai dua segmentasi
A. Aspek Pertama : Sisi Statis
Sisi ekonomi Islam yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasarnya dalam hal ini Ekonomi Islam mungkin dapat dinyatakan sejumlah prinsip-prinsip dasar Ekonomi yang dituturkan nasy-nasy Al Qur’an dan As Sunnah untuk ditaati kaum muslimin di setiap masa dan tempat tanpa memandang tingkat kemajuan ekonomi masyarakat atau bentuk produksi yang mendominasi dikalangan mereka. Prinsip-prinsip ini antara lain:
1. Prinsip dasar bahwa harta benda pada hakekatnya adalah milik Allah dan manusia sebagai pihak yang diserahi amanat (menjaga dan menggunakannya)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah swt .
“Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” (QS. An Najm : 31).
Dan firman Allah swt : Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. (QS. : Al Hadid :7)
Allah swt juga berfirman :
“Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.”(QS. Nur : 33 ).
2. Prinsip penjaminan batas kecukupan bagi setiap individu dalam masyarakat Islam.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah swt .
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”(QS. Al Ma’un :1-3)
Dan Allah juga berfirman :
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).”(QS. Al Ma’arij : 24-25)
Rasulullah saw bersabda :
من ترك كلا فليأتنى فانا مولاه
Artinya :”Barangsiapa meninggalkan keluarga yang miskin (tanpa adanya harta yang diwarisi) maka hendaklah ia datang kepadaku dan akulah yang menjadi maulanya. [3]
Yakni barang siapa meninggalkan keturunan yang lemah (ekonominya) maka datanglah kepadaku - selaku wakil negara- maka akulah pihak penanggungjawabnya yang akan menjamin penghidupannya. Beliau saw juga bersabda :
ومن ترك ضياعا فإلى وعلى
“ Barang siapa yang meninggalkan hutang (terlantar tak terbayarkan) maka pengembaliannya kepadaku atau akulah yang menanggungnya.”[4]
3. Prinsip mewujudkan Keadilan Sosial, menjaga Keseimbangan Ekonomi antara individu masyarakat Islam.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah swt.
Artinya :” supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al Hasyr : 7)
Maksud ayat ini bahwa jangan sampai ( tidak diperbolehkan) harta kekayaan beredar diantara sekelompok kecil individu-individu masyarakat atau kepentingan yang memenuhi hajat orang banyak (masyarakat ) dimonopoli oleh sekelompok orang.
Rasulullah saw bersabda :
بؤخـذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم
Artinya :”Zakat diambil dari orang-orang kaya mereka (kaum muslimin) dan didistribusikan kembali kepada orang-orang fakir diantara mereka.”[5]
4. Prinsip menghargai hak milik privat.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah swt.
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ
Artinya :”(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.”(QS.Nisa’ : 32)
Dan firman Allah swt.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ
Artinya :”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah : 38)
Rasulullah saw bersabda ;
كُلُّ مُسْلِمِ عَلَى اْلمُسْلِمِ حَرَامٌ دَ مُهُ وَمَا لُهُ وَعِرْضُهُ
Artinya :” Setiap muslim atas muslim lainnya haram darah (jiwanya), hartanya dan kehormatanya.[6]
Beliau saw juga bersabda :
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَاِلهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
Artinya :” Baramg siapa mati terbunuh demi membela hartanya maka ia mati syahid.”
5. Prinsip kebebasan Ekonomi terikat
Hal ini nampak dengan adanya pelarangan berbagai bentuk kegiatan ekonomi yang mengandung unsur pemerasan (eksploitasi), monopoli (penimbunan) dan riba. Allah swt berfirman :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Artinya :” Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil>” (QS. Al Baqoroh : 188)
Allah swt juga berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya :” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. “ (QS. Al Baqoroh :275)
Rasulullah saw bersabda :
من احتكر حكرة يريد أن يغلى بها على المسلمين فهو خاطئ
Artinya :” Barang siapa menimbun (memonopoli ) dengan maksud untuk menaikkan harganya (dijual) kepada kaum muslimin maka ia berdosa.”(HR. Imam Muslim, Abu Daud, dan Imam Tirmidzi )
6. Prinsip pembangunan Ekonomi Menyeluruh.
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah swt.
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
Artinya :”Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.”(QS. Hud : 61).
Allah swt berfirman juga :’
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً
Artinya :” "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" (QS. Al Baqoroh : 30 )
Allah swt juga telah menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kepentingan khalifah bumi ini (manusia).Ia dapat mengekploitasinya dan menikmati segala kekayaan dan kebaikan yang tersimpan di dalamnya serta bertasbih dengan memuji kebesaranya.Allah swt berfirman :
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (13)
Artinya :”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.” (QS. Al Jatsiyah : 13).
Allah swt juga berfirman :
فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya :” Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS. Al Jumu’ah : 10).
Dan juga berfirman :
وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلا (72).
Artinya :” . Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”(QS. Al Isra’ : 72)
Bahkan kecendrungan kuat Islam melakukan pembangunan ekonomi dan memakmurkan dunia sampai batas puncak seperti yang gambarkan nabi saw dalam sabda beliau :
إذا قامت الساعة وفى يد احدكم فسيلة – شتلة – فاستطاع الا تقوم حتى يغرسها فليغرسها فله
بذلك أجر
Artinya :” Sekira hari kiamat datang sementara salah seorang diantara kamu di tanggannya masih tergenggam dahan anakan tanaman, apabila selama ada kesempatan seyogyanya dan sedapatnya segera ia tanamkan karena sedemikian itu ia akan memperoleh satu pahala.” .” (HR. Imam Bukhori dan Ahmad bin Hambal).
7. Prinsip dasar memberi bimbingan dan petunjuk cara pembelanjaan harta dengan benar.
Dan ini diaplikasikan dalam bentuk pelarangan bersikap boros dan tabdzir.Allah swt berfirman :
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isrta’ : 27)
Islam juga melakukan penahanan atas harta orang-orang kurang cakap dalam mengelola harta kekayaan yang membelanjakan harta tidak sesuai pertimbangan akal sehat. (agar harta kekayaan dibelanjakan secara tersia-sia).Allah swt berfirman :
وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
Artinya :” Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. An Nisa’ : 5).
Demikian pula Islam melarang tegas berlebih-lebihan dan bermewah-,mewah dalam menggunakan harta kekayaan dan menilainya sebagai bentuk tindakan kejahatan dan dosa dalam hak masyarakat .Allah swt berfirman :
وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ
Artinya:” dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.”(QS. Hud : 116)
Prinsip-prinsip dasar ekonomi yang dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah merupakan prinsip dasar ilahiyah. (deviny principles). Allah berfirman :
تَنزيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2)
Artinya :” Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
(QS. Fushilat : 2)
Untuk itulah tidak akan kita dapati di sana ada pertentang prinsip-prinsip antara nash nash di dalamnya dan tidak akan terjadi perubahan hingga kapanpun dan harus dipatuhi semua kaum muslimin disetiap masa dengan tanpa memperhatikan aspek tingkat perkembangan ekonomi atau bentuk-bentuk hasil produksi yang mendominasi dalam kehidupan masyarakat.
Perlu diingat bahwa teks-teks (nash-nash) Al Qur’an dan As Sunnah yang menyajikan ranah ekonomi adalah relatif sangat sedikit sekali disamping pula datang dengan bentuk umum ( universal) serta berkaitan dengan segala kebutuhan fondamental masing-masing masyarakat. Untuk itulah maka prinsip-prinsip dasar ekonomi inipun layak dan sangat up to date diterapkan di setiap masa dan tempat . Dan aspek ini kami terminologikan dengan istilah “ Madzhab /Aliran Ekonomi Islam.”[7]
B. Aspek sisi Dinamis (sisi yang bisa mengalami perubahan)
Aspek ini hanya berkaitan pada sisi implementasi praktis.
Dalam hal ini ekonomi Islam mungkin dapat dinyatakan sebagai bentuk methode-methode dan rencana-rencana praktis dan solusi-solusi ekonomi yang ditemukan para imam-imam ulama Islam guna mentranformsikan prinsip-prinsip Islam dan prinsip-prinsip ekonomi ke dalam realitas kongkrit materiil kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh hal itu , seperti penjelasan mekanisme kegiatan ekonomi yang ditengarai sebagai bentuk “Riba” atau bunga yang diharamkan, atau menjelaskan batas kecukupan upah dan upah minimun (buruh) , tindakan-tindakan mewujudkan keadilan sosial atau mengembalikan keseimbangan ekonomi antara individu-individu masyarakat, menjelaskan seberapa jauh intervensi (campur tangan) negara dalam mekanisme kegiatan ekonomi, wilayah hak milik privat dan hak milik umum (sosial), rencana-rencana pembangunan ekonomi dan berbagai rencana-rencana dan bidang-bidang lain yang memberi keleluasan ruang ijtihad di dalamnya dan beragamnya bentuk penerapan praktisnya . Hal-hal sedemikian bila masih dalam jenjang taraf gagasan pemikiran dan wacana pemikiran diterminologikan dengan istilah “ Teori atau teori-teori Ekonomi Islam” Sedangkan apabila sudah dalam jenjang tingkat implementasi praktis diistilahkan dengan “ Sistem atau sistem-sistem ekonomi Islam.”
Baik teoritis maupun sistem ekonomi Islam sendiri keduanya merupakan permasalahan ijtihadiyah – tadbiqiyah karena itu hasil upaya para mujtahid dan para pemangku kekuasaan. Dan bisa jadi merekapun berbeda pendapat sebagaimana perbedaan penilaian dalam menilai maslahat dan kemaslahatan umat seiring perbedaan masa dan tempat. Bahkan bisa jadi mereka berbeda pendapat pendapat dalam satu waktu dan tempat lantaran perbedaan mereka dalam memahami dalil-dalil syariata. Dan perbedaan sedemikian itu di perkenankan syariat bahkan hal sedemikian dikategorikan sebagai “rahmat” seperti yang sabdakan Rosulullah saw. “
اختلاف علماء امتى رحمة
Artinya :” Perbedaan pendapat para ulama umatku adalah rahmat.”[8]
Dan ini permasalahan yang tidak perlu dikhawatirkan, karena tidak melanggar prinsip-prinsip dasar baku (soliter /statis) dan tidak memuat kccuali aspek-aspek parsial dari ranah/wilayah matra praktis. Hingga wajar kita dapati sahabat Abu Dzar, Ibnu Hazm, Syaekh Ibnu Taimiyah, pemikir ulung Islam Ibnu Kholdun, pakar fikir Ad Daljy dan ulama-ulama lain mereka kesemuanya mempunyai teori-teori ekonomi Islam yang berbeda satu dengan yang lainnya. Bahkan Imam Syafi’i sendiri saat di Mesir ia memiliki pola pikir (madzhab) dengan tehnik ijtihad dan praktisial yang lebih cermat dibanding jurisprudensi dan fatwa hukum yang dia publikasikan di Irak. Dan inilah suatu adagium yang dikemukanan para pakar ushul fiqih ,” Hukum berubah sesuai perubahan masa dan tempat” dan pernyataan mereka,”Perbedaan dimensi ruang dan waktu bukan suatu hujjah dan dalil .”Sementara Syekh Ibnu Taimiyah beradagium dengan statement ekstra cermat,”Khilafu tanawwu’in la Khilafu tadhodzin” Perbedaan keragaman bukan perbedaan kontradiktif”[9]
C. Antara aspek madzhabiyah dan aspek praktisial.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa ekonomi Islam adalah sebuah madzhab dan sebuah sistem ekonomi. Madzhab atau faham dari sisi prinsip-prinsip dasarnya dan sebuah sistem dari dimensi praktisialnya. Dalam Islam hanya ada satu madzhab ekonomi, yaitu prinsip-prinsip dasar ekonomi yang dituturkan nasy-nasy Al Qur’an dan As Sunnah.Dan hanya dalam dimensi praktisial-impelementatif sistem-sistem ekonomi Islamlah adanya keberagaman perbedaan dalam Islam yang tak jauh bedanya keberagaman ijtihad ulama tentang teori ekonomi Islam itu sendiri. Lantaran penerapan-praktisial dan ijtihad-ijtihad juga mengalami perbedaan seiring perubahan waktu dan tempat.
Komponen pertama ekonomi Islam , yaitu prinsip-prinsip ekonomi Islam ini semata-mata bersifat trasenden- immanent atau bersifat ilahiyah semata, yang dalam kondisi bagaimanapun tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu komponen ekonomi Islam ini sudah pasti layak serta sesuai kapan dan dimana berada dan tidak mengalami perubahan dan pembaharuan.
Berbeda dengan komponen dan aspek kedua yaitu aspek praktisial-implementatif ekonomi Islam baik berupa sistem atau sistem-sistem pada level praktisial maupun dalam bentuk teori atau teori-teori pada tingkat wacana pemikiran dan idealisme , maka semua itu dalam domain ijtihad yang memungkinkan terjadi perbedaan dan menerima perubahan seiring perbedaan waktu dan tempat.
Atas dasar pemahaman sedemikian boleh jadi kerajaan Arab Saudi memiliki penerapan ekonomi Islam yang berbeda dengan aplikasi ekonomi Islam yang diterapkan praktis di negara Kuwait atau di negara Maroko. Sebagaimana halnya bisa jadi Ibnu Khaldun memiliki teori tentang intervensi negara dalam kegiatan ekonomi berbeda dengan teori yang dikemukakan Syekh Ibnu Taimiyah dalam matra yang serupa.
Tak ada seorangpun berkata dan berasumsi bahwa negara ini atau itu, pemikir ini atau imam itu ia adalah pembuat bi’ah atau murtad keluar dari Islam dengan pemikirannya sepanjang mereka semua bergerak pada ruang dan basis sentral syariat Islamiyah dan konsisten mematuhi pada prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam . Dan sesungguhnya perbedaan mereka hanya pada domain yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai perbedaan parsial bukan perbedaan kontra pada prinsip . Dan hal itu apabila merepresentasikan sesuatu hanya akan menunjukkan fleksibelitas ekonomi Islam itu sendiri dan masih dalam koridor batas-batas prinsiip-prinsip dasarnya yang memberi ruang gerak berijtihad selebar-lebarnya dimana kaum muslimin mendapatkan kemurahan dan toleransi di dalamnya sesuai kepentingan dan maslahat mereka yang terus berubah.[10]
[1] ) Lihat buku kami – Dhatiyyati syahshiyyatil Iqtishodiyyah al Islamiyah waahammiyatul iqtishodil Islamy ( Profil politik –strategi Ekonomi Islam dan peran penting ekonomi Islam) cet. 3 . tahun 14060 1986 dipublikasikan oleh Darul Tastqif Kerajaaan Arab Saudi.
[2] ) Lihat buku Kami, Al Madkhal ila Iqtishodil IslamY ( Pengantar Ilmu Ekonomi Islam).dipublikasikan oleh Darul Nahdlah Arabiyah, Kairo - tahun terbit 1972 hal. 212.
[3] ) Al Mustadrak oleh Imam Hakim.
[4] ) Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim.
[5] ) Hadist riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim.
[6] ) Hadis dikeluarkan oleh Imam Muslim
[7] ) Lihat kitab kami, al madkhal fi iQtishodil Islamy , ibid hal. 58, llihat pula kitab kami kelima , dari rangkaian study ekonomi Islam dengan judul, Al Madzhab al Iqtishody filIslam, cetakan ke 2, tahun 1406/ 1986, dipublikasikan oleh al Hai’ah Al Ammah lil kitab ( badan perbukuan Nasional) Mesir.
[8] ) Al Jami’ushoghir oleh Imam As Suyuthi, dan Al Hujjah oleh Al Maqdasy, Risalah al Asy’ariyah oleh Al Baihaqy, dan Al Mukhtashor oleh Ibnu l Hajib,
[9] ) Lihat Majmu’atul fatawa Ibnu Taimiyah, cetakan Riyadl ,Juz. VI / hal.58 , Juz. 26 hingga hal. 30
[10] ) Lihat kitab Dhatiyatul Siyasiyatil Iqtishodil Islamiyah , ibid , hal 26 s/d 30.
0 komentar:
Posting Komentar